Pemberian Orang Sakit

Imam Syafi’i berkata: Ketika seseorang memerdekakan enam orang budaknya sewaktu ia sakit dan ia tidak mempunyai harta lain selain budak-budak itu, kemudian ia meninggal dunia, lalu Rasulullah memerdekakan dua orang dari budaknya dan menyisakan empat orang untuk tetap menjadi budak, hal ini menunjukkan bahwa setiap hartanya yang dirusakkan seseorang ketika ia sakit dan tidak ada ganti yang akan diambil oleh orang yang meminta imbalan dari miliknya di dunia, kemudian ia meninggal dunia karena sakit yang dideritanya, (dengan demikian) maka hukum yang berlaku adalah hukum wasiat. Jika ia sehat, maka pemberiannya sempurna seperti pemberian orang yang sehat.

Jika ia meninggal dunia karena sakitnya, maka hukum yang dipakai adalah hukum wasiat. Ketika kesehatannya kembali setelah hartanya dihabiskan, kemudian ia kembali sakit dan meninggal dunia, maka pemberiannya diberikan dengan sempurna apabila dia dalam keadaan sehat setelah memberi.

Imam Syafi’i berkata: Tidak boleh mengambil imbalan atas pemberian yang pasti (tanpa syarat) yang dilakukan oleh seseorang yang sedang sakit, baik ia sebagai ahli waris atau bukan. Seseorang dapat memberikan pemberian itu kepada orang yang menerima pada hari ia memberikannya. Apabila ia meninggal dunia dan tidak ada yang mewarisinya, maka pemberian itu ditangguhkan (mauquj). Jika ia meninggal dunia dan yang diberikan itu adalah ahli warisnya, maka pemberian itu dibatalkan. Karena apabila saya jadikan pemberian yang pasti itu dari sepertiga harta, maka saya tidak menjadikannya untuk ahli waris pada sepertiga harta sebagai wasiat. Jika pemberian itu dilakukan ketika ia meninggal dunia dan bukan dari ahli waris, maka saya membolehkan untuknya, karena itu adalah wasiat bukan untuk ahli waris.

Imam Syafi’i berkata: Segala pemberian orang sakit yang diambil sebagai imbalan, yang diambil oleh orang lain dari hartanya di dunia, lalu imbalan itu diambilnya dan orang dapat melakukan tawar-menawar dalam hal imbalan itu, kemudian apabila ia meninggal dunia, maka hal itu boleh diambil darimodal. Apabila ia mengambil imbalan itu dan orang-orang tidak dapat melakukan tawar-menawar seperti itu, maka kelebihannya adalah pemberian tanpa imbalan dari sepertiga harta. Maka, siapapun yang dibolehkan mendapat wasiat, juga boleh mendapatkan pemberian itu. Dan, siapapun yang tidak boleh berwasiat, maka ia tidak boleh mengambil kelebihan itu.

Imam Syafi’i berkata: Semua adalah sama, baik penjual yang sehat dengan pembeli yang sakit atau pembeli yang sehat dengan penjual yang sakit. Tawar-menawar itu ada pada sepertiga, dan begitulah jika orang sakit menjual kepada orang sakit atau orang sehat kepada orang sehat. Jika ahli waris orang sakit yang menjadi penjual berselisih dengan pembeli yang sehat akan harga yang dijual, lalu pembeli itu mengatakan, “Saya membeli darinya dengan harga serat ”, sementara penjual menjawab “Penjual itu menjual barang itu kepada Anda dengan harga dua ratus”, dan jika pembeli dalam hal ini adalah ahli waris atau bukan ahli waris, dan ia (yang sakit) pun belum meninggal dunia hingga ia menjadi ahli waris, maka ia berkedudukan seperti ahli waris apabila orang yang sakit itu meninggal dunia.

Apabila orang yang meninggal dunia itu telah menjualnya dan ia sudah menerima harga darinya lalu ia meninggal dunia, maka ia seperti orang asing pada semua hartanya, kecuali kelebihan yang bisa ditawar orang. Jika ia menjualnya dengan yang bisa ditawar orang, maka itu dibolehkan. Jika ia menjualnya dengan yang tidak bisa ditawar orang, maka dikatakan kepada ahli waris, hokum kelebihan itu pada apa yang bisa ditawar oleh orang, yaitu sebagai hukum wasiat. Sedangkan Anda, maka tidak ada wasiat bagi Anda. Jika Anda kehendaki, maka kembalikan jual-beli, apabila apa yang ia jual belum diserahkan kepada Anda. Begitu pula jika Anda kehendaki, maka berilah ahli waris dari kelebihan harga barang yang bisa ditawar oleh orang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *