Pembahasan Tentang I’tikaf

Imam Syafi’i berkata: I’tikaf itu hukumnya sunah, tapi barang siapa mewajibkan i’tikaf terhadap dirinya selama satu bulan, maka caranya adalah ia harus masuk masjid untuk i’tikaf sebelum matahari tenggelam di awal bulan tersebut dan keluar setelah matahari tenggelam di akhir bulan itu. Dibolehkan mensyaratkan sesuatu dalam i’tikaf wajib (i’tikaf nadzar), misalnya dengan mengatakan: “Apabila terjadi sesuatu terhadap diriku, maka aku akan keluar.” Juga dibolehkan beri’tikaf tanpa meniatkan untuk beberapa hari tertentu, dan i’tikaf seperti ini hukumnya tidak wajib. Jadi, kapan saja ia mau ia bias keluar dari masjid.
Apabila seseorang mewajibkan i’tikaf terhadap dirinya dimasjid tertentu, lalu masjid tersebut roboh, maka ia harus beri’tikaf di tempat yang memungkinkan di antara reruntuhan masjid tersebut. Tapi apabila hal itu tidak memungkinkan, maka ia boleh keluar dari i’tikafnya.
Apabila masjid tersebut sudah dibangun, ia dapat kembali melanjutkan i’tikafnya. Seseorang yang sedang beri’tikaf boleh keluar dari masjid untuk hajat yang tidak bisa dihindari seperti membuang hajat. Untuk kepentingan ini ia boleh pulang ke rumahnya atau ke tempat lain yang memungkinkan untuk buang hajat. Ia harus segera kembali ke masjid apabila hajatnya sudah terpenuhi. Seseorang yang sedang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang sakit dan tidak boleh mengantar jenazah. Seorang muadzin yang sedang beri’tikaf, iaboleh naik ke menara (untuk adzan), baik menara itu di dalam masjid atau diluarnya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang bernadzar karena Allah, yaitu mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf selama satu bulan, tapi ia tidak menentukan bulan yang mana danjuga tidak mensyaratkan harus berturut-turat, maka ia boleh beri’tikaf kapan saja ia mau. Jika ia bernadzar untuk beri’tikaf selama satu bulan disiang hari saja, maka ia boleh beri’tikaf disiang harinya saja tanpa malam harinya. Apabila orang yang sedang beri’tikaf itu mabuk di malam hari atau siang hari, maka i’tikafnya menjadi rasak (batal) dan ia harus memulai lagi i’tikafnya apabila i’tikaf tersebut merapakan i’tikaf wajib. Yang dimaksud dengan i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang dinadzarkan, yaitu dengan perkataan: “Wajib atas diriku karena Allah untuk beri’tikaf sekian hari”. I’tikaf yang tidak wajib adalah i’tikaf yang tidak disertai niat atau syarat apapun. Apabila seseorang bemiat untuk beri’tikaf selama satu hari, dan ia memulai i’tikafnya ditengah hari (zhuhur), maka ia harus menyelesaikan i’tikafnya sampai tengah hari di hari berikutnya. Apabila seseorang bernadzar untuk Allah dan mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf selama sehari,maka aturannya adalah ia harus masuk masjid sebelum fajar sampai tenggelamnya matahari.

Imam Syafi’i berkata: Boleh beri’tikaf pada hari raya ldul Fitri dan Idul Adha serta hari-hari tasyrik, karena i’tikaf itu tidak ada hubungannya dengan puasa (tidak harus disertai dengan puasa). Apabila seseorang bernadzar karena Allah dan mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf selama satu hari pada hari datangnya si fulan, kemudian si fulan datang di pagi atau sore harinya, maka ia harus beri’tikaf ketika si fulan datang sampai habisnya waktu siang (sampai tenggelam matahari). Tapi apabila si fulan datang dan ia dalam keadaan sakit atau terhalang, maka ia harus meng-qadha i’tikafnya ketika ia sembuh atau ketika ia terlepas dari halangannya. Jika ternyata si fulan datang pada malam hari, maka orang yang bernadzar itu tidak wajib melakukan i’tikaf sedikitpun, dan juga tidak wajib mengqadha. Apabila orang yang sedang beri’tikaf itu melakukan ihram haji, maka ia harus menyempurnakan i’tikafnya. Tapi jika khawatir akan ketinggalan hajinya, maka ia harus menyempurnakan hajinya walaupun i’tikafhya itu diniatkan berturut-turat. Apabila selesai melakukan ibadah haji, ia boleh mengulang lagi i’tikafnya. Tapi apabila i’tikafnya tidak disyaratkan berturut-turat,maka ia hanya meneruskan i’tikafnya tersebut.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang perempuan bernadzar untuk i’tikaf, maka suaminya berhak melarangnya. demikian juga seorang tuan (pemilik budak) berhak melarang budaknya, walaupun budak tersebut adalah seorang ummul walad (budak perempuan yang melahirkan anak harus persetubuhan dengan tuannya). Apabila seorang suami membolehkan istrinya untuk beri’tikaf, kemudian setelah itu melarang istrinya untuk melanjutkan i’tikafnya yang belum selesai, maka itu menjadi hak suami. Tapi seorang tuan tidak berhak melarang budaknya untuk beri’tikaf apabila budak tersebut sudah menjadi budak mukatab (budak yang akan merdeka dengan membayar sejumlah tebusan kepada tuannya).
Apabila orang yang sedang beri’tikaf tiba-tiba menjadi gila sebelum selesai i’tikafnya, kemudian ia gila selama beberapa tahun, maka apabila sadar ia harus meneruskan i’tikafnya. Orang yang buta dan lumpuh hukumnya sama dengan orang yang sehat dalam hal i’tikaf.
Apabila ada seorang yang sedang beri’tikaf kemudian ia keluar dari masjid karena lupa, lalu kembali lagi, maka i’tikafnya tidak batal. Seseorang yang sedang beri’tikaf boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi oleh istrinya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Apabila ada seorang perempuan yang sedang beri’tikaf, kemudian suaminya meninggal, maka ia harus keluar dari masjid (menghentikan i’tikafnya) untuk menjalani masa iddah. Apabila masa iddahnya telah selesai, maka ia harus kembali ke masjid untuk meneruskan i’tikafnya kembali. Tapi ada yang berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak boleh keluar dari i’tikafhya. Sebab apabila keluar dari i’tikafhya, maka ia harus mengulang lagi dari awal. Wallahu a ’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *