Menjenguk Anak Kecil dan Orang yang Tidak Sadar

Menjenguk orang sakit bukan berarti semata-mata membesarkan penderita, tetapi hal itu juga  merupakan tindakan dan perbuatan baik kepada keluarganya. Oleh karena itu, tidak apalah menjenguk  anak  kecil yang belum mumayyiz (belum bisa membedakan antara satu hal dengan lainnya) yang  jatuh  sakit, karena yang demikian  itu akan menyenangkan hati keluarganya dan menyebabkannya terhibur. Demikian pula dengan menjenguk orang  sakit yang tidak sadarkan diri, karena menjenguknya itu dapat menyenangkan  hati  keluarganya dan meringankan  beban mentalnya. Kadang-kadang setelah yang sakit  itu sadar dan diberi kesembuhan oleh Allah, maka keluarganya dapat menceritakan kepadanya siapa saja yang datang menjenguknya ketika ia tidak sadar, dan dengan informasi itu dia merasa senang.

Didalam kitab Shahih al-Bukhari, “Bab ‘Iyadatush-Shibyan,” disebutkan hadits Usamah bin Zaid r.a. bahwa putri  Nabi  saw. mengirim  utusan  kepada beliau  pada waktu itu Usamah sedang bersama Nabi saw., Sa’ad, dan Ubai- untuk menyampaikan pesan yang  isinya: “Saya  kira  anak  perempuan saya sudah hampir meninggal dunia, oleh karena itu hendaklah  Ayahanda  datang kepada kami–dalam  satu  riwayat  menggunakan  kata-kata: hendaklah Ayahanda datang  kepadanya.”  Lalu  beliau  mengirim utusan  kepada putri beliau untuk menyampaikan salam dan pesan yang  isinya: “Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang diambil-Nya dan apa yang  diberikan-Nya, dan segala sesuatu bergantung pada ajal yang telah ditentukan di sisiNya,  karena itu hendaklah ia rela dan sabar.” Lalu putrinya itu mengirim utusan lagi  sambil  bersumpah  agar  Rasulullah saw. datang kepadanya. Lalu pergilah Nabi saw. bersama kami… Kemudian dibawalah anak yang sakit itu ke pangkuan  Rasulullah saw. dengan  nafas yang tersendat-sendat. Maka meneteslah air mata beliau. Lalu Sa’ad bertanya, “Apakah ini,  wahai  Rasulullah?” Beliau menjawab:

“Ini adalah rahmat yang diletakkan Allah di dalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Dan Allah tidak memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya kecuali yang penyayang.”15

Diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari, “Bab  ‘Iyadatil Mughma ‘alaihi,” hadits Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata,

“Saya pernah jatuh sakit, lalu Rasulullah saw. menjenguk saya bersama Abu Bakar dengan berjalan kaki. Lalu beliau berdua mendapati saya dalam keadaan tidak  sadar, lantas  Nabi  saw. berwudhu,  kemudian menuangkan bekas air wudhunya kepada saya, kemudian saya sadar, ternyata beliau adalah  Nabi  saw., lalu saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus saya lakukan terhadap harta saya? Bagaimana saya memperlakukan harta  saya? Maka beliau tidak menjawab sedikit pun sehingga turun ayat tentang waris.”16

Ibnul Munir berkata,

“Faedah terjemah maksudnya pemberian judul bab ialah agar tidak dipahami bahwa menjenguk orang yang  tidak sadar itu gugur (tidak  perlu) karena yang bersangkutan tidak mengetahui orang yang menjenguknya.

“Al-Hafizh berkata, “Disyariatkannya menjenguk orang sakit tidak semata-mata bergantung pada tahunya  si sakit kepada orang yang menjenguknya, karena menjenguk orang sakit itu dapat juga  menghibur hati  keluarganya,  dan  diharapkannya berkah doa orang yang menjenguk, usapan dan belaian  tangannya ke  tubuh si sakit, tiupannya ketika memohon perlindungan, dan lain-lainnya.”17

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *