Larangan terhadap Sesuatu yang Ditunjukkan oleh Hadits Lain.

Malik mengabarkan kepada kami, dari Abu Zinad dan Muhammad bin Yahya bin Habban, dari A‟raj dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لََّ يَ ْخطُ ْب أَ َح ُدُك ْم َعلَى ِخطْبَِة أَِخيِو

janganlah salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya.”

Malik mengabarkan kepada kami, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda:

janganlah salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya.

Diriwayatkan satu hadits dari Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa larangan seseorang meminang pinangan saudaranya itu dipahami menurut satu pengertian tertentu. Seandainya tidak ada riwayat ini, maka secara tekstual hadits tersebut menunjukkan bahwa keharaman seseorang meminang pinangan saudaranya adalah sejak ia memulai pinangan sampai meninggalkannya.

Sebelum Nabi SAW, “janganlah salah seorang dari kalianmeminang pinangan saudaranya” dimungkinkan sebagai jawaban yang memiliki maksud tertentu sesuai konteks hadits. Namun orang yang meriwayatkannya tidak mendengar penyebab
Rasulullah SAW bersabda demikian, sehingga kedua perawi itu hanya menyampaikan sebagiannya, tidak sebagian yang lain, atau meragukan sebagiannya dan tidak berkomentar tentang hal yang diragukannya.

Jadi, Nabi SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang meminang seorang wanita, lalu wanita tersebut menerimanya dan memberinya izin untuk menikahinya. Wanita itu lalu dilamar laki-laki lain yang menurutnya lebih baik daripada laki-laki
pertama, sehingga wanita tersebut membatalkan restunya kepada laki-laki pertama. Oleh karena itu, Nabi SAW melarang melamar wanita jika dalam kondisi demikian. Bisa jadi wanita itu membatalkan restu terhadap laki-laki- pertama, namun laki-laki
kedua pun tidak jadi menikahinya, sehingga mengakibatkan kerugian bagi wanita tersebut dan peminang pertama.

Tanya: mengapa Anda condong untuk mengatakan bahwa larangan Nabi SAW bagi seseorang untuk meminang pinangan saudaranya itu dipahami menurut satu pengertian tertentu, bukan pengertian yang lain?

Jawab: dengan dalil dari Rasulullah SAW .

Tanya: mana dalilnya?

Jawab: Ada. Malik mengabarkan kepada kami, dari Yazid maula Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Fathimah binti Qais, ia berkata:

“Suamiku menceraiku, maka Rasulullah SAW menyuruhku iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau bersabda: „Kalau kamu sudah halal (selesai iddah) maka beritahu aku.‟ Ketika aku sudah halal, aku berkata kepada Rasulullah SAW, „Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku.‟ Rasulullah SAW lalu bersabda: „Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya,101 sedangkan Mu‟awiyah miskin tak berharta. Oleh karena itu menikahlah dengan Usamah bin Zaid.‟ Aku pun menikah dengannya. Allah memberikan kebaikan kepadanya, dan aku bahagia bersamanya.

Inilah dasar pendapat kami, Sunnah Rasulullah SAW mengenai lamaran beliau terhadap Fathimah untuk Usamah setelah ia memberitahu Rasulullah SAW bahwa Mu‟awiyah dan Abu Jahm melamarnya. Sunnah ini menunjukkan dua hal:

pertama, Nabi SAW tahu bahwa keduanya tidak melamar secara bersamaan, melainkan lamaran salah satunya terjadi sesudah lamaran yang lain. Nabi SAW tidak melarangnya dan tidak mengatakan kepada Fathimah bahwa salah satu dari keduanya
tidak boleh melamarnya sebelum yang lain meninggalkan lamarannya. Tetapi justru beliau melamarnya untuk Usamah bin Zaid sesudah keduanya melamar. Kami menjadikannya sebagai indikasi bahwa Fathimah tidak menyukai keduanya. Seandainya ia menyukai salah satunya, maka beliau pasti menyuruhnya menikah dengan laki-laki yang disukainya. Berita Fathimah kepada Rasulullah SAW tentang orang yang melamarnya adalah khabar tentang sesuatu yang tidak diterimanya. Barangkali ini adalah permintaan saran kepada Rasulullah SAW, dan ia tidak
mungkin meminta saran ketika telah memberi restu kepada salah satunya. 

kedua, ketika Nabi SAW melamar Fathimah binti Qais untuk Usamah, kami menyimpulkan bahwa kondisi saat Rasulullah SAW melamarnya berbeda dengan kondisi saat Rasulullah SAW melarang lamaran. Lagipula, tidak ada kondisi yang membedakan antara lamaran keduanya (Muawiyah dan Abu Jahm) sehingga
yang satu boleh melamar dan yang lain tidak, kecuali si wanita mengizinkan wali untuk menikahkannya. Jadi calon suaminya boleh memaksanya menikah dan si wali juga boleh memaksa,lalu wanita itu pun halal bagi suaminya. Sebelum itu, walinya  tidak berhak menikahkannya sampai wanita tersebut mengizinkan. Jadi sama saja, baik wanita itu rela ataupun tidak. 

Tanya: apakah menurutmu kondisi wanita saat memberi restu berbeda dengan kondisi saat tidak memberi restu? 

Jawab: ya benar. Seandainya seorang wanita dilamar lalu ia mencaci dan membenci orang yang melamarnya, kemudian lakilaki tersebut mengulangi lamarannya, dan wanita itu tidak mencacinya, tidak menampakan kebencian, tetapi juga tidak
menyetujui, maka kondisi saat ia tidak membenci berbeda dengan kondisi saat ia mencacinya. Kondisi yang kedua ini lebih mendekati sikap rela. Setelah itu kondisinya berubah-ubah, karena ia akan menimbang-nimbang sebelum memberi restu.
Jadi sebagian kondisi itu lebih dekat dengan sikap ridha daripada kondisi yang lain.

Tidak ada arti yang benar dalam hal ini selain yang telah saya jelaskan, yaitu bahwa Nabi SAW melarang melamar wanita yang telah memberi izin kepada walinya untuk menikahkannya, sampai kewenangan wali itu tidak berlaku lagi. Jika kewenangan
wali itu tidak berlaku, maka kondisi pertama dan terakhir bagi wanita tersebut adalah sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *