Kewajiban-Kewajiban Umum

Allah SWT berfirman:

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ

dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqarah [2]:43)

Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ

ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (QS. At-Taubah [9]: 103)

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلً

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran [3]: 97)

Allah SWT di dalam Kitab-Nya mewajibkan shalat, zakat dan haji serta menjelaskan tata cara pelaksanannya melalui lisan NabiNya. Jadi, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jumlah shalat fardhu adalah lima waktu, dan jumlah rakaat shalat zhuhur, Ashar dan Isya adalah empat-empat, jumlah rakaat shalat Maghrib adalah tiga, dan jumlah rakaat shalat shubuh adalah dua.

Setelah itu Rasulullah SAW menetapkan bacaan pada setiap shalat, dan bacaan dikeraskan pada waktu shalat Maghrib, Isya dan Subuh, namun bacaan dipelankan pada waktu shalat Zhuhur dan Ashar. Rasulullah SAW juga menetapkan kewajiban membaca takbir setiap memasuki shalat, dan membaca salam saat keluar shalat. Selain itu, di dalam shalat kita harus membaca takbir, surat Al Fatihah, kemudian ruku, lalu sujud dua kali setelah ruku, serta ketentuan-ketentuan lain.

Rasulullah SAW juga menetapkan kebolehan qashar (meringkas) pada shalat safar jika shalat tersebut terdiri dari empat rakaat, dan menyamakan rakaat shalat maghrib dan subuh seperti saat mukim. Orang yang shalat juga wajib menghadap Kiblat, baik pada waktu musafir maupun mukim, kecuali kondisi takut.

Rasulullah SAW juga menetapkan bahwa shalat sunah sama seperti shalat fardhu. Ia tidak sah kecuali dalam keadaan suci dan membaca bacaan tertentu, serta setiap perkara yang menjadi syarat sahnya shalat fardhu, seperti sujud, ruku, menghadap Kiblat saat mukim, di darat dan saat bepergian.

Beliau juga menetapkan bahwa orang yang berkendara boleh shalat sunah dengan menghadap ke arah mana saja sesuai arah kendaraannya.

Ibnu Abi Fudaik mengabari kami, dari Ibnu Abu Dzi‟b dari Utsman bin Abdullah bin Suraqah, dari Jabir bin Abdullah:

“Bahwa Rasulullah SAW dalam prang bani Anmar shalat di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah Maroko.”

Muslim mengabari kami dari Ibnu Juraij, dari Abu Zubair dari Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda hal senada dengan yang tadi. Saya tidak tahu apakah ia menyebut bani Anmar atau tidak. Atau ia berkata:

صلى فِي َسَفٍر

“Beliau shalat dalam perjalanan.”

Berkaitan dengan shalat Idl dan shalat Istisqa‟, Rasulullah SAW menetapkan jumlah ruku dan sujud seperti shalat-shalat yang lain. Berkaitan dengan shalat gerhana, Nabi SAW menambahkan satu ruku pada setiap rakaat. Jadi pada setiap rakaat shalat gerhana ada dua kali ruku.

Malik mengabari kami dari Yahya bin Sa‟id dari Amrah dari Aisyah dari Nabi SAW. Malik juga mengabari kami dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah dari Nabi SAW.

Diriwayatkan pula hadits serupa; Malik dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasar dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW. Di dalam haditshadits ini dituturkan dari Aisyah dan Ibnu abbas mengenai shalat Nabi SAW dengan lafazh yang berbeda. Namun hadits keduanya memiliki kesamaan bahwa Nabi SAW ruku dua kali pada setiap rakaat shalat gerhana.

Allah SWT berfirman:

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

Rasulullah SAW lalu menjelaskan dari Allah SWT waktu-waktu tersebut dan beliau shalat tepat pada waktunya. Pada saat perang Ahzab, beliau terkepung sehingga beliau tidak bisa shalat pada waktunya. Oleh karena itu beliau menundanya karena ada alasan, sampai akhirnya beliau shalat Zhuhur, Ashar, maghrib dan Isya pada satu waktu.

Muhammad bin Isma‟il bin Abu fudaik mengabari kami dari Ibnu Abi Dzi‟b dari Al Maqburi dari Abdurrahman bin Abu Sa‟id dari ayahnya ia berkata;

Kami terhalang untuk Shalat pada perang khandaq hingga sesudah Maghrib menjelang malam, sampai akhirnya kami mendapatkan perlindungan dari Allah SWT, yaitu yang dijelaskan dalam firman Allah SWT: “ dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al Ahzab [33]: 25)

Rasulullah SAW lalu memanggil Bilal dan menyuruhnya membaca iqamat untuk shalat Zhuhur, lalu beliau mengerjakan shalat Zhuhur secara sempurna, sebagaimana beliau mengerjakannya pada waktunya. Bilal lalu membaca iqamat untuk shalat Ashar, 

dan beliau pun mengerjakan shalat Ashar demikian. Bilal kemudian membaca iqamat untuk shalat Maghrib, dan beliau pun mengerjakan shalat Maghrib demikian. Bilal lalu membaca iqamat untuk shalat Isya, dan beliau pun mengerjakan shalat Isya demikian juga.

Abu Sa‟id berkata: “Hal itu terjadi sebelum diturunkannya cara shalat khauf dalam firman Allah SWT: “maka shalat lah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2]: 239)41

Dalam riwayat tersebut Abu Sa‟id menjelaskan bahwa hal itu terjadi sebelum Allah SWT menurunkan kepada Nabi SAW ayat yang menjelaskan shalat pada kondisi taktu. Ayat tersebut adalah:

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ ۗ فَاِذَا سَجَدُوْا فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَّرَاۤىِٕكُمْۖ وَلْتَأْتِ طَاۤىِٕفَةٌ اُخْرٰى لَمْ يُصَلُّوْا فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ

dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut  diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu. (QS. An-Nisa’ [4]: 101-102)

malik mengabari kami dari Yazid bin Ruman, dari Shalih bin Khawwat, dari orang yang shalat khauf bersama Rasulullah SAW pada perang Dzatu Riqa‟, ia berkata:

“Satu kelompok berbaris (shalat) bersama beliau, dan kelompok yang lain berdiri menghadap musuh. Beliau lalu mengimami shalat kelompok yang bersama beliau satu rakaat. Lalu beliau  tetap berdiri, sedangkan kelompok tersebut menyempurnakan shalat sendiri. Lalu mereka bubar dan berbaris menghadap musuh. Lalu kelompok yang lain tersebut datang, dan beliau pun mengimami mereka pada rakaat yang tersisa dari shalat beliau. Lalu beliau tetap duduk, dan mereka melanjutkan sendiri, lalu beliau memimpin salam mereka.”

Aku diberitahu oleh orang yang mendengar Abdullah bin Umar bin Hafs, ia meriwayatkan dari saudaranya yang bernama Ubaidullah bin Umar, dari Qasim bin Muhammad, dari Shalih bin Khawwat, dari ayahnya Khawwat bin Jubair, dari Nabi SAW tentang hadits yang serupa dengan hadits Yazid bin Ruman.

Riwayat-riwayat ini menunjukkan hal-hal yang telah saya jelaskan sebelumnya dalam kitab ini, bahwa apabila Rasulullah SAW menetapkan satu Sunnah, lalu Allah SWT menetapkan untuk me-nasakh Sunnah tersebut, atau memberi kelonggaran di dalamnya, maka Rasulullah SAW menetapkan satu Sunnah menjadi argumen bagi manusia, sehingga mereka dalam hal ini hanya beralih dari Sunnah yang satu kepada Sunnah sesudahnya.

Misalnya saja, Allah SWT me-nasakh penundaan shalat dari waktunya dalam kondisi takut menjadi shalat pada waktunya, sebagaimana yang diwahtukan Allah SWT dan ditetapkan oleh Rasul-Nya. Rasulullah SAW pun menghapus Sunnah beliau berkaitan dengan penundaan shalat pada kondisi takut, sesuai ketentuan dari Allah SWT dalam Kitab-Nya dan sesuai Sunnah beliau. Rasulullah SAW pun shalat dalam kondisi takut tepat pada waktunya, sebagaimana yang telah saya jelaskan.

Malik mengabari kami dari Nafi‟ dari Ibnu Umar, ia diperlihatkan tata cara shalat dalam kondisi takut yang bersumber dari Nabi SAW, lalu ia berkata:

إ ْف َكا َف َخْو ٌ أ َشد ِم ْن َذلِ َك َصلْوا ِرَجالًَّ َوُرْكبَانًا، ُم ْستَقبِلِي
الِقْبلِِة أْو غَْير ُم ْستَقبِلِيَها

“apabila kondisi takutnya lebih dari itu, maka mereka shalat dengan jalan kaki dan berkendara, dengan menghapus Kiblat atau tanpa menghadap Kiblat.

Seseorang mengabari kami dari Ibnu Abi Dzi‟b dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya dari Nabi SAW hadits yang semakna dengan yang tadi. Salim tidak meragukan hadits ini dari Nabi SAW, dan statusnya marfu‟ kepada Nabi SAW.

Jadi, Sunnah Rasulullah SAW menunjukkan hal yang telah saya jelaskan, bahwa menghadap Kiblat dalam shalat fardhu hukumnya wajib untuk selamanya, kecuali dalam kondisi yang tidak memungkinkan shalat dengan menghadap Kiblat, yaitu ketika sedang bertempur, dan hal-hal lain yang semakna, yang tidak memungkinkan shalat dengan menghadap Kiblat.

Dalam hal ini, Sunnah menetapkan bahwa shalat pada waktunya tidak boleh ditinggalkan dengan cara yang sesuai kesanggupan orang yang shalat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *