Dari Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir berkata, “Seorang perempuan yang sedang ihram tidak boleh memakai pakaian yang mengandung wewangian, namun ia boleh memakai pakaian yang dicelup (diwarnai). Saya berpendapat bahwa pakaian yang dicelup tidak mengandung wewangian.”
Imam Syafi’i berkata: Seorang perempuan boleh memakai sepatu dan tidak perlu memotongnya. Seorang perempuan juga boleh memakai celana panjang, sepatu panjang, kerudung dan baju besi, walaupun dalam hal ini dia tidak dalam keadaan darurat sebagaimana laki-laki. Dalam hal ini pakaian perempuan berbeda dengan pakaian laki-laki.
Imam Syafi’i berkata: Pakaian seorang laki-laki yang sedang berihram berbeda dengan pakaian perempuan yang sedang berihram, tapi dalam beberapa hal ada persamaan. Persamaannya adalah, baik laki-laki atau perempuan sama-sama tidak boleh memakai pakaian yang dicelup dengan za ’faran atau dengan waras, karena pakaian tersebut mengandung wewangian. Maka, demikian juga segala pakaian yang mengandung wewangian juga tidak boleh dipakai. Seperti pakaian yang dicelup dengan air bunga mawar, misik (kasturi), anbar atau jenis wewangian lainnya yang lebih wangi dari waras atau yang sepadan dengannya, baik wewangian tersebut menimbulkan warna pada pakaian atau tidak, baik pakaian tersebut kering atau basah.
Apabila pakaian yang dicelup dengan air bunga mawar itu kering dan wangi bunga mawarnya masih tercium, maka pakaian seperti ini tidak boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram. Apabila pakaian dicelup dengan wewangian Arab, Persi atau wewangian lain yang wanginya makruh dicium oleh yang sedang berihram, maka pakaian seperti ini tidak boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram. Intinya adalah, segala bentuk wewangian yang tidak boleh dicium oleh orang yang sedang ihram, lalu wewangian tersebut dikeluarkan airnya dengan cara apapun, baik dengan cara dimasak atau tidak, kemudian suatu pakaian dibenamkan ke dalam wewangian tersebut, maka pakaian seperti ini tidak boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram, baik dia laki-laki atau perempuan. Adapun wewangian yang boleh dicium oleh orang yang sedang ihram adalah seperti wewangian yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan yang tidak termasuk tumbuhan wewangian seperti idzkhir, dharwi, syih, qaishum, dan basyam dan yang sejenisnya, yang merupakan tanaman untuk dimakan tapi mengandung bau wangi seperti utruj, safarjal dan tuffah.
Tanaman-tanaman seperti ini apabila airnya diambil untuk Waras adalah tanaman yang berwarna kuning dan wangi baunya, biasanya dipakai untuk mencelup pakaian yang berwama antara merah dan kuning. Tanaman ini merupakan tanaman wewangian yang sangat terkenal di negeri Yaman.
Idhir ialah tanaman yang berupa rerumputan yang baunya wangi dan biasa dipakai untuk wewangian. Tanaman ini bunganya sering direndam seperti teh. Tanaman ini mudah tumbuh di tempat yang kering dan panas, tanaman ini juga sering disebut sebagai tanaman Makkah.
Syih adalah tanaman berbau tajam yang menghasilkan minyak (worm wooding). Nama lainnya adalah katun lavender.
Basyam adalah tanaman yang harum dan wangi, yang daunnya bisa untuk menghitamkan rambut, dan dahannya berduri. Semacam jeruk (citroning). Nama pohon dari buah seperti apel (Quinceing). merendam pakaian, maka menurut pendapat saya hendaknya dihindari oleh orang yang sedang ihram baik dia laki-laki atau perempuan walaupun apabila orang yang sedang ihram memakai pakaian seperti ini ihramnya sah dan tidak wajib membayar fidyah. Orang yang sedang berihram, baik dia laki-laki atau perempuan, sama-sama tidak boleh memakai penutup muka (cadar) dan sarung tangan.
Mereka boleh memakai pakaian yang dicelup dengan warna kuning, baik celupan itu merata atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya orang yang sedang ihram boleh memakai pakaian yang dicelup dengan warna dan za faran apabila pakaian tersebut tidak wangi. Tapi biasanya za ’faran dan waras ini dijadikan bahan dasar untuk wewangian. Apabila ternyata demikian, maka harus dihindari oleh orang yang sedang berihram. Menurut pendapat saya orang yang sedang berihram, baik laki-laki atau perempuan, lebih baik memakai pakaian yang berwama putih, dan makruh hukumnya orang yang berihram memakai pakaian yang berwarna kuning mencolok dan hitam serta warna-wama lain.’Tapi apabila pakaian semacam itu dipakai oleh seseorang yang sedang berihram, maka ia tidak wajib membayar fidyah dengan cacatan apabila pakaian tersebut tidak memakai wewangian.
Adapun perbedaan perempuan dan laki-laki dalam masalah pakaian ihram adalah, perempuan boleh memakai sepatu yang menutupi mata kaki walaupun ia mendapatkan sandal. Begitu juga perempuan boleh memakai baju besi, kerudung dan celana panjang. Pakaian-pakaian ini lebih menutupi badan seorang wanita dari pada sepatu. Maka menurut pendapat saya,seorang perempuan yang sedang ihram lebih baik memakai sepatu dari pada memakai sandal Perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa ihram seorang perempuan itu ada pada wajah, sedangkan ihram laki-laki itu ada pada kepala. Maka seorang laki-laki dalam keadaan apapun boleh menutup wajahnya walaupun dia tidak dalam keadaan darurat, dan yang demikian ini tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan yang sedang berihram. Apabila seorang perempuan yang sedang berihram berada di tengah-tengah manusia dan ingin menutup wajahnya agar tidak terlihat oleh laki-laki lain yang bukan mahram, maka ia boleh menutupkan jilbabnya atau kerudungnya atau kain yang diamiliki di depan wajahnya, tapi jangan sampai menempel dengan wajahnya, sehingga wajahnya tidak dilihat oleh laki-laki lain.
Imam Syafi’i berkata: Seorang perempuan yang sedang berihram tidak boleh mengangkat kainnya, ia juga tidak boleh menutup dahinya dan menutup salah satu bagian wajahnya, kecuali sedikit bagian pada pinggir wajah tempat melekatnya kerudung. Karena kalau kerudung itu dilekatkan pas di ujung tempat tumbuhnya rambut, niscaya kerudung itu akan terlepas dan rambut akan tersingkap,maka seorang perempuan dalam keadan seperti ini boleh memakai kerudung walaupun dengan sedikit menutup bagian pinggir wajahnya. Sedangkan seorang lelaki tidak boleh memakai serban (tutup kepala), tidak boleh memakai sepatu kecuali apabila dia tidak bias mendapatkan sandal dan sepatu itu harus dipotong sehingga tidak menutupi mata kaki, serta tidak boleh memakai celana panjang. Seorang laki-laki yang berihram boleh mengikat kain sarungnya dengan sabu katau serempang, karena cara memakai kain sarung yang lazim adalah dengan mengikatnya dengan sabuk atau serempang, bukan dengan mengikat kedua ujungnya ke belakang. Jika menghendaki, ia juga bias menusuk kedua ujung sarung tersebut dengan sesuatu agar tidak terlepas. Seorang laki-laki yang sedang berihram apabila menutup kepalanya dalam keadaan sadar dan tahu bahwa hal itu dilarang, maka ia harus membayar fidyah walaupun menutup kepalanya hanya sekejap mata. Begitu juga seorang perempuan yang menutup mukanya atau memakai pakaian yang dilarang ketika ihram, maka ia juga harus membayar fidyah. Seorang laki-laki tidak boleh menutup kepalanya walaupun dengan alasan sakit atau yang lainnya. Apabila ia melakukan hal itu, maka ia harus membayar fidyah.
Imam Syafi’i berkata: Seorang laki-laki yang sedang berihram boleh memakai serempang (berserempang) dengan kemeja atau celana panjang atau jubah dan lain-lain, selama pakaian tersebut tidak dipakai sebagai pakaian yang menutup tubuhnya. Dalam hal ini pakaian tersebut apabila hanya diserempangkan, maka ia seperti serempang atau selendang. Seorang laki-laki yang sedang berihram boleh mencuci pakaiannya atau mencuci pakaian milik orang lain. Begitujuga ia boleh mengganti pakaian ihramnya dengan pakaian lain, dengan syarat pakaian tersebut bukan merupakan pakaian yang dilarang dalam ihram.
Imam Syafi’i berkata: Dari Musa bin Ubaidah, dari saudaranya Abdullah bin Ubaidah dan Abdullah bin Dinar mereka berkata, “Termasuk Sunnah adalah ketika seorang perempuan berihram, ia menyapu kedua tangannya dengan sedikit ini, yang bekasnya tidak terlalu mencolok.”
Imam Syafi’i berkata: Seorang perempuan yang memakai celak keadaannya lebih mengkhawatirkan dari pada laki-laki yang memakai celak (fitnahnya lebih besar). Jika orang yang berihram memakai celak, baik laki-laki atau perempuan, maka setahu saya hal itu boleh dilakukan dan tidak harus membayar fidyah. Tapi apabila celak tersebut mengandung wewangian, maka si pemakai harus membayar fidyah. Diriwayatkan dan Nafi’, dan Ibnu Umar, bahwasanya ketika Ibnu Umar sedang ihram, ia terkena sakit mata, maka dia meneteskan obat di kedua matanya. Ibnu Umar berkata, ‘‘Seorang yang sedang berihram boleh bercelak dengan celak apa saja apabila dia sakit mata, selama celak tersebut tidak mengandung wewangian, dan boleh juga bercelak walaupun dia tidak sedang sakit mata”