Larangan terhadap sesuatu yang sebagian Aspeknya berbeda dengan sebelumnya

Malik mengabarkan kepada kami, dari Muhammad bin Yahya bin Habban, dari A‟raj dari Abu Hurairah RA:

Bahwa Rasulullah SAW melarang shalat setelah Ashar sampai matahari terbenam, dan melarang shalat sesudah Subuh sampai matahari terbit.106Malik mengabarkan kepada kami, dari Nafi, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Janganlah salah seorang menjaga (melanggengkan) shalatnya pada saat terbitnya matahari, dan jangan pula saat terbenamnya matahari.107

Malik mengabarkan kepada kami, dari Yazid bin Aslam, dari Atha bin Yasar, dari Abdullah Ash-Shunabihi, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya matahari terbit bersama dengan tanduk setan. Apabila matahari telah naik, maka tanduk itu meninggalkannya. Kemudian jika matahari itu tepat di atas, maka tanduk itu menyertainya. Ketika matahari telah bergeser, maka tanduk itu meninggalkannya. Ketika matahari mendekati terbenam, maka tanduk itu menyertainya. Ketika matahari telah tenggelam, maka tanduk itu meninggalkannya. Rasulullah SAW melarang shalat pada waktu-waktu tersebut.”

Larangan shalat Rasulullah SAW pada waktu-waktu tersebut mengandung dua pengertian:

pertama, (ini yang paling umum), semua shalat, yaitu shalat wajib yang tertinggal karena lupa atau tidur, serta shalat wajib karena suatu alasan, haram dikerjakan pada waktu-waktu tersebut. Tidak seorang pun boleh shalat pada waktu tersebut. Seandainya ia mengerjakannya, maka shalat yang wajib baginya itu dianggap belum ditunaikan. Itu sama seperti orang yang mendahulukan pelaksanaan shalat sebelum waktunya, sehingga shalatnya tidak sah.

kedua, sebagian shalat bukan sebagian yang lain. Kami mendapati shalat itu terbagi menjadi 2 macam:

  1. Shalat wajib yang wajib dikerjakan pada waktunya, seandainya ia meninggalkannya, maka ia wajib mengqadhanya.
  2. Shalat nafilah (sunah) untuk taqarub kepada Allah SWT. Orang yang terbiasa mengerjakan shalat nafilah boleh meninggalkannya tanpa harus Kami juga mendapati shalat wajib itu berbeda dari shalat nafilah saat keduanya dikerjakan dalam perjalanan dengan berkendaraan. Shalat wajib harus dikerjakan di atas tanah, sedangkan shalat nafilah boleh dikerjakan dengan berkendara dengan menghadap ke arah manapun.
  3. Shalat wajib juga berbeda dari shalat nafilah, baik saat waktu mukim maupun saat dalam perjalanan. Orang yang sanggup berdiri tidak boleh mengerjakan shalat wajib dengan duduk, tetapi dalam shalat nafilah ia boleh duduk.

Ketika hadits tersebut mengandung dua makna, maka ulama tidak boleh memahaminya dengan arti khusus, kecuali berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, atau ijma ulama yang tidak mungkin menyepakati sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW.

Demikian juga aturan pada hadits lain Rasulullah SAW. Ia diartikan secara eksplisit dan umum, sampai ada petunjuk atau ijma umat Islam bahwa yang dimaksud adalah makna implisit dan khusus. Jadi mereka memahaminya sesuai petunjuk yang datang dari Rasulullah SAW, dan mereka menaati beliau dalam dua perkara tersebut.

Malik mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasar, Busr bin Sa‟id serta Al Arja, mereka meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa mendapati satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat subuh, barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ashar.”

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah mengerjakan satu rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit dan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, mengerjakan shalat pada waktu tahrim (yang diharamkan). Itu karena ia mengerjakan shalat setelah Subuh dan Ashar, bersamaan dengan terbitnya matahari dan terbenamnya matahari, padahal shalat dilarang pada empat waktu tersebut.

Namun, ketika Rasulullah SAW menganggap orang yang shalat pada waktu-waktu itu telah melaksanakan shalat subuh dan asar, maka kami menyimpulkan bahwa larangan beliau untuk shalat pada waktu-waktu tersebut hanya berlaku bagi shalat nafilah. Seseorang tidak dianggap mengerjakan shalat jika ia mengerjakannya pada waktu yang dilarang shalat.

Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa lupa shalat maka hendaknya mengerjakannya saat ia mengingatnya, karena Allah berfirman: ‟Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku‟.

Anas bin Malik dan Imran bin Hushain meriwayatkan dari Nabi SAW semisal makna hadits Ibnu Musayyab, namun salah satunya menambahkan.

”Atau tertidur sehingga meninggalkannya.”

Rasulullah SAW bersabda:

”Maka ia hendaknya mengerjakannya apabila telah mengingatnya.”

Beliau menjadikan waktu ingat shalat sebagai waktunya. Beliau menginformasikan demikian ini dari Allah SWT, dan beliau tidak mengecualikan satu waktu yang seseorang tidak boleh mengerjakan shalat setelah mengingatnya.

Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Abu Zubair, dari Abdullah bin Babah, dari Jubair bin Mu‟thim bahwa Nabi SAW bersabda:

”Wahai bani Abdul Manaf? Siapa di antara kalian yang memegang wewenang atas urusan manusia, maka janganlah ia mencegah seseorang yang thawaf dan shalat di Baitullah ini, kapan pun ia mau, siang atau malam.”

Abdul Majid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Juraij dari Atha, dari Nabi SAW, hadits yang semakna. Namun di dalamnya ia menambahkan, ”Ya bani Abdul Muthalib! Ya bani Abdul Manaf!” lalu ia menyebutkan hadits selengkapnya.

Jadi, Jubair mengabarkan dari Nabi SAW bahwa beliau memerintahkan agar orang-orang dibolehkan thawaf dan shalat di Baitullah kapan pun ia mau. Hal ini menjelaskan bahwa yang dilarang pada waktu-waktu tersebut adalah selalu yang tidak

wajib. Sedangkan shalat-shalat yang wajib tidak dilarang Rasulullah SAW. Pada umumnya umat Islam menshalati Jenazah mereka setelah Ashar dan Subuh.

Umar bin Khaththab pernah thawaf sesudah subuh. Lalu ia melihat ke langit, namun belum melihat matahari terbit, sehingga ia berkendara ke Dzu Thuwa, dan ketika matahari  terbit ia menambatkan kendaraannya lalu shalat. Atas dasar itu sebagian sahabat kami berpendapat bahwa beliau melarang shalat thawaf sesudah Ashar dan Subuh, sebagaimana ia melarang shalat lain yang tidak wajib.

Bila umar boleh menunda shalat thawaf, maka itu karena hukumnya boleh. Seandainya ingin singgah di Dzu Tuwa untuk suatu hajat, maka ia pun boleh baginya. Tetapi Umar hanya mendengar larangan tentang shalat tersebut secara garis besar, sehingga beliau memukul Al Munkadir lantaran mengerjakan shalat sesudah Ashar di Madinah. Umar belum mendengar hadits yang menunjukkan bahwa Nabi SAW hanya melarang shalat dalam pengertian yang kami jelaskan, sehingga ia merasa berkewajiban untuk menghukum Al Munkadir.

Bagi orang yang mengetahui alasan Nabi SAW melarang shalat dan membolehkannya, ia wajib melaksanakan ketentuan tersebut, seperti yang saya jelaskan dalam riwayat Ali dari Nabi SAW tentang larangan menahan daging kurban lebih dari tiga hari, bahwa Ali mendengar larangan tersebut namun tidak mendengar sebabnya.

Tanya: apakah Abu Sa‟id Al khudri melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Umar?

Jawab: benar.

Tanya: adakah sahabat lain yang melakukan seperti yang dilakukan Umar bin Khaththab dan Abu Sa’id Al Khudri?

Jawab: ada, mereka adalah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Aisyah RA, Hasan, Husain dan lain-lain. Ibnu Umar pernah mendengar larangan dari Nabi SAW.

Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, dari amru bin Dinar, ia berkata: “Aku dan Atha bin Rabah melihat Ibnu Umar thawaf setelah subuh dan shalat sebelum matahari terbit.

Sufyan meriwayatkan dari Ammar Ad-Duhni, dari Abu Syu‟bah, bahwa Hasan dan Husain pernah thawaf dan shalat sesudah Ashar.

Muslim dan Abdul Majid meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, ia berkata: “Aku melihat Ibnu Abbas thawaf melakukan shalat sesudah Ashar.”

Kami menyebutkan perbedaan para sahabat Rasulullah SAW dalam hal ini agar menjadi argumen bagi orang yang mengetahuinya, bahwa perbedaan mereka mengenai sesuatu yang telah disunahkan Rasulullah SAW hanya terbatas pada pengertian ini, atau karena Sunnah beliau tidak sampai kepada sahabat yang melakukan hal berbeda, atau mereka bertindak menurut takwil yang memang terkandung dalam Sunnah, atau hal-hal serupa yang terkadang orang yang mengucapkannya melihat adanya toleransi di dalamnya.

Apabila sesuatu telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah SAW, maka sesuatu itu wajib bagi orang yang mengetahuinya. Tidak ada hal lain yang menguatkan dan melemahkannya. Allah SWT tidak memberikan hak kepada siapa pun bersama Rasulullah SAW untuk membuat perintah yang bertentangan dengan perintah beliau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *