Mengerjakan Sebagian Shalat di Atas Kendaraan dan Berpaling dari Arah Kiblat

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang shalat saat keadaan sangat menakutkan di atas kendaraan kemudian ia turun, maka saya lebih menyukai agar ia mengulangi shalatnya. Apabila ia tidak memalingkan wajahnya, maka ia tidak perlu mengulanginya lagi, karena turun adalah pekerjaan yang tidak terlalu berat. Namun apabila wajahnya
telah berpaling dari arah kibla thingga berbalik, maka ia harus mengulangi shalatnya, karena ia tidak lagi menghadap ke kiblat.
Apabila ia dipalingkan oleh hewan (kendaraan) atau angin, maka pada situasi yang seperti ini ia tidak perlu mengulangi shalatnya.
Apabila ia turun dari kendaraan lalu berkendaraan kembali, maka shalatnya telah batal, karena naik merupakan pekerjaan yang lebih berat dari turun, dan turun ke tanah lebih utama dan agar lebih sempurna dari pada mengendarai kendaraan.

Imam Syafi’i berkata: Apabila ia tidak sanggup mengerjakan shalat selain sambil melakukan peperangan, maka ia boleh mengerjakan shalat dan mengulangi setiap shalat yang dikerjakannya ketika berperang.

Imam Syafi’i berkata: Apabila suatu jamaah terhalang oleh sesuatu seperti parit atau bangunan serta gelapnya malam, namun mereka dihantui rasa takut dimana apabila mereka melaksanakan shalat maka pihak musuh akan melihatnya, dan jika mereka adalah jamaah yang dapat mempertahankan diri, maka mereka boleh shalat dalam keadaan berdiri.
Jika mereka shalat dengan duduk, maka mereka telah berbuat sesuatu yang tidak baik dan hendaklah mereka mengulangi shalatnya.
Apabila tidak ada yang menghalangi antara mereka dan musuh, namun mereka takut musuh akan melihat mereka apabila shalat dengan berdiri, maka mereka boleh menjauh lalu shalat dengan duduk, dan hendaknya mereka mengulangi shalat

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang ditawan musuh yang melarangnya melaksanakan shalat, namun ia sanggup mengerjakan dengan isyarat, maka ia boleh mengerjakannya dengan isyarat dan tidak perlu meninggalkannya.
Demikian juga apabila ia tidak sanggup berwudhu dan ia shalat di tempat mukimnya, maka ia boleh mengerjakannya dengan bertayamum.
Demikian juga apabila ditahan di bawah atap dimana ia tidak dapat berdiri dengan lurus, atau ia diikat sehingga tidak sanggup ruku dan sujud, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan cara yang ia sanggupi dan tidak perlu meninggalkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *