Kewajiban Umrah sama dengan Kewajiban Haji

Imam Syafi’i berkata: Allah Tabaraka wa Ta ’ala berfirman, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. ” (Qs. Al Baqarah (2): 196). Orang-orang berselisih tentang hukum umrah ini. Sebagian ulama timur mengatakan bahwa umrah itu hukumnya sunah. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Sa’id bin Salim yang berhujjah bahwa Sufyan Ats-Tsauri mengkhabarkan kepadanya dari Muawiyah bin Ishak, dari Abu Shalih Al Hanafi bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Haji itu jihad dan umrah itu sunah.” Saya bertanya kepadanya, “Apakah hadits tersebut benar-benar dari Nabi SAW?” Ia menjawab, “Hadits itu adalah hadits munqathi (bukan hadits shahih).” Seandainya tidak ada dalil pasti, maka kami berpendapat bahwa umrah itu hukumnya sunah, karena Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. ” (Qs. Aali ‘Imraan (3) : 97)
Dalam ayat tersebut Allah mewajibkan untuk berhaji, tidak ada keterangan bahwa Allah juga mewajibkan umrah. Saya tidak mengetahui satu orang pun di antara kaum muslimin yang mengatakan bahwa mayit yang belum umrah maka harus diumrahkan oleh orang lain. Demikianlah pendapat dan perkataan Sa’id bin Salim. Maka saya menjawab bahwa Allah berfirman, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. ’’ (Qs. Al Baqarah (2): 196) Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mensejajarkan antara haji dan umrah, walaupun di ayat lain Allah tidak mensejajarkannya (hanya menyebut haji saja tanpa menyertakan umrah).
Hal ini sebagaimana firman Allah yang kadang-kadang mensejajarkan antara shalat dengan zakat, dan kadang-kadang hanya menyebut kalimat shalat tanpa menyertakan kalimat zakat. Misalnya firman Allah, “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. ” (Qs.Al Muzammil (73): 20) Kemudian firman Allah, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orangyang beriman. ” (Qs. An-Nisaa’ (4): 103) Dalam ayat tersebut kadang-kadang Allah menyertakan kalimat shalat dengan kalimat zakat, dan kadang-kadang Allah menyebut kalimat shalat tanpa menyebut kalimat zakat. Ini bukan berarti zakat tidak wajib seperti shalat. Justru ini merupakan dalil bahwa zakat itu wajib seperti shalat. Perkataan Sa’id bin Salim bahwa tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang berpendapat bahwa mayit yang belum melakukan umrah harus diumrahkan orang lain ini bukan merupakan hujjah (dalil), tapi justru ia harus mewajibkan umrah berdasarkan ayat di atas.

Imam Syafi’i berkata: Dalam hal ini saya lebih cenderung dengan zhahir ayat Al Qur’an dari pada takwil para ulama. Saya memohon taufik kepada Allah dari pada menyimpulkan bahwa umrah itu hukumnya wajib, karena Allah mensejajarkan umrah dengan haji dalam firman-Nya, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. ” (Qs. Al Baqarah (2): 196) Di samping itu, Rasululllah SAW melaksanakan berumrah sebelum haji. Beliau pun mensunahkan ihram umrah, keluar dari ihram umrah dengan thawaf dan mencukur rambut, serta dengan miqat (sama dengan haji).
Perlu diketahui bahwa makna zhahir Al Qur’an itu lebih didahulukan apabila tidak ada dalil atau petunjuk bahwa ayat tersebut mempunyai makna lain di samping makna zhahir. Rasulullah SAW juga bersabda. “Umrah itu masuk di dalam haji selama-lamanya sampai hari kiamat. Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh seseorang tentang wangi-wangian dan pakaian di dalam umrah, beliau menjawab “Lakukanlah di dalam umrahmu segala sesuatu yangboleh engkau lakukan di dalam hajimu. “Seseorang boleh melaksanakan haji dengan cara haji Qiran, yaitu melaksanakan haji dan umrah secara bersama-sama. Juga boleh melaksanakan umrah yang wajib terlebih dahulu, kemudian ia menyembelih hewan kurban sebagai pengamalan firman Allah, “maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat.” (Qs. Al Baqarah(2): 196).
Dari penjelasan ini, maka orang yang melakukan haji Qiran akan merasa lebih ringan keadaannya daripada melaksanakan haji secara tamattu ’, karena ia memasukkan umrah sekaligus ke dalam haji dan tidak harus melewati miqat haji, karena ia telah memasukkan umrah tersebut pada hari-hari haji. Orang yang melakukan haji secara tamattu’, ia bertahallul dari umrah sebelum ia berihram lagi untuk haji. Orang yang melakukan haji Tamattu ’ tersebut sama dengan orang yang melakukan secara qiran dalam hal hadyu. Dari sini kita tahu bahwa boleh melakukan umrah dulu kemudian melakukan haji, dan boleh juga melakukan haji terlebih dahulu kemudian melakukan umrah yang wajib.
Barang siapa melakukan haji Iffad (berhaji dulu kemudian umrah) kemudian ia ingin melaksanakan umrah setelah haji, maka caranya adalah ia harus keluar dari Tanah Haram kemudian berihram lagi dari tempat yang ia inginkan, ia tidak berkewajiban untuk memulai ihramnya dari miqat sebagaimana yang dilakukan dalam ihram haji. Cukup baginya untuk memulai ihramnya dari tanah halal (di luar Tanah Haram), tempat yang terdekat dengan dirinya. Dalam hal ini saya cenderung berpendapat bahwa lebih baik ’ baginya untuk memulai umrahnya dengan berihram dari ji’rana, karena Nabi SAW memulai umrahnya dari Sana. Jika hal itu tidak memungkinkan, maka lebih baik ia memulai ihram umrahnya dari tan ’im karena Nabi SAW menyuruh Aisyah untuk memulai umrahnya dari sana, dan tan ’im tersebut merupakan tanah halal yang paling dekat dengan Baitul Haram. Jika hal itu masih tidak memungkinkan, maka mulailah ihram umrahnya dari Hudaibiyah, karena Nabi SAW shalat di tempat tersebut dan memulai memasuki umrah dari sana. Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Uyainah, bahwasanya ia mendengar Umar bin Dinar berkata: Aku mendengar Amr bin Aus AtsTsaqafi berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku Abdurrahman binAbu Bakar, “Bahwa Nabi SAW menyuruh Abdurrahman bin Abu Bakar memboncengkan Aisyah (adiknya) ke tan ’im untuk memulai umrahnya dari sana.”

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang berihram untuk haji kemudian ia tertinggal (tidak bisa meneruskan hajinya), maka ia harus keluar dari hajinya dan boleh melaksanakan umrah, tapi tahun depan harus melaksanakan haji lagi disertai dengan menyembelih hadyu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *