Disukai bagi keluarga si sakit, teman-temannya, dan orang yang menjenguknya dari kalangan ahli kebaikan dan kebajikan, untuk mengingatkan si sakit agar segera bertobat kepada Allah Ta’ala. Supaya si sakit menyesali kekurangannya dalam melaksanakan ajaran Allah, bertekad untuk menaati Allah, membersihkan diri dari menganiaya hamba-hamba Allah, dan mengembalikan hak-hak mereka bagaimanapun kecilnya, karena hak-hak Allah itu didasarkan pada toleransi, dan hak-hak hamba itu didasarkan pada kesungguhan, serta karena tobat itu dituntut dari seluruh orang mukmin sebagaimana firman Allah:
“… Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (an-Nur: 31)
Adapun tobat bagi orang sakit lebih wajib lagi hukumnya, disamping ia lebih membutuhkannya karena memang besar keuntungannya, sedangkan bagi orang yang mengabaikannya akan mendapatkan kerugian yang amat besar. Dan orang yang berbahagia adalah orang yang segera bertobat sebelum habis waktunya:
“Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertobat sekarang…'” (an-Nisa’: 18)
Disamping itu, seyogianya kita ingatkan si sakit agar berwasiat jika ia belum berwasiat. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang pantas diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam, melainkan hendaklah wasiatnya tertulis di sisinya.”66
Apabila si sakit ditakdirkan Allah sembuh dari sakitnya, maka sebaiknya ia dinasihati dan diingatkan agar menunaikan apa yang telah dijanjikannya kepada Allah sewaktu dia sakit sebagai tanda syukur kepada Allah dan untuk memenuhi janjinya. Sudah seharusnya si sakit menjaga hal itu. Allah berflrman:
“… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 34)
Allah juga telah memuji ahli kebajikan dan ahli takwa dengan firman-Nya:
“… dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji…” (al-Baqarah: 177)
Para ulama berkata, “Seharusnya si sakit mempunyai keinginan keras untuk memperbaiki akhlaknya, menjauhi pertikaian dan pertentangan mengenai urusan dunia, merasa bahwa saat ni merupakan saat terakhirnya di ladang amal sehingga ia harus mengakhirinya dengan kebajikan. Hendaklah ia meminta kelapangan dan maaf kepada istrinya, anak-anaknya, keluarganya, pembantunya, tetangganya, teman-temannya, dan semua orang yang punya hubungan muamalah, pergaulan, persahabatan, dan sebagainya, serta meminta keridhaan mereka sedapat mungkin. Selain itu, hendaklah ia menyibukkan dirinya dengan membaca Al-Qur’an, dzikir, kisah-kisah orang saleh dan keadaan mereka ketika menghadapi kematian.
Hendaklah ia memelihara shalatnya, menjauhi najis, dan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Janganlah ia menghiraukan perkataan orang yang mencela atas apa yang ia lakukan, sebab ini merupakan ujian baginya, dan orang yang mencelanya itu adalah teman yang bodoh dan musuh yang terselubung. Disamping itu, hendaklah ia berpesan kepada keluarganya agar bersabar jika ia menghadap-Nya dan jangan meratapinya, karena meratap termasuk perbuatan jahiliah, demikian pula memperbanyak menangis. Hendaklah ia juga berpesan kepada keluarganya agar menjauhi tradisi-tradisi bid’ah terhadap jenazah, dan hendaklah mereka bersungguh-sungguh mendoakannya, karena doa orang-orang yang hidup itu berguna bagi orang yang telah mati.”67
Diantara indikasi kebaikan ialah jika seseorang diberi taufiq oleh Allah untuk melakukan amal saleh sebelum meninggal dunia, untuk mengakhiri kehidupannya, sebab amal-amal itu tergantung pada kesudahannya. Dan di antara doa yang ma’tsur ialah:
“Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik usiaku pada bagian akhirnya.”68
Mengenai hal ini telah diriwayatkan beberapa hadits, diantaranya adalah hadits Anas:
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka dipekerjakan-Nyalah orang itu.”Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana mempekerjakannya?”Beliau menjawab, “Memberinya taufiq (pertolongan) untuk melakukan amal saleh sebelum meninggal dunia, lalu Dia (Allah) mematikannya atas amal saleh itu.”69
Dalam sebagian jalannya diriwayatkan dengan lafal: [tulisan Arab] sebagai pengganti lafal [tulisan Arab] yakni ‘memperbagus pujiannya diantara manusia.’
Diantaranya lagi adalah hadits Abu Umamah:
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka disucikan-Nya orang itu sebelum meninggal dunia.”Para sahabat bertanya, “Apa yang buat menyucikan hamba itu?”Beliau menjawab, “Amal saleh yang diilhamkan Allah kepada orang itu, lantas dimatikannya orang itu atas amal saleh tersebut.” (HR Thabrani)70