Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mengatakan “Aku merampas sesuatu darimu” tanpa melebihkan dari ucapan itu, maka untuk menentukan kadar “sesuatu” dikembalikan kepada perkataannya. Jika ia mengingkari telah merampas sesuatu, maka hakim mengharuskannya menyerahkan sesuatu itu minimal dari apa yang dapat dinamakan “sesuatu”.
Jika ia tidak mau, maka hakim dapat menahannya hingga mengaku telah merampas, minimal yang dinamakan “sesuatu”. Apabila ia menyebutkannya dan dibenarkan oleh pihak yang diakui memiliki hak, maka persoalannya telah selesai. Tapi bila pihak yang diakui memiliki hak mengingkari apa yang disebutkan oleh orang yang mengaku, maka orang yang mengaku dapat disuruh bersumpah bahwa ia tidak merampas sesuatu kecuali apa yang ia sebutkan seraya berlepas diri dari tanggungan lainnya.
Sekiranya orang yang mengaku meninggal dunia sebelum menyebutkan apapun, maka yang dijadikan pedoman dalam menentukan “sesuatu” adalah perkataan ahli warisnya. Mereka bersumpah bahwa si mayit tidak merampas sesuatu selain apa yang ia sebutkan.
Harta mayit dilarang untuk mereka gunakan hingga mereka menyebutkan sesuatu untuk orang yang diakui memiliki hak seraya bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui selain itu. Apabila yang diakui itu sesuatu yang halal dimiliki saat itu juga, maka mereka dapat dipaksa untuk menyerahkan kepada orang yang berhak. Jika “sesuatu” yang dimaksud rusak saat masih berada di tangan orang yang mengaku, maka ia dapat dipaksa menyerahkan harganya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mengaku telah merampas khamer atau babi, maka aku tidak memaksanya menyerahkan hal itu kepada orang yang diakui sebagai pemiliknya dan tidak pula harganya. Bahkan, hal-hal ini tidak halal dimiliki bagaimanapun keadaannya.