Mush’Ab Bin Umair Duta Islam Pertama & Bapak Tauhid

Mush‘ab bin Umair salah seorang di antara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan.

Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepemudaannya dengan kalimat:

Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum.

Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush‘ab bin Umair.

Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat- tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan?

Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush‘ab bin Umair atau ―Mush‘ab yang baik‖, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad saw.

Tetapi corak pribadi manakah … ?

Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya.

Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad al-Amin . . . Muhammad saw., yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da‘i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.

Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah saw. serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat- tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman- ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.

Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah saw. sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajarkannya ayat-ayat al-Quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.

Baru saja Mush‘ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush‘ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

yang di Mekah tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan ditemuinya .. . Orang- orang musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh.

Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. la segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi dirasanya ia tak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali dengan menggunakan diplomasi halus, maka   katanya   kepada   mereka:  Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah kafilahmu nanti!‖ Mereka pun sama menyadari hal itu, lalu pergi meninggalkannya.

Tetapi Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderitaan dalam membela Agama Allah, tak hendak meninggalkan Mekah sebelum berhasil memperoleh tambahan dari darma baktinya.

Demikianlah pada hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya.

Kedua wanita itu memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah bahwa  tiada  Tuhan  yang  haq  diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah‖.

Maklumlah sudah Rasulullah saw. akan watak dan tabi‘at murid barunya yang ulung ini serta keberaniannya yang me-nakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar din pulang, sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir secara terang- terangan, ia dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya.

Abu Dzar kembali  mendapatkan  keluarga serta kaumnya dan menceritakan kepada mereka tentang Nabi yang barn diutus Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. seorang demi seorang kaumnya masuk Islam. Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tapi dilanjutkannya pada suku lain yaitu suku Aslam di tengah-tengah mereka ia pancarkan cahaya Islam ….

Hari-hari berlalu mengikuti peredaran masa, Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama Kaum Muslimin. Pada suatu hari, satu barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang mereka. Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh, tentulah.yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang hendak menyerang kota.

Rombongan besar itu semakin dekat . . . lalu masuk ke dalam. kota … dan menujukan langkah mereka ke masjid Rasulullah dan tempat kediamannya.

Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak- anak.

Sudah selayaknyalah Rasulullah semakin ta‘jub dan kagum! Belum lama berselang, ia ta‘jub ada seorang laki-laki dari Ghifar yang menyatakan keislaman di hadapannya. Sabdanya menunjukkan keta‘juban itu:

Sungguh, Allah memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Maka sekarang yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keislaman mereka. Setelah beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dzar. Dan ikut pula bersama mereka suku Aslam. Raksasa garong dan komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung kebenaran! Nah, tidakkah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada  siapa yang dikehendaki-Nya?

Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda: Suku Ghifar telah di-ghafar diampuni oleh            Allah. Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya pula : Suku Aslam telah disalam diterima dengan damai oleh Allah.

Dan mengenai Abu Dzar, muballigh ulung yang berjiwa,bebas dan bercita-cita mulia itu, tidakkah Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak pelak lagi, pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta – ucapan kepadanya dipenuhi berkah! Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang tertinggi, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu  Dzar    ini: Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar. Sungguh, Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan menyimpulkan kesemuanya pada kalimat, tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan!

Benar bathinnya, benar pula lahirnya. Benar aqidahnya, benar pula ucapannya.

Ia akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah menyatakan secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan menentang yang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang  salah. Benar itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.

Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan keshabaran dan tidak terburu nafsu.

Pads suatu hari Rasulullah mengemukakan kepadanya pertanyaan berikut ini:

Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?‖ Jawab Abu Dzar: Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!‖ Sabda Rasulullah pula: Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu . . . ? Ialah bershabar sampai kamu menemuiku. Tahukah anda kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan  seperti itu?  Itulah persoalan pembesar dan harta…   !   Nah itulah persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang harus dipecahkannya!

Hal itu telah dimaklumi oleh Rasulullah, dan itulah sebabnya kepada beliau mengajukan pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat yang amat berharga: Bershabarlah sampai kamu menemuiku‖.

Maka Abu Dzar akan selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari harta rakyat sebagai ancamannya dulu. . . , tetapi juga ia tidak akan bungkam atau berdiam diri walau agak sesaat pun terhadap mereka!

Memang, seandainya Rasulullah saw. melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi membela kebenaran. Dan wasiat itu akan dilaksanakannya … !

Masa Rasulullah berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa. Abu Bakar, kemudian masa Umar. Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya godaan hidup dan unsur- unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan.

Ketika itu tidak terdapat penyelewengan- penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah lama berlaku dalam pemerintahan Amirul Mu‘minin Umar keharusan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan pembesar Islam. Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah melaksanakan disiplin ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kernampuan manusia.

Tiada seorang pun di antara pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan‘a, atau di negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar dan perintah keras pun akan memanggil pejabat yang bersangkutan menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani Pemeriksaan ketat.

Akan  tenanglah  Abu Dzar kalau demikian… tenteram dan damai,  selama al-Faruqul adhim‘) masih menjabat Amirul Mu‘-minin….Dan selama Abu Dzar dalam kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab yang ketat terhadap fihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta, berarti telah memberikan kepuasan dan kelegaan kepada dirinya….Dan dengan demikian dapatlah ia memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Allah penciptanya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikit pun hendak berdiam diri jika melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi ….

Akan tetapi setelah khalifah besar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam kepemimpinan. Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran al-Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan yang melebihi batas.

Abu Dzar melihat bahaya ini ….

Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang mengemban risalah untuk mempergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan!

Dan harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, cenderung berubah rupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia. Dan kepada siapa…?  Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!

Hasil kekayaan bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.

Dan jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan Ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.

Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah kepadanya dulu. Maka dimasukkannya kembali pedang itu.

ke dalam sarungnyanya, karena tiada sepantasnya ia akan mengacungkannya ke wajah seorang Muslim. Dan tidak ada haq bagi seorang Mu‘min untuk membunuh Mu min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja). (Q.S. 4 an-Nisa:92).

Bukankah dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar? Orang yang memiliki kemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.

Maka dengan senjata kebenarannya  ia akan pergi mendapatkan para pembesar, kaum hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayakan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adzab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombongan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan, kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya …!

Baiklah ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi Hakim di antaranya dengan mereka, dan Dialah sebaik-baik hakim!

Maka. pergilah Abu Dzar menemui pusat- pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar me- rubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.

Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana dan tak satu daerah pun yang dilaluinya bahkan walau baru namanya yang sampai ke sana menimbulkan rasa takut dan ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.

Seandainya penggerak hidup sederhana ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan diulang-ulang Pula oleh para. pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan, ialah kalimat kalimat ini:

Beritakanlah kepada Para penumpuk harta,yang menumpuk emas dan Perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari qiamat

Setiap ia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan  ucapan: Beritakan  kepada  para penumpuk harta . . .!‖

Kalimat ini benar-benar telah menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi tekad serta pendorong dalam membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah ditumpuk dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan dan mengaut keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah merajalela dan hampir saja melumuri hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan, berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.

Abu Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria, tempat bercokolnya Mu‘awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayah Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya. Mu‘awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya, didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas ….

Di sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda sisa-sisa yang tinggal dari pemikul da‘wah, maka Abu Dzar harus cepat mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolongan datang terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.

Pemimpin gerakan hidup sederhana ini pun berkemas-kemas, dan secepat kilat berangkat ke Syria. Dan demi berita itu di- dengar oleh rakyat jelata, mereka pun menyambut kedatangannya dengan semangat menyala penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana perginya.

Bicaralah, wahai Abu Dzar!‖ kata mereka: bicaralah, wahai shahabat Rasulullah!‖ Abu Dzar melepaskan pandang menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumun. Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Lalu dilayangkan pandangnya ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana, maka tampaklah olehnya gedung- gedung dan mahligai tinggi. Berserulah ia kepada orang-orang yang berhimpun sekelilingnya itu:

Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya!

Tetapi segera pula teringat olehnya wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih cara evolusi daripada cara revolusi, menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang. Maka ditinggalkannyalah bahasa perang dan kembali menggunakan Bahasa logika dan kata-kata jitu. Diajarkannyalah kepada orangorang itu bahwa mereka sama tak ubah bagai gigi- gigi sisir . bahwa.semua mereka berserikat dalam rizqi bahwa tak ada kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan taqwa dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan, haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum anak buahnya, sebaliknya yang paling belakang menikmati kekenyangan setelah mereka … !

Dengan ucapan serta keberaniannya. Abu Dzar telah memutuskan untuk membentuk suatu pendapat umum di setiap negeri Islam; hingga dengan kebenaran, kekuatan dan ketangguhannya menjadi kekangan terhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta  kekayaan.

Dalam beberapa hari saja daerah Syria seakan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan ratu yang mereka ta‘ati. Dan seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk berontak, pastilah api pemberontakan akan berkobar. Tetapi sebagai telah kita katakan tadi, niatnya hanya, terbatas untuk membentuk suatu pendapat umum yang harus dihormati, dan agar ucapan-ucapannya menjadi busa bibir di tempat-tempat pertemuan, di masjid dan di jalan-jalan.

Bahaya terhadap perbedaan-perbedaan yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan dialog dengan Mu‘awiyah di hadapan umum, di mana yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir dan beritanya, bagaikan terbang dibawa angin. Abu Dzar tampil sebagai orang yang paling jitu ucapannya sebagai telah dilukiskan oleh Nabi sebagai gurunya.

Dengan tidak merasa gentar dan tanpa tedeng aling-aling ditanyainya Mu‘awiyah tentang kekayaannya sebelum menjadi wali negeri dan kekayaannya sekarang …. Mengenai rumah yang dihuninya di Mekah dulu, dan mahligai-mahligainya, yang terdapat di Syria dewasa ini . . . .

Kemudian dihadapkannya pertanyaan kepada para shahabat yang duduk di sekelilingnya, yaitu yang ikut bersama Mu‘awiyah ke Syria dan telah memiliki gedung-gedung serta, tanah-tanah pertanian yang luas pula. Lalu ia berseru kepada  semua  yang  hadir:  Apakah tuan-tuan yang sewaktu Qur‘an diturunkan kepada Rasulullah, ia berada di lingkungan tuan-tuan‖. Jawaban pertanyaan itu diberikannya sendiri, katanya: Benar, kepada tuan-tuanlah al-Quran diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!

Kemudian diulangi pertanyaannya:

Tidakkah tuan-tuan jumpai dalam al-Quran ayat ini:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafqahkannya di jalan Allah, bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Yaitu ketika emas dan perak dipanaskan dalam api neraka, lalu diseterikakan ke kening, ke pinggang dan ke punggung mereka sambil dikatakan. Nah, inilah dia yang kalian simpan untuk diri kalian itu, maka rasailah akibatnya!(Q.S. 9 at-Taubah: 24 — 35).

Mu‘awiyah memotong jalan pembicaraannya, katanya: Ayat  ini diturunkan kepada Ahlul Kitab!‖, tidak!‖, seru Abu   Dzar; bahkan ia diturunkan kepada kita dan kepada mereka!

Abu Dzar melanjutkan ucapannya, menasehati Mu‘awiyah dan para anak- buahnya agar melepaskan gedung, tanah serta harta kekayaan itu; dan tidak menyimpan untuk diri masing-masing kecuali sekedar keperluan sehari-hari.

Berita tentang Abu Dzar dan soal jawab ini tersebar dari mulut ke mulut, dari orang banyak ke orang banyak. Semboyannya semakin nyaring terdengar di rumah-rumah dan di jalan-jalan: Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterikaseterika api neraka!

Mu‘awiyah sadar akan adanya bahaya, ia cemas akan akibat ucapan tokoh ulung ini. Tetapi ia pun mengerti akan pengaruh dan kedudukannya, hingga tidak akan melakukan hal-hal yang menyakitkannya. Hanya dengan segera ditulisnya surat kepada Khalifah Utsman r.a. menyatakan:

Abu Dzar telah merusak orang-orang di Syria!

Sebagai jawabannya Utsman mengirim surat meminta Abu Dzar datang ke Madinah. Kembali Abu Dzar berkemas- kemas menyingsingkan kaki celananya, lalu berangkat ke Madinah. Dan pada hari keberangkatannya itu, Syria menyaksikan saat-saat perpisahan dan ucapan selamat jalan dari khalayak ramai, suatu peristiwa yang luar biasa yang belum pernah disaksikannya selama ini …    !

Aku tidak memerlukan dunia tuan-tuan..

Demikianlah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar kepada Utsman setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung diskusi yang lama antara mereka. Dari pembicaraan dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya dari seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat Abu Dzar, Utsman menyadari sepenuhnya bahaya gerakan ini dan kekuatannya. Dari itu ia mengambil keputusan   akan membatasi  langkahnya, yaitu dengan menyuruh Abu Dzar tinggal di dekatnya di Madinah.

Keputusan itu disampaikan dan ditawarkan oleh khalifah secara lunak lembut dan bijaksana, katanya:  Tinggallah di  sini  di sampingku! Disediakan bagimu unta yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore! Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!‖, ujar Abu Dzar.

Benar, ia tidak memerlukan dunia manusia karena ia termasuk golongan orang suci yang mencari kekayaan ruhani dan menjalani kehidupan untuk memberi dan bukan untuk menerima! Dimintanyalah kepada khalifah Utsman r.a. agar ia diberi idzin tinggal di Rabadzah, maka diperkenankannya.

Dalam hangat-hangatnya gerakan revolusi itu Abu Dzar tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya, dan meresapkan sampai ke tulang sum-sumnya  nasihat yang diberikan oleh Nabi saw. agar tidak menggunakan senjata. Dan seolah-olah Rasulullah telah melihat semua yang ghaib; terutama mengenai Abu Dzar dan masa depannya, maka disampaikannyalah nasihat amat berharga itu.

Oleh sebab itu Abu Dzar tak hendak menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan fitnah, telah menggunakan ucapan dan da‘wahnya untuk memenuhi keinginan dan siasat licik mereka. Pada suatu hari sewaktu ia sedang berada di Rabadzah, datanglah perutusan dari Kufah memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap khalifah. Maka disemburnya mereka dengan kata-kata tegas sebagai berikut:

Demi  Allah,  seandainya  Utsman  hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, tentulah saya dengar titahnya dan saya taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku . . .!

Dan seandainya ia menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku . . .!‖

Begitu  pun  jika  ia  meyuruhku  pulang ke rumahku, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku … !‖

Itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan sesuatu tujuan duniawi; dan karena itu Allah melimpahinya

pandangan tembus hingga sekali lagi  ia melihat bahaya dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata maka dijauhinya.

Sebagaimana ia telah melihat apa akibatnya bila ia membisu dan tidak buka suara yang tidak lain dari bahaya dan bencana, maka dihindarinya pula. Lalu ditariklah suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan benar dan kata-kata tegas, tanpa suatu keinginan pun yang mendorong atau akibat yang akan menghalanginya.

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala godaan kehidupan dunia. Ia akan menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam tentang harta dan kekuasaan, karena keduanya mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang dikhawatirkan Abu Dzar terhadap kawan-kawannya yang telah memikul panji-panji Islam bersama Rasulullah saw. dan yang harus tetap memikulnya untuk seterusnya.

Di samping itu kekuasaan dan harta merupakan urat nadi kehidupan bagi ummat dan masyarakat, hingga bila keduanya telah beres, maka nasib manusia pun akan menghadapi bahaya benar.

Abu Dzar berkeinginan agar tak seorang pun di antara shahabat Rasul menjadi pejabat atau pengumpul harta, tetapi hendaklah mereka tetap menjadi pelopor kepada hidayah Allah dan pengabdi bagi-Nya. Ia telah mengenali benar tipu daya dunia dan harta ini, dan menyadari pula bahwa Abu Bakar dan Umar tak mungkin bangkit kembali. Telah pula didengarnya Nabi saw. memperingatkan shahabat- shahabatnya akan daya tarik dari jabatan ini dan dinasihatkannya:

Ini merupakan amanat, dan di hari qiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan . .. , kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya . . .

Demikian ketatnya Abu Dzar  mengenal hal ini, sampai-sampai ia menjauhi saudara dan handai taulannya, jika tak boleh dikatakan memutuskan hubungan dengan mereka, disebabkan mereka telah menjadi pejabat yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.

Pada suatu hari ia ditemui oleh Abu Musa al-Asy‘ari, dan demi dilihatnya Abu Dzar, maka dibentangkan kedua tangannya sambil berseru kegirangan dengan pertemuan itu. selamat wahai Abu Dzar … selamat wahai saudaraku!‖; tetapi Abu Dzar menolak, katanya: Aku bukan saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernur!‖

Demikian pula ketika pada suatu hari ia ditemui oleh Abu Hurairah yang memeluknya sambil mengueapkan selamat, Abu Dzar menolakkan dengan Langan, katanya: Menyingkirlah daripadaku, bukankah kamu telah menjadi seorang pejabat; hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara ternak dan mengusahakan pertanian!‖ Abu Hurairah menyanggah dengan gigih dan menolak semua desas-desus itu.

Yah, mungkin Abu Dzar bersikap keterlaluan dalam pandangannya terhadap harta dan kekuasaan. Tetapi ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanan- nya. Maka Abu Dzar berdiri dengan cita-cita dan karyanya, dengan fikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang telah dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah dan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar.

Dan seandainya sebagian orang melihat, bahwa ukuran itu terlalu ideal yang tak mungkin dapat dicapai, tetapi Abu Dzar menyaksikannya sebagai contoh nyata; yang telah menggariskan jalan hidup dan usaha, terutama bagi pribadi yang hidup di masa Rasulullah; yakni yang melakukan shalat di belakangnya, berjihad bersamanya dan telah mengambil bai‘at akan patuh dan mentaatinya.

Lagi pula, sebagaimana telah kita kemukakan, dengan penglihatannya yang tajam ia melihat bahwa harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh menentukan terhadap nasib manusia. Oleh sebab itu, setiap kebobrokan yang menimpa amanat tentang keadilan dan kekuasaan dalam soal harta, akan menimbulkan bahaya hebat yang harus segera disingkirkan!

Sepanjang hayatnya, dengan sekuat tenaga Abu; Dzar memikul panji contoh utama dari Rasulullah dan kedua shahabatnya, menjadi penyangga dan sebagai orang terpercaya memeliharanya. Dan ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Pada suatu kali ditawarkan orang kepadanya sebuah jabatan sebagai amir di Irak, katanya:  Demi  Allah,  tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan, dunia tuan-tuan itu untuk selamalamanya!‖

Kali yang lain, seorang kawan melihatnya memakai jubah usang, maka katanya:

Bukankah anda masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lewat saya lihat anda punya dua helai baju baru!‖

Jawab Abu Dzar:  Wahai     putera saudaraku! Kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya dari padaku!‖ Kata  kawan  itu  pula:  Demi Allah! Anda juga membutuhkannya!‖ Menjawablah  Abu  Dzar:  Ampunilah  ya Allah . . .! Kamu terlalu membesarkan dunia! Tidakkah kamu lihat burdah yang saya pakai ini? Dan saya punya satu lagi untuk shalat Jum‘at. saya punya seekor kambing untuk diperah susunya, dan – seekor keledai untuk ditunggangi! Ni‘mat apa lagi yang lebih besar dari yang kita miliki ini …

Pada suatu‘hari ia duduk menyampaikan sebuah Hadits,  katanya:

Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh perkara: Disuruhnya aku agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka. Disuruhnya aku melihat kepada orang yang di bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada orang lain…. Disuruhnya aku agar menghubungkan tali shilaturahmi …. Disuruhnya aku mengatakan yang haq walaupun pahit . . .

Disuruhnya aku agar dalam menjalankan Agama Allah, tidak takut celaan orang. Dan disuruhnya agar memperbanyak menyebut: Las hauls walaa quwwata illaa billah  Sungguh, ia hidup menjalani wasiat itu, dan ditempanya corak hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga ia pun menjadi hati nurani masyarakat dari ummat dan bangsanya. Berkata Imam Ali:  Tak seorang pun tinggal sekarang ini yang tidak memperdulikan celaan orang dalam menegakkan Agama Allah, kecuali Abu Dzar …  ! Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta!

Untuk Menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar! Mengambil alih tanggung jawab untuk menyampaikan nasihat dan peringatan!

Mereka larang ia memberikan fatwa, tapi suaranya bertambah lantang, katanya kepada yang melarang itu:

Demi Tuhan  yang  nyawaku  berada  di tangan-Nya! Seandainya tuan-tuan menaruh pedang di atas pundakku, sedang menurut rasa hatiku masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar daripadanya, pastilah akan kusampaikan juga sebelum tuan-tuan menebas batang leherku … !‖

Wahai …. kenapa Kaum Muslimin tak hendak mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu .! Seandainya mereka dengarkan, pastilah fitnah yang berkobar dan berlarut-larut; yang menjerumuskan pemerintah dan masyarakat Islam pada bahaya, padam dan mati dalam kandungan ….

Sekarang Abu Dzar sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah . . . , suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman r.a. Nah, marilah kita mendapatkannya, untuk melepas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa!

Seorang perempuan kurus yang berkulit kemerah-merahan dan duduk dekatnya menangis. Perempuan itu adalah isterinya. Abu Dzar bertanya kepadanya: Apa yang kamu tangiskan padahal maut itu pasti datang?  Jawabnya:   karena  anda  akan meninggal, padahal pada kita tak ada kain untuk kafanmu!

Abu Dzar tersenyum  dengan  amat  ramah seperti halnya orang yang hendak merantau jauh lalu berkata kepada isterinya itu:

Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang shahabatnya, saya dengar beliau bersabda: Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oJeh serombongan orang-orang beriman . .!‖

Semua yang ada di Majlis Rasulullah itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jama‘ah Kaum Muslimin, tak ada lagi yang masih hidup di antara mereka kecuali daku . . . . Nah, inilah daku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah olehmu jalan . . . . siapa tabu kalau-kalau rombongan orang- orang beriman itu sudah datang! Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!‖

Dan ruhnya pun kembali ke hadlirat Allah…. Dan benarlah, tidak salah ….

Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan Kaum Mu‘minin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas‘ud, shahabat Rasulullah saw. Dan sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas‘ud telah melihat sesosok tubuh; sesosok tubuh yang terbujur seperti tubuh mayat, sedang di sisinya seorang wanita tua dengan seorang anak, kedua-duanya menangis.

Dibelokkannya kekang kendaraan ke tempat itu, diikuti dari belakang oleh anggota rombongan. Dan demi pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya; saudaranya seagama dan saudaranya dalam membela Agama Allah, yakni Abu Dzar. Air matanya mengucur lebat, clan di hadapan tubuh mayat yang suci itu ia berkata:

Benarlah ucapan Rasulullah …. Anda   berjalan sebatang kara …. mati sebatang kara…. dan dibangkitkan nanti sebatang kara . . . Ibnu Mas‘ud r.a. pun duduklah, lalu

diceiitakan kepada para shahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu:

Anda berjalan  seorang diri, mati seorang diri dan dibangkitkan nanti seorang diri!

Ucapan itu terjadi di waktu perang Tabuk tahun kesembilan Hijrah Rasulullah

saw. telah menitahkan untuk maju me-mapak dan menghadang pasukan Romawi yang telah berkumpul di suatu tempat, telah siap perang akan menggempur ummat Islam.

Kebetulan waktu Nabi menyerukan Kaum Muslimin untuk berjihad itu, di saat musim susah dan panas terik. Tempat yang akan dituju jaraknya amat jauh, sedang musuh menakutkan pula. Sebagian Kaum Muslimin ada yang enggan ikut serta karena berbagai alasan.

Rasulullah dan para shahabatnya berangkatlah diikuti oleh sebahagian orang setengah terpaksa karena enggan. Dan bertambah jauh perjalanan mereka, bertambah pula kesulitan dan kesusahan  yang diderita.

Bila ada orang yang tertinggal di belakang, mereka berkata: Wahai Rasulullah! si anu telah tertinggal‖. Maka ujarnya:

Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!

Pada suatu kali, mereka melihat berkeliling, kiranya tiada tampak oleh mereka Abu Dzar. Maka kata mereka kepada  Rasulullah  saw.: Abu  Dzar  telah tertinggal, keledainya menyebabkan ia terlambat‖. Rasulullah mengulangi jawabannya tadi.

Keledai Abu Dzar memang telah amat lelah disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi gontai. Ada dicobanya dengan berbagai akal menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.

Abu Dzar merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari Kaum Muslimin hingga tak dapat mengikuti jejak mereka. Maka ia pun turun dari punggung kendaraannya, diambilnya barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, lalu diteruskannya perjalanan dengan berjalan kaki. Dipercepatlah langkahnya di tengah- tengah padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah saw. dan para shahabatnya.

Di waktu pagi, ketika Kaum Muslimin telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu naik ke atas, sedang di belakangnya kelihatan sosok tubuh  seorang lakilaki yang mempercepat langkahnya.

Wahai   Rasulullah!‖  kata  orang  yang melihat  itu,  itu  ada  seorang  laki-laki berjalan seorang diri!‖ Ujar Rasulullah saw.:  Mudah-mudahan orang  itu  Abu Dzar … !‖ Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, di saat mana mereka akan mengetahui siapa dia.

Musafir mulia itu mendekati mereka secara lambat, langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang  dilingkungi barkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah saw. dan saudara- saudaranya seperjuangan ….

Setelah ia sampai dekat rombongan, seorang berseru: Wahai Rasulullah! demi Allah ia Abu Dzar‖. Sementara itu Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah. Dan demi Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasihan, sabdanya:

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar …!  Ia berjalan sebatang kara …. Meninggal      sebatang kara  ….  Dan dibangkitkan nanti sebatang kara ….

Setelah berlalu masa dua puluh tahun atau lebih dari hari yang kits sebutkan tadi, Abu Dzar wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara . . . , Setelah sebatang kara pula ia menempuh hidup yang luar biasa yang tak seorang pun dapat menyamainya. Dan dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara yakni orang satu-satunya baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita . . . , dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tidak terpemadai banyaknya, tak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *