Melepas Peralatan dari Penderita yang Tidak ada Harapan Sembuh

Lebih  dari itu, bahwa orang sakit yang telah lama menggunakan peralatan untuk membantu kehidupannya (seperti infus, oksigen, dan  sebagainya)  namun  tidak  membawa  kemajuan sama sekali, bahkan  para   dokter   yang   merawatnya   menetapkan   bahwa kesembuhannya  menurut   sunnatullah tidak  lagi  dapat diharapkan, sehingga meneruskan penggunaan peralatan  tersebut sudah  tidak  ada  manfaatnya,  dan  bahwa  yang menjadikannya tampak hidup adalah ketergantungannya pada peralatan tersebut, yang  jika dilepas tentu tidak lama lagi meninggal dunia, maka saya katakan bahwa menurut syara’ tidak terlarang  keluarganya melepas  peralatan  tersebut  dari  si sakit dan membiarkannya menurut kadar kemampuannya sendiri tanpa campur  tangan  orang lain.

Tindakan ini tidak termasuk kategori qatlur-rahmah (eutanasia) sebab kita  tidak  membunuhnya.  Yang  kita  lakukan  hanyalah menghentikan pengobatannya melalui peralatan buatan.

Tidak  seorang  pun  ahli  fiqih  yang  dapat mengatakan bahwa pengobatan dengan  menggunakan  peralatan  tersebut  merupakan kewajiban  syara’  yang  tidak  boleh diabaikan, sehingga jika dihentikan bertentangan dengan hukum syara’. Bahkan  ketetapan yang  sudah  dimaklumi  di kalangan ulama-ulama syariat adalah bahwa  berobat  menurut  mazhab  empat  dan  jumhur  ulama hukumnya  mubah,  bukan  kewajiban  yang pasti. Sedikit sekali fuqaha yang berpendapat mustahab, dan lebih sedikit lagi  yang mewajibkannya.65

Dalam  kaitan  ini  Imam Ghazali menulis bab tersendiri dalam al-Ihya’ untuk menyangkal pendapat orang yang mengatakan  bahwa  “meninggalkan  berobat  lebih  utama  dalam segala kondisi.”

Tetapi, yang saya pandang kuat ialah pendapat yang  mewajibkan berobat  bila penyakitnya parah dan obatnya manjur (berfaedah) menurut kebiasaannya. Adapun jika  harapan  untuk  sembuh  itu tipis  bahkan  kadang-kadang  sudah tidak ada harapan sembuh menurut para ahlinya  maka tidak ada alasan untuk  mengatakan wajib atau sunnah dalam hal berobat.

Karena  itu,  menghentikan  penggunaan peralatan dari si sakit yang keadaannya seperti  itu  tidak  lebih  dari  meninggalkan perkara  mubah,  kalau  tidak lebih utama sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan  lainnya.  Bahkan,  saya  lihat  pendapat  yang terkuat ialah yang mewajibkan penghentian penggunaan peralatan tersebut.

 

61 HR Muslim dalam “Kitab al-Birr wash-Shilah” dari hadits Jabir. Shahih Muslim, hadits nomor 2578. ^

62 HR Abu Syaikh dalam ats-Tsawab dari Abu Umamah. Dihasankan (oleh al-Albani) dalam Shahih Jami’ush-Shaghir.^

63 HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Ubadah. Sahih dengan semua jalannya. Lihat, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, karya al-Albani, nomor 250. Dan lihat pula al-Asybah wan-Nazhair karya Ibnu Najim, Kaidah Kelima “adh-Dhararu Yuzalu” dan cabang-cabangnya, hlm. 8542, terbitan al-Halabi.^

64 Muttafaq ‘alaih dari hadits Anas. Al-Lu’lu’ wal-Marjan. nomor 1001.^

65 Lihat, al-Hidayah ma’a Takmilati Fat-hil Qadir, 8: 164; al-Majmu’, 5: 106; al-Mabdi’, 2: 213-214; dan al-Inshaf, 2: 463.^

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *