Kondisi gadai yang keluar dari kekuasaan penerima gadai

Imam Syafi’i berkata: Kesimpulan dari keadaan dimana gadai dianggap keluar dari kekuasaan penerima gadai adalah sebagai berikut: penggadai terlepas dari tanggungannya (baca: utangnya) baik dengan cara dilunasi atau dibebaskan oleh penerima gadai, atau penerima gadai menghapus haknya (piutang) yang berkaitan dengan gadai melalui cara apapun.

Pada kondisi demikian, gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai dan kembali kepada pemiliknya (penggadai) sama seperti sebelum digadaikan, atau penerima gadai mengatakan, “Aku telah memutuskan transaksi gadai”, “Aku telah membatalkannya” atau “Aku telah membatalkan hakku padanya”.

Apabila seseorang menggadaikan kepada orang lain beberapa hal seperti; tepung, unta, kambing, barang-barang, dirham, dinar, seribu dirham dan 100 Dinar, 1000 Dirham dan 200 Dinar, atau unta dan makanan, kemudian penggadai menyerahkan kepada penerima gadai seluruh harta yang digadaikan itu kecuali 1 Dirham maupun kurang dari 1 Dirham, atau segenggam gandum maupun kurang darinya, maka apa yang belum diserahkan itu juga masuk bagian gadai meskipun hanya sedikit. Tidak ada hak bagi penggadai pada sesuatupun darinya, demikian pula tidak ada hak bagi para pemilik piutang atau ahli waris hingga penerima gadai mengambil kembali semua haknya (piutangnya), sebab gadai merupakan satu transaksi dan tidak dapat dipisah- pisahkan.

Apabila seseorang menggadaikan seorang budak wanita dan telah diterima oleh penerima gadai, kemudian penerima gadai memberi izin kepada penggadai untuk memerdekakannya namun penggadai tidak memerdekakannya, atau diizinkan kepadanya untuk mencampuri budak wanita tadi namun si penggadai tidak melakukannya, ataupun si penggadai mencampurinya namun wanita tersebut tidak hamil, maka budak wanita itu tetap menjadi (bestatus) gadai sebagaimana adanya.

Demikian pula jika budak wanita tersebut dikembalikan oleh penerima gadai kepada penggadai setelah terjadi serah-terima, lalu penerima gadai berkata kepada penggadai “Campurilah ia dan manfaatkan khidmat (pelayanannya)”, maka budak ini tetap berstatus gadai sebagaimana adanya.

Adapun bila budak wanita itu hamil dan melahirkan anak atau keguguran namun telah tampak bentuk manusia, maka statusnya menjadi ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak majikannya) bagi penggadai dan sekaligus keluar dari statusnya sebagai gadai. Pada kondisi ini tidak ada kewajiban bagi penggadai kepada penerima gadai untuk mengganti budak wanita tersebut, sebab penggadai tidak melakukan kesalahan ketika mencampuri wanita budak tersebut.

Apabila seseorang menggadaikan budak wanita yang bersuami, atau budak wanita itu menikah setelah digadaikan atas izin penerima gadai, maka suaminya tidak dilarang untuk mencampurinya. Jika wanita ini melahirkan, maka anak tidak masuk dalam transaksi gadai. Adapun bila ia hamil, maka dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
‘Pertama, ia tidak boleh dijual hingga melahirkan, kemudian ia tetap berstatus gadai sedangkan si anak tidak termasuk.

Mereka yang berpendapat demikian mengatakan; hanya saja yang mencegahku menjualnya saat hamil sementara anaknya berstatus budak pula, adalah karena anak tidak dapat dimiliki sebagaimana kepemilikan terhadap ibunya bila dijual saat masih berstatus gadai. Sekiranya penggadai meminta izin untuk menjual budak wanita tersebut dan menyerahkan semua harganya kepada penerima gadai, maka hal ini boleh ia lakukan.
Kedua, sesungguhnya budak wanita tersebut boleh dijual saat hamil dan anak (baca: janin) mengikuti hukum ibunya hingga dilahirkan. Apabila anak telah dilahirkan (sebelum dijual .), maka ia keluar dari status gadai.

Jika seseorang menggadaikan sesuatu lalu ia minta izin kepada penerima gadai untuk menjual harta tersebut dan penerima gadai mengizinkannya, lalu penggadai menjualnya, maka jual-beli ini dianggap sah. Tidak ada hak bagi penerima gadai untuk mengambil apapun dari harganya, dan tidak boleh pula menuntut harta lain sebagai penggantinya. Namun penerima gadai boleh mencabut kembali izinnya sebelum harta terjual. Jika penggadai menjual harta gadaian setelah penerima gadai mencabut izinnya, maka jual-beli dapat dibatalkan.

Jika seseorang menggadaikan budak wanita, lalu penerima gadai mencampurinya, maka ia dijatuhi hukuman zina. Bila wanita tersebut melahirkan, maka anaknya tetap berstatus budak dan tidak dinisbatkan kepada penerima gadai. Jika penerima gadai memaksa, maka wanita itu berhak mendapat mahar. Tapi bila tidak dipaksa, maka tidak ada mahar baginya. Apabila penerima gadai mengaku tidak mengetahui hukumnya, maka pengakuannya tidak diterima kecuali ia orang yang barn masuk Islam, atau berada di tempat terpencil atau kondisi yang sepertinya.

Sekiranya majikan si wanita mengizinkan kepada penerima gadai untuk mencampurinya, sementara penerima gadai tidak mengetahui hukumnya, maka ia tidak dijatuhi hukuman sebagai pezina dan anak diikutkan kepadanya, namun ia harus membayar harga anak-anak tersebut, kemudian anak-anak itu berstatus merdeka. Adapun dalam masalah mahar terdapat dua pendapat; Pertama, si penerima gadai harus membayar mahar. Kedua, tidak ada kewajiban mahar baginya, karena ia mencampuri atas izin dari majikan si budak wanita. Apabila budak wanita ini menjadi penerima gadai, maka ia tidak berubah status menjadi ummul walad bagi si penerima gadai. Bahkan, ia bisa dijual dan majikannya terdahulu diberi hukuman karena telah memberi izin kepada penerima gadai untuk mencampuri budak wanita yang digadaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *