Memakai Pakaian yang Dilarang Ketika Berihram dan Wangi-wangian

Imam Syafi’i berkata: Dari Shafwan bin Ya’labin Umayah, dari bapaknya, ia berkata, “Pada suatu hari kami bersama Rasulullah SAW di Ji’ranah. Lalu datang kepada beliau seorang laki-laki yang memakai jubah dan pakaiannya berlumuran dengan minyak wangi cendana. Laki-laki tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang berihram untuk umrah, dan ini merupakan umrah wajib bagiku’. Lalu Rasulullah SAW bertanya, ‘Apa yang akan engkau lakukan apabila berihram untuk haji? ‘Orang tersebut menjawab, ‘Aku harus melepaskan jubahku ini dan harus mencuci serta membuang bau minyak wangi cendana ini’. Lalu Rasulullah SAW bersabda, Apa yang engkau perbuat dalam ihram haji, maka lakukanlah juga di dalam ihram umrahmu ”Dari Atha’,dia berkata,‘“Barangsiapa berihram dengan memakai kemeja atau jubah (karena tidak tahu), maka segeralah dia melepas pakaian tersebut dan tidak usah disobek.”

Imam Syafi’i berkata: Yang sesuai dengan Sunnah adalah apa yang dikatakan oleh Atha’, karena Rasulullah SAW menyuruh orang yang memakai jubah untuk melepaskan jubah tersebut, beliau tidak menyuruh untuk menyobek jubah tersebut.

Imam Syafi’i berkata: Menurut saya, orang yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh memakai wangi-wangian sebelum memasuki ihram sampai dia melakukan thawaf Ifadah berdalil dengan hadits tersebut, yaitu hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh orang Arab badui untuk mencuci bekas wewangian yang ada di badannya, serta menyuruh orang tersebut untuk melepaskan jubahnya ketika dalam keadaan ihram. Namun, barangkali ia tidak mengetahui hadits riwayat Aisyah (bahwa ia melumuri badan Rasulullah SAW dengan minyak wangi ketika beliau hendak memasuki ihramnya). Atau mungkin mereka mengetahui hadits riwayat Aisyah tersebut tapi mereka memahaminya lain, lalu mereka tetap berpendapat bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan. Padahal Rasulullah SAW menyuruh orang badui tersebut untuk mencuci pakaian yang berlumuran dengan minyak wangi tersebut karena adanya kemungkinan pakaian tersebut telah dicelup dengan minyak za ’faran. Wallahua’lam.

Imam Syafi’i berkata: Dari Anas bahwasanya Nabi SAW melarang orang yang ihram untuk menggunakan minyak za ’faran (atau memakai pakaian yang telah dicelup dengan minyak za ’faran). Apabila ada yang berkata, “Sesungguhnya hadits Nabi SAW yang menyuruh orang yang memakai jubah agar mencuci pakaian yang telah dilumuri dengan wewangian, kemungkinan maksudnya adalah seperti yang Anda terangkan (yaitu Rasulullah SAW melarang memakai pakaian yang telah dicelup ke dalam minyak za faran dan beliau tidak melarang bekas minyak wangi yang dipakai sebelum memasuki ibram). Tapi hadits tersebut, juga mengandung kemungkinan bahwa Rasulullah menyuruh untuk mencuci wewangian tersebut, karena wewangian tidak boleh menempel pada badan seseorang yang sedang ihram (walaupun sisa yang dipakai sebelum masuk ihram).” Jawabannya, ”Jika yang Anda katakan tersebut benar, insyaAllah hal itu telah di-nasakh (dihapus hukumnya).” Jika ia bertanya, “Mana yang menunjukkan bahwa hadits tersebut telah di-nasakh?” Jawabannya: Hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa beliau bertemu dengan orang badui yang memakai jubah di Ji’ranah teijadi pada tahun 8 Hijriyah. Sedangkan hadits Aisyah yang menyatakan bahwa Aisyah pernah melumuri badan Rasulullah SAW dengan minyak wangi ketika beliau hendak memasuki ihram adalah pada peristiwa haji umat Islam (haji Wada’) yang teijadi pada tahun 10 Hijriyah. Jika ia berkata, “Umar bin Khaththab telah melarang hal itu (memakai minyak wangi ketika hendak memasuki ihram).” Jawabannya: Barangkali Umar melarang berdasarkan makna yang telah saya jelaskan, insya Allah. Jika ia berkata, “Apakah Anda tidak takut bahwa orang yang meriwayatkan dari Aisyah tersebut banyak kekeliruannya (berarti hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu dha ’if)?” Jawabannya: “Justru para perawi yang meriwayatkan hadits dari Umar lebih besar kemungkinannya untuk keliru dari pada para perawi yang meriwayatkan hadits dari Aisyah, karena yang meriwayatkan hadits dari Umar lewat Ibnu Umar itu hanya satu atau dua orang saja. Sedangkan para perawi yang meriwayatkan dari Aisyah berjumlah 6 atau 7 orang. Menurut kaidah, perawi yang sedikit lebih besar kemungkin untuk keliru daripada perawi yang jumlahnya banyak. Akan tetapi menurut kami kedua hadits tersebut tidak keliru (dua-duanya shahih), insya Allah. Barangsiapa memakai pakaian yang tidak boleh dipakai ketika ihram, dan hal itu dilakukan karena belum tahu atau lupa bahwa dirinya sedang ihram, kemudian hal itu berlangsung selama beberapa hari dalam ihramnya, atau hal itu dilakukan karena salah ambil sehingga dia memakai jubah atau kemeja, maka dalam hal ini apabila ia sudah ingat hendaknya segeramelepasjubah atau kemeja tersebut dan tidak menyobeknya, dan ia tidak terkena fidyah. Demikian juga dalam masalah wewangian, diqiyaskan terhadap hal tersebut. Penyebab Nabi SAW menyuruh orang badui tersebut agar mencuci pakaiannya adalah karena pakaian tersebut telah dicelup dengan sesuatu yang menyebabkan pakaian tersebut awet wanginya, bukan karena orang itu telah menggunakan wewangian sebelum memasuki ihram,sebagaimana yang telah saya jelaskan. Apabila ada yang berkata, “Kenapa Anda memberi udzur kepada orang yang memakai wangi-wangian karena lupa atau karena tidak tahu, sementara Anda tidak memberi udzur kepada orang yang mencabut rambutnya atau membunuh binatang buruan karena lupa atau tidak tahu?” Kami jawab: “Insya Allah, saya mengatakannya berdasarkan khabar (dalil) dan qiyas bahwa keadaan orang yang memakai pakaian ihram dan memakai wangi-wangian berbeda dengan keadaan orang yang mencabut rambut atau membunuh binatang buruan. Jika ia bertanya, “Apa perbedaan orang yang melanggar pakaian ihram atau orang yang memakai wangi-wangian dengan orang yang mencabut rambut atau membunuh binatang buruan, padahal mereka sama-sama dalam keadaan tidak tahu atau lupa?” Kami jawab: Wewangian dan pakaian ihram adalah sesuatu yang sangat mudah untuk ditanggalkan. Seandainya seseorang menanggalkannya, maka dengan serta-merta ia seperti orang yang tidak memakainya.
Pada saat itu ia tidak merusak apapun dan tidak,terjadi kerusakan apapun pada dirinya, dan ia menanggalkan atau melepaskan sesuatu yang memang disuruh untuk dilepas. Adapun orang yang membunuh binatang buruan atau orang yang menggunting rambut atau kukunya, maka ia telah melakukan kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki lagi, dan hal itu merupakan larangan bagi orang yang sedang ihram. Maka sengaja atau tidak, tahu atau tidak tahu, dia telah melakukan kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki lagi. Ia harus membayar denda, walaupun ia lakukan itu semua karena lupa atau karena belum tahu. Hal ini sebagaimana halnya orang yang membunuh manusia dengan tidak sengaja, dimana ia tetap akan dikenai denda (karena orang yang terbunuh tidak mungkin hidup kembali). Apabila seseorang yang sedang ihram memakai pakaian yang berjahit atau memakai wewangian yang dilakukan karena lupa atau karena dia belum tahu, kemudian dia ingat atau dia tahu, tapi dia membiarkan hal itu beberapa saat dan tidak langsung melepas pakaian tersebut atau mencuci wewangiannya, padahal hal itu bisa dilakukan dengan segera, maka dalam hal ini dia terkena fidyah, karena pakaian berjahi ttersebut atau wewangian terus melekat pada dirinya setelah udzumya hilang, walaupun melekatnya hanya beberapa saat. Tapi apabila tidak memungkinkan bagi dirinya untuk segera melepas pakaian atau menghilangkan minyak wangi tersebut karena dirinya sakit atau badannya lemah, kemudian dia menunggu seseorang yang akan membantunya untuk melepas pakaian tersebut, maka hal ini merupakan udzur yang dimaafkan. Dalam hal ini ia boleh melepas pakaian tersebut kapan saja ia sanggup, dan harus membayar fidyah apabila ia membiarkan pakaian tersebut melekat di bandannya padahal ia sanggup untukvmelepaskannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *