Orang yang Boleh Meninggalkan Shalat Menurut Al Qur’an dan Sunnah

Allah SWT berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah [2]: 222)

Allah mewajibkan thaharah (bersuci) bagi orang yang hendak shalat, baik dengan wudhu maupun mandi junub. Orang yang tidak dalam kondisi suci tidak boleh shalat. Allah menjelaskan masalah haid dan memerintahkan menjauhi istri pada masa haid sampi mereka suci, lalu ketika mereka suci maka mereka boleh disetubuhi. Oleh karena itu, kami menjadikannya sebagai dalil bahwa kesucian mereka diperoleh dengan cara mandi setelah haid selesai, karena air mudah ditemukan dalam kondisi apa pun saat berada di rumah. Maksudnya wanita yang sedang haid bisa suci bukan karena mandi, karena Allah menyebutkan bahwa bersuci hanya dilakukan sesudah mereka suci, dan sucinya mereka karena berhenti haid, sesuai Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Malik mengabari kami dari Abdurrahman bin Qasim, dari ayahnya dari Aisyah, ia mengisahkan ihramnya bersama Nabi SAW, dan saat itu ia sedang haid. Nabi SAW menyuruhnya mengerjakan apa yang dikerjakan oleh orang yang berhaji,

hanya saja kamu jangan thawaf di Baitullah sampai kamu suci.”

Oleh karena itu, kami berargumen bahwa maksud Allah dari kewajiban shalat ini adalah bagi orang yang apabila ia wudhu dan mandi maka ia menjadi suci. Sedangkan wanita yang haid tidak bisa suci lantara wudhu atau mandi. Haid merupakan sesuatu yang fitrah bagi wanita. Haid bukanlah sesuatu yang bisa diusahakan oleh wanita. Oleh karena itu, kewajiban shalat pada masa-masa haid hilang darinya, dan ia tidak wajib mengganti (qadha) shalat yang ditinggalkannya pada waktu kewajiban shalat itu hilang darinya.

Mengenai orang pingsan dan lemah akal karena suatu insiden yang menjadi ketetapan Allah dan ia tidak bisa menghindarinya, serta dengan menganalogikan kepada wanita haid, kami katakan bahwa kewajiban shalat gugur baginya karena ia tidak bisa memahaminya selama ia dalam kondisi tidak bisa menalar.

Telah masyhur di kalangan ulama bahwa Nabi SAW tidak menyuruh qadha shalat kepada wanita yang haid, dan masyhur pula bahwa wanita haid diperintahkan mengganti puasa. Oleh karena itu, kami membedakan antara dua kewajiban tersebut dengan dalil riwayat dan ijma ulama yang telah saya sampaikan.

Letak perbedaan antara puasan dengan shalat adalah, orang yang musafir boleh menunda puasa hngga setelah bulan Ramadhan, namun ia tidak boleh meninggalkan shalat dalam kondisi perjalanan, dan puasa dilakukan satu bulan, sementara sebelas bulan lainnya kosong dari kewajiban puasa. Sementara itu, seseorang tidak boleh meninggalkan shalat selama ia mampu mengerjakan shalat.

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa’ [4]: 43)

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum khamer diharamkan. Jadi, Al Qur’an menunjukkan bahwa orang yang mabuk tidak boleh shalat sampai ia sadar dan paham dengan ucapannya. Oleh karena itu, Allah mengawali dengan larangan shalat, lalu menyebut junub bersamanya. Ulama tidak berbeda pendapat bahwa orang yang junub tidak boleh shalat sampai ia bersuci.

Apabila larangan shalat bagi orang yang mabuk terjadi sebelum khamer diharamkan, maka perbuatan ini lebih dilarang setelah khamer diharamkan, karena orang yang ebrbuat demikian melanggar dua hukum, yaitu:

  1. Ia shalat pada kondisi shalat itu
  2. Ia minum

Shalat mengandung unsur ucapan, perbuatan, dan menahan. Apabila seseorang tidak bisa memahami ucapan, perbuatan dan menahan, maka ia tidak mengerjakan shalat seperti yang diperintahkan, sehingga shalatnya tidak sah dan ia wajib qadha apabila telah sadar.

Orang yang lemah akal karena takdir Allah yang tidak bisa dihindarinya, berbeda dengan orang yang mabuk, karena orang yang mabuk sengaja memasukkan dirinya ke dalam kondisi mabuk. Oleh karena itu, orang yang mabuk wajib qadha, berbeda dengan orang yang lemah akal karena faktor yang bukan hasil dari perbuatannya, maka ia telah menyalahi hukum.

Allah mengarahkan Rasul-Nya untuk menghadap Kiblat ke arah Baitul Maqdis di dalam shalat. Jadi, Baitul Maqdis merupakan Kiblat yang – sebelum di nasakh_ seseorang tidak boleh menghadap ke selainnya. Tetapi Allah lalu menasakh Kiblat Baitul Maqdis, dan memerintahkan beliau menghadap ke Kabah, sehingga tidak seorang pun yang boleh menghadap ke Baitul Maqdis selama-lamanya saat shalat fardhu, dan tidak boleh pula ia menghadap ke selain Baitul Haram.

Masing-masing pada masanya. Menghadap ke Baitul Maqdis – saat Allah mengarahkan Nabi-Nya ke sana – adalah benar. Lalu Allah menasakhnya, sehingga yang benar adalah menghadap Baitullah untuk selamanya. Tidak boleh menghadap ke selainnya dalam shalat fardhu, kecuali dalam kondisi takut, atau shalat nafilah dalam perjalanan, dengan bersandar pada kitab dan Sunnah.

Demikianlah setiap hal yang dinasak Allah. Arti “Nasakh” adalah meninggalkan kewajibannya, dan itu benar pada masanya. Meninggalkan kewajiban itu benar bila Allah memang menasakhnya. Orang yang menjumpai kewajiban itu dianggap taat bila ia mengerjakannya, dan orang yang tidak menjumpai kewajiban itu dianggap taat bila ia mengikuti kewajiban yang menasakhnya.

Allah SWT berfirman:

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ

sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 144)

Tanya: apa dalil bahwa mereka dipindah dari satu Kiblat ke Kiblat lain?

Jawab: firman Allah SWT:

سَيَقُوْلُ السُّفَهَاۤءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلّٰىهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا ۗ قُلْ لِّلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُۗ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. Al-Baqarah [2]: 142)

Diriwayatkan dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, ia berkata:

“saat orang-orang berada di Quba‟ untuk shalat shubuh, tiba-tiba seseorang datang kepada mereka dan berkata, „Nabi SAW menerima satu ayat Al Qur’an malam ini, dan beliau diperintahkan untuk menghadap kiblat, maka menghadaplah ke Kiblat itu. Saat itu mereka menghadap ke syam, lalu mereka berputar menghadap Kabah.”

Diriwayatkan dari Malik, dari Yahya bin Sa‟id, dari Sa‟id bin Musayyab, ia berkata:

“Rasulullah SAW shalat selama enam belas bulan dengan menghadap ke Baitul Maqdis, lalu Kiblat diubah, dua bulan sebelum perang Badar.”

Dalil Al Qur’an tentang shalat dalam kondisi takut adalah firman Allah SWT:

فَاِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًا

jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (QS. Al-Baqarah [2]: 239)

orang yang shalat fardhu tidak boleh shalat sambil berkendaraan kecuali dalam keadaan takut (bahaya). Disini Allah tidak menyebutkan bahwa ia harus menghadap Kiblat.

Ibnu Umar meriwayatkan shalat dalam kondisi takut dari Rasulullah SAW, lalu dalam riwayatnya itu ia berkata: “apabila kondisi takutnya itu lebih dari itu, maka rk shalat sambil berjalan atau sambil berkendara, dengan menghadap Kiblat atau tidak.”

Rasulullah SAW shalat nafilah dalam perjalanan di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah manapun kendaraannya itu menghadap. Hal ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik dan selainnya. Beliau tidak shalat fardhu dalam perjalanan kecuali di atas tanah dengan menghadap kiblat.

Ibnu abu Fudaik meriwayatkan dari Ibnu Abu Dzi‟b, dari Utsman bin Abdullah bin Suraqah dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Nabi SAW shalat di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah Maroko dalam perang bani Anmar.”

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِۗ اِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفًا مِّنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ

Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (QS. Al-Anfal [8]: 65).

Kemudian Allah menjelaskan di dalam Kitab-Nya bahwa Dia menghilangkan ketentuan satu orang mukmin memerangi sepuluh orang kafir, dan menetapkan bahwa satu orang memerangi dua orang kafir. Allah berfirman:

اَلْـٰٔنَ خَفَّفَ اللّٰهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ اَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًاۗ فَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَّغْلِبُوْا مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ اَلْفٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفَيْنِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal [8]: 66)

Sufyan mengabari kami dari Amru bin Dinar dari Ibnu Abbas, ia berkata:

“ketika turun ayat ini “jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”, maka ditetapkan bagi mereka bahwa dua puluh orang tidak boleh lari saat menghadapi seratus orang. Allah lalu menurunkan ayat: „sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir‟. Jadi ditetapkan bagi mereka bahwa seratus orang mukmin tidak boleh lari saat menghadapi dua ratus orang kafir.

Demikian perkataan Ibnu Abbas, insya allah. Allah telah menjelaskan hal ini dalam ayat tersebut, yang tidak membutuhkan penafsiran.

Allah SWT berfirman:

وَالَّذٰنِ يَأْتِيٰنِهَا مِنْكُمْ فَاٰذُوْهُمَا ۚ فَاِنْ تَابَا وَاَصْلَحَا فَاَعْرِضُوْا عَنْهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 15-16)

Allah kemudian menasakh kurungan dan sanksi fisik dalam Kitab- Nya:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ

perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, (QS. An-Nur [24]: 2)

lalu Sunnah menunjukkan bahwa dera seratus kali itu untuk pelaku zina yang belum menikah.

Abdul wahhab mengabari kami dari yunus bin Ubaid, dari Hasan bin Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Ambillah ketetapan dariku. Ambillah ketetapan dariku. Allah telah memberi jalan bagi mereka: pelaku zina perjaka dengan perawan hukumannya seratus kali dera dan pengasingan selama setahun. Sedangkan pelaku zina yang telah menikah hukumannya seratus kali dera dan rajam.

Seorang ulama tsiqah mengabari kami hadits yang sama dari Yunus bin Ubaid, dari Hasan, dari Hiththan Ar-Raqasy, dari Ubadah bin Shamit dari Nabi SAW.

Jadi Sunnah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa dera seratus kali berlaku pada pelaku zina yang belum menikah dan merdeka.

Hukuman ini di nasakh bagi pelaku zina yang telah menikah, dan rajam berlaku pada pelaku zina yang telah menikah.

Hal itu karena sabda Rasulullah SAW – tersebut di atas – merupakan keputusan pertama yang ditetapkan, sehingga  dengan keputusan ini sanksi kurungan dan sanksi fisik dinasakh bagi dua orang yang berzina.

Nabi SAW merajam Ma‟iz, bukan menderanya, lalu beliau menyuruh Unais untuk menyelidiki istri Al Aslami dan merajamnya apabila ia mengakuinya. Hal ini menunjukkan dinasakhnya dera bagi dua pelaku zina yang merdeka dan telah menikah, dan ditetapkannya rajam bagi keduanya, karena segala sesuatu sesudah yang pertama itulah yang terakhir (ketetapan final).

Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya juga menunjukkan bahwa budak yang berzina tidak tercakup dalam ketentuan ini. Allah berfirman tentang wanita-wanita sahaya:

فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ

dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (QS. An-Nisa’ [4]: 25)

yang dimaksud dengan separuh di sini adalah separuh dera yang memang bisa dibagi, sedangkan rajam –hukuman mati – tidak bisa dibagi separuh, karena orang yang dirajam bisa saja mati saat dilempar batu pertama, sehingga lemparannya tidak perlu ditambah. Bisa juga ia tidak mati setelah dilempar seribu batu atau lebih, sehingga harus dilempar lagi sampai ia mati. Jadi hukuman rajam tidak memiliki ukuran separuh yang definitif. Batasan hukuman hadd (selain hukuman mati –penj) adalah jangan sampai menghilangkan nyawa, dan batasan penghilangan nyawa adalah dengan beberapa pukulan, atau pemenggalan yang tepat. Semua ini telah diketahui batasannya. Ketentuan bahwa rajam tidak memiliki ukuran separuh juga telah diketahui secara umum.

Rasulullah SAW bersabda:

 “Apabila budak wanita berzina lalu terbukti zinanya, maka ia hendaknya menderanya.”

Beliau tidak menyuruh merajamnya, dan umat Islam tidak berbeda pendapat dalam hal ini. Maksud dari ihshan bagi budak perempuan adalah keislamannya.

Kami berkata demikian dengan bersandar pada Sunnah dan ijma mayoritas ulama.

Sabda Rasulullah SAW di atas, tidak menyebutkan statusnya, baik muhshanah maupun selain muhshanah. Oleh karena itu, kami menjadikannya sebagai dalil bahwa maksud  muhshanah (menjaga diri) dalam firman Allah SWT tentang budak wanita – (QS. An-Nisa’ [4]: 25) : adalah status mereka yang telah masuk islam, bukan ketika mereka menikah dan bukan pula ketika mereka dimerdekakan.

Tanya: saya melihat Anda memaknai ihshan dengan makna yang berbeda-beda?

Jawab: ya, benar. Esensi makan ihshan (menjaga) adalah menghalangi seseorang dari berbuat hal-hal yang diharamkan. Islam adalah penghalang dalam pengertian tersebut. Begitu juga kemerdekaan, suami, dan keterkurungan di dalam rumah. Setiap yang menghalangi bisa disebut ihshan, sebagaimana firman Allah SWT:

وَعَلَّمْنٰهُ صَنْعَةَ لَبُوْسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِّنْۢ بَأْسِكُمْۚ فَهَلْ اَنْتُمْ شَاكِرُوْنَ

dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). (QS. Al Anbiya [21]: 80)

لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ

mereka tidak akan memerangi kamu dalam Keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng. (QS. Al-Hasyr [59]: 14)

ayat pertama dan kedua menunjukkan bahwa ihshan bisa berarti umum di satu tempat, namun berarti khusus di tempat lain, dan arti ihshan di sini adalah Islam, bukan nikah, kemerdekaan, pengurungan, serta makna-makna lain yang terkandung dalam kata ihshan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *