Allah SWT berfirman:
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ
mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An- Nisa’ [4]: 176)
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا
bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisa’ [4]: 7)
كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ
dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 11-12)
Pada ayat tersebut disebutkan, “Para istri memperoleh seperempat...” semua ya tentang warisan menyebutkan demikian.
Namun, Sunnah menunjukkan bahwa yang Allah SWT maksudkan adalah ayat ini berlaku khusus, tidak mencakup semua ahli waris yang disebutkan-Nya, seperti saudara laki-laki dan perempuan, anak dan samak kerabat, orang tua dan suami atau istri, serta pihak-pihak yang disebut Allah SWT memiliki bagian dalam Kitab- Nya.
Ketetapan khusus itu adalah kesamaan agama antara yang mewarisi dengan yang diwarisi, tidak boleh berbeda. Keduanya harus sama-sama muslim, atau memiliki perjanjian damai dengan umat Islam (kafir dzimmi), atau sama-sama musyrik, yang keduanya saling mewarisi kesyirikan.
Sufyan mengabari kami dari Az-Zuhri, dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman, dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafirtidak mewarisi dari orang muslim.”
Ibnu Uyainah mengabari kami dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menjual budak dan budak itu memiliki harta, maka harta itu milik orang yang menjual, kecuali orang yang membeli itu mensyaratkannya.”
Telah dijelaskan di dalam Sunnah Rasulullah SAW bahwa seorang budak tidak memiliki harta, dan apa yang dimiliki seorang budak sebenarnya milik tuannya. Kata „hartanya‟ itu hanya penyandaran kepadanya karena harta itu di tangannya, bukan karena dia memilikinya. Bagaimana mungkin ia memiliki sesuatu sedangkan ia tidak memiliki dirinya, sebaliknya, dia yang dimiliki, dijual, dihibahkan dan diwariskan. Allah SWT mengalihkan kepemilikan orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup, sehingga mereka memiliki apa yang tadinya dimiliki oleh orang yang meninggal itu. Seandainya seorang budak itu berstatus ayah atau selainnya bagi orang yang ditetapkan mendapat bagian warisan, maka jika budak itu diberi bagian warisan, berarti yang memilikinya adalah tuannya, meskipun tuannya itu bukan bapaknya mayit dan bukan ahli waris yang disebutkan mendapat bagianwaris.
Jadi, se kita memberikan warisan kepada seorang budak karena statusnya yang sebagai ayah, maka sesungguhnya kita telah memberikannya kepada si tuan yang tidak memperoleh bagian warisan. Berarti kita telah mewariskan kepada orang yang tidak dijadikan Allah SWT sebagai ahli waris, dan kita tidak memberikan warisan kepada hamba sahaya (karena sifat-sifat yang saya jelaskan tadi), dan tidak pula seseorang yang tidak melengkapi kriteria merdeka, Islam, dan bebas dari kasus pembunuhan.
Itu karena Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa‟id dari Amru bin Syu‟aib bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“orang yang membunuh tidak memperoleh apa-apa”
Jadi, kami tidak memberikan warisan untuk orang yang membunuh. Hukuman paling ringan bagi orang yang membunuh secara sengaja adalah dihalangi menerima warisan. Selain itu ia mendapatkan murka Allah SWT.
Apa yang saya jelaskan tadi, bahwa seorang muslim tidak diwarisi kecuali oleh seorang muslim yang merdeka dan tidak membunuh secara sengaja, merupakan hal yang tidak diperselisihkan di antara ulama yang saya catat riwayatnya di negeri ini dan juga di negeri lain.
Kesepakatan mereka pada penjelasan tadi merupakan argumen yang mengharuskan mereka untuk tidak berbeda pendapat menyangkut Sunnah Rasulullah SAW, yaitu bahwa apabila Sunnah Rasulullah SAW berada dalam konteks seperti ini, menyangkut hal yang diwajibkan Allah SWT secara tertulis, maka Sunnah menunjukkan bahwa kewajiban tersebut hanya berlaku pada sebagian orang yang memenuhi syarat-syarat kewajibannya, dan tidak pada sebagian yang lain.
Sunnah Rasulullah SAW yang menyangkut kewajiban yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an, kedudukannya sama dengan Sunnah Rasulullah SAW yang menyangkut kewajiban yang nashnya tidak disebutkan di dalam Al Qur’an.
Hal paling utama yang tidak boleh diragukan dan harus diketahui oleh seorang ulama adalah bahwa hukum-hukum Allah SWT tidak berbeda dari hukum-hukum Rasul-Nya, dan keduanya berjalan pada fondasi yang sama.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’ [4]: 29)
ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Rasulullah SAW melarang beberapa jenis jual-beli meskipun dilakukan suka sama suka di antara dua orang pelaku akad. Contoh:
- Jual beli emas dengan emas tanpa ada kesepadanan dari segi ukuran dan
- Jual beli emas dengan emas, salah satu pihak menyerahkan secara tunai sedangkan pihak lain menyerahkan secara
- Jual beli yang mengandung resiko dan perkara yang tidak diketahui oleh penjual dan
Rasulullah SAW juga mengeluarkan beberapa ketetapan lain yang menyangkut jual beli, diantaranya : seorang budak bisa dijualbelikan. Bila seorang penjual meipu dengan cara menyembunyikan aib barang dagangan dari pembeli, maka pembeli berhak mengembalikannya dan mendapatkan biaya yang telah dikeluarkannya, dan itu menjadi tanggungan penjual. Selain itu, orang yang menjual seorang budak, padahal budak itu memiliki harta, maka hartanya itu milik si penjual, kecuali si pembeli mensyaratkannya. Selain itu, orang yang menjual pohon
kurma yang telah berbuah, maka buahnya itu milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya. Kita semua wajib mengikuti Sunnah ini, karena Allah SWT mewajibkan kita untuk mengikuti perintah beliau.