Imam Syafi’i berkata: Yang dimaksud dengan mampu di sini ada dua macam: Pertama, seseorang yang sehat badannya dan mempunyai harta yang cukup sebagai bekal melaksanakan ibadah haji. Kemampuan seperti ini adalah kemampuan yang sempurna, maka ia wajib. melaksanakan ibadah haji dan harus dilakukan oleh dirinya sendiri (tidak boleh diwakilkan). Kedua, seseorang yang badannya tidak sehat dan tidak sanggup menaiki kendaraaimya sehingga tidak bisa melaksanakan haji dengan berkendaraan, tetapi ia memiliki seseorang yang bisa disurah untuk menghajikan dirinya atau memiliki harta yang bisa untuk membiayai orang lain dalam melaksanakan ibadah haji, maka orang seperti ini juga disebut sebagai orang yang mampu melaksanakan haji dan wajib melaksanakannya walaupun diwakilkan oleh orang lain.
Imam Syafi’i berkata: Dari Fadhl bin Abbas, “Bahwasanya ada seorang perempuan dari suku Khats’am berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah wajib untuk melaksanakan kewajiban dari Allah yaitu ibadah haji, tapi ia sekarang sudah menjadi orang yang tua renta dan tidak sanggup lagi duduk di atas punggung untanya (kendaraannya)’. Rasulullah SAW bersabda, ‘Berhajilah engkau untuknya”
Imam Syafi’i berkata: Seorang perempuan datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal tapi ia mempunyai kewajiban melaksanakan haji (dan ia belum melaksanakannya).” Lalu Rasulullah bersabda, ‘Berhajilah engkau untuk ibumu. ”Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, bahwa Ali bin Abi Thalib RA berkata kepada seorang yang sudah sangat tua dan belum melaksanakan ibadah haji. “Jika engkau mau, maka persiapkanlah perbekalan untuk seseorang yang akan melaksanakan haji untukmu.”
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang telah mempersiapkan perbekalan untuk orang lain yang akan menghajikan dirinya, tapi tibatiba ia mendapatkan dirinya mampu untuk menempuh perjalanan haji dan memungkinkan baginya untuk melaksanakan haji, maka haji yang dilaksanakan oleh orang lain tersebut tidak sah untuk dirinya, dan ia wajib melaksanakan ibadah hajinya dengan tanpa mewakilkan kepada orang lain. Jika hal itu belum dilakukan sampai ia mati atau sakit permanen yang menjadikan dirinya tidak mampu lagi untuk melaksanakan haji, maka ia wajib mencari orang yang akan menghajikan dirinya, karena dalam keadaan seperti ini ia boleh mewakilkan hajinya kepada orang lain. Tapi apabila ia sanggup mengarungi perjalanan, maka wajib baginya melaksanakan haji dan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. Seseorang yang bernadzar mewajibkan haji terhadap dirinya untuk mencari kebaikan, maka hal ini seperti haji atau umrah yang ada dalam Islam. Jadi, ia wajib melaksanakan haji nadzar tersebut atau diwakilkan oleh orang lain apabila ia tidak mampu melaksanakannya. Apa yang berlaku dalam haji dan umrah dalam Islam, berlaku pula dalam haji dan umrah yang ia nadzarkan itu.