Imam Syafi’i berkata: Janganlah Imam meninggalkan shalat Jum’at, shalat hari raya, dan shalat gerhana apabila ia sanggup melakukannya. Hendaklah ia menjaga shalat-shalat tersebut, dan mengerjakannya sebagaimana ia melakukan shalat Khauf pada shalat lima waktu.
Apabila ia berada dalam situasi yang sangat menakutkan, maka ia boleh mengerjakan shalat Khauf sebagaimana ia mengerjakan pada shalat fardhu, yaitu melaksanakan gerakan shalat dengan isyarat.
Apabila ia melakukan shalat Jum’at, maka hendaknya berkhutbah sebelum shalat. Apabila tidak melakukannya, maka ia boleh mengerjakan shalat Zhuhur.
Apabila melakukan shalat dua hari raya atau shalat gerhana, maka hendaknya berkutbah setelah shalat. Namun apabila ia menyegerakannya, maka ia tidak harus mengulanginya.
Apabila imam disibukkan oleh urusan perang, saya menyukai agar ia mewakilkan kepada seseorang untuk memimpin shalat. Apabila ia tidak melakukan shalat dua hari raya setelah tergelincir matahari dan shalat gerhana hingga matahari dan bulan telah nampak kembali, maka ia tidak perlu menggantinya (qadha).
Apabila ia tidak mewakilkan kepada seseorang untuk shalat Jum’at hingga masuk waktu Ashar, maka ia harus tidak menggantikannya, namun ia boleh mengerjakan shalat Zhuhur.
Imam Syafi’i berkata: Apabila masuk musim kemarau sedangkan ia sedang berperang, maka tidak mengapa ia meninggalkan shalat Istisqa (shalat meminta hujan). Namun apabila jumlah mereka banyak dan sanggup
melaksanakannya, maka tidak mengapa ia mengerjakan shalat Istisqa dengan tata cara seperti mengerjakan shalat Khauf pada shalat-shalat fardhu.