Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa bernadzar untuk pergi ke Baitullah dengan berjalan kaki, maka ia wajib pergi ke sana dengan berjalan kaki apabila ia mampu. Tapi apabila ia tidak mampu, ia boleh naik kendaraan namun harus menyembelih dan (hewan kurban) sebagai sikap hati-hati karena tidak melaksanakan apa yang telah ia katakan. Tapi menurut qiyas, ia tidak wajib membayar dam karena tidak mampu melakukannya. Sebagaimana orang yang tidak mampu shalat dengan berdiri, dia boleh melakukannya dengan duduk, dan yang tidak bisa melakukannya dengan duduk boleh shalat dengan berbaring.
Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa bersumpah untuk menuju Baitullah dengan berjalan kaki, maka dalam hal ini ada dua pendapat;
Pertama, yang mengikuti pendapat Atha’ yaitu bahwa orang yang bersumpah untuk melakukan suatu ibadah seperti puasa, haji atau umrah, maka kifaratnya adalah kifarat sumpah apabila melanggarnya. Ia tidak wajib melakukan haji, umrah atau puasa tersebut, karena menurut Atha‘ amal ibadah kepada Allah tidak boleh dilakukan kecuali dengan melaksanakan kewajiban tersebut. Selain Atha‘, ada yang berpendapat bahwa orang tersebut wajib menuju Baitullah dengan berjalan kaki apabila hal itu telah ia nadzarkan.
Imam Syafi’i berkata: Contoh nadzar untuk berbuat baik adalah dengan ucapan, “Apabila Allah menyembuhkan fulan, apabila fulan datang dari bepergian, atau apabila fulan membayarkan utangku, maka aku akan melaksanakan haji untuknya sebagai haji nadzar”.
Adapun jika ia mengatakan; “Jika saya tidak sanggup menunaikan kewajiban terhadapmu, maka saya akan pergi ke Baitullah dengan berjalan kaki”, Maka perkataan seperti ini adalah perkataan yang bermakna sumpah, bukan bermakna nadzar.
Inti pendapat Atha’ dalam masalah nadzar adaiah bahwa barangsiapa bernadzar untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka ia tidak boleh melaksanakan nadzarnya dan tidak ada kifarat (denda) baginya, hal ini sesuai dengan Sunnah yang ada. Demikian juga pendapat kami bahwa orang yang bernadzar untuk menyembelih hewan milik orang lain, maka nadzar seperti ini jatuh (tidak berlaku) baginya, karena ini merupakan nadzar terhadap sesuatu yang tidak ia miliki. Demikian juga secara qiyas, kami tentukan bahwa barangsiapa bernadzar untuk melakukan sesuatu yang tidak sanggup untuk melakukannya karena suatu keadaan, maka nadzar tersebut gugur darinya.
Dari Imran bin Husain, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda.
“Tidak ada nadzar di dalam maksiat kepada Allah dan tidak ada nadzar terhadap sesuatu yang tidak dikuasai oleh seorang anak Adam.”
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang bernadzar untuk melaksanakan haji atau umrah dengan berjalan kaki, sementara ia belum pernah melakukan haji dan umrah, maka ia tidak perlu melakukannya dengan berjalan kaki, karena haji dan umrah tersebut merupakan haji rukun Islam (bukan haji nadzar, dengan kata lain bahwa ia belum pemah pergi haji sebelumnya) Apabila ia melakukannya dengan berjalan kaki, maka ia harus melakukan haji dan umrah lagi dengan berjalan kaki, karena yang telah ia lakukan adalah haji wajib (haji rukun Islam), bukan haji yang ia nadzarkan.
Apabila yang ia lakukan diniatkan untuk haji nadzar (bukan haji wajib) untuk orang lain atau untuk haji sunah, maka haji tersebut berlaku untuk haji wajib walaupun ia tidak meniatkannya. Dalam hal ini ia harus melaksanakan haji lagi dengan niat melaksanakan nadzarnya dengan berjalan kaki.
Arrabi’ berkata, “Hal ini apabila berjalan kaki tidak memudharatkan dirinya. Apabila memudharatkan dirinya, maka ia boleh naik kendaraan dan ia tidak terkena denda apapun, sebagaimana Nabi SAW memerintahkan kepada Abu Isra’il untuk menyempurnakan puasanya dan segera berteduh dari terik matahari (Abu Israil bernadzar untuk melakukan puasa sambil berjemur di bawah terik matahari). Di sini Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Israil untuk melaksanakan kebaikan (puasa) dan melarang untuk menyiksa dirinya, karena Allah tidak butuh siksaan yang dia lakukan.”
Imam syafi’i berkata: Apabila seseorang bernadzar dengan mengatakan; “Saya wajib berjalan kaki ke Afrika atau ke Irak atau ke tempat lain”, maka dalam hal ini ia tidak wajib pergi ke tempat yang dia nadzarkan tersebut, karena pergi ke tempat-tempat tersebut bukan merupakan ketaatan kepada Allah walaupun dengan berjalan kaki. Yang merupakan ketaatan kepada Allah hanyalah pergi ke tempat yang ada kebaikannya, seperti Masjidil Haram.
Yang lebih saya sukai apabila seseorang bernadzar untuk pergi ke masjid Madinah dengan berjalan kaki, maka hendaklah ia pergi ke sana dengan berjalan kaki. Begitu juga apabila ia bernadzar pergi ke Baitul Maqdis dengan berjalan kaki, maka hendaklah ia pergi ke sana dengan berjalan kaki, karena Rasulullah SAW bersabda.
“Kendaraan tidak boleh dipersiapkan kecuali untuk pergi ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram dan masjidku ini, serta masjid Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa).