Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa ketinggalan haji bukan karena terhalang oleh musuh, sakit, hilang akal dan lain-lain, tapi dia ketinggalan karena salah perhitungan atau karena keterlambatan perjalanan atau disibukkan oleh sesuatu, maka dalam hal ini hukumnya adalah sama, yaitu wajib membayar fidyah dan mengqadha haji tersebut, harus thawaf dan sa’i, serta menggunting rambut atau memendekkannya. Dalam hal ini mereka semua sama, kecuali orang yang meninggal dan belum melaksanakan haji, padahalia sudah mampu. Dalam hal ini ia dianggap berdosa, kecuali apabila diampuni oleh Allah. Jika ada yang bertanya, “Apakah pendapat Anda ini berdasarkan atsar (dalil)?” Saya jawab: Ya, yaitu sebagian atsar tersebut semakna dengan hal itu.
Imam Syafi’i berkata: Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Barangsiapa mendapatkan malam hari nahar kemudian dia wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia telah mencapai haji (hajinya sah). Tapi barangsiapa malam itu belum sampai di Arafah sampai terbit fajar, maka dia telah ketinggalan haji (hajinya tidak sah). Hendaklah ia datang ke Baitullah untuk thawaf dan sa’i antara Shafa dan Marwa sebanyak 7 kali, kemudian menggunting rambut atau memendekkannya. Jika dia membawa hewan kurban, maka apabila iamau, hendaklah menyembelih hewan tersebut sebelum menggunting rambutnya. Jika ia telah selesai dari thawaf dan sa’i-nya, maka hendaklah ia menggunting rambutnya atau memendekkannya, kemudian ia kembali ke keluarganya (ke kampung halamannya). Jika di tahun depan ia dalam keadaan mampu, maka hendaklah ia melaksanakan haji dengan menyembelih hewan kurban di dalam hajinya. Tapi apabila tidak mendapatkan hewan kurban, hendaklah ia puasa 3 hari di Tanah Haram dan 7 hari di kampung halamannya.” Dari Sulaiman binYasar, dia meriwayatkan bahwa Khabar bin Aswad datang kepada Umar bin Khaththab yang sedang menyembelih hewan kurbannya. Lalu Umar berkata kepadanya, ’Pergilah untuk thawaf bersama orang-orang yang menyertaimu, lalu sembelihlah hewan kurban jika kalian mampu mendapatkannya Kemudian guntinglah rambut atau memendekkannya, lalu pulanglah ke negeri kalian dan berhajilah di tahun depan dengan menyembelih hewan kurban.Tapi jika tidak bisa mendapatkan hewan kurban tersebut, maka boleh diganti dengan puasa 3 hari pada waktu haji dan 7 hari ketika sudah pulang.”
Imam Syafi’i berkata: Seseorang yang tertinggal hajinya yang ia laksanakan secara Qiran, maka ia harus menyembelih hewan kurban untuk haji Qiran tersebut. Seandainya orang yang berihram haji tertinggal hajinya, kemudian dia terus berada dalam ihramnya sambil menunggu haji tahun berikutnya, maka hal ini tidak boleh dilakukan, karena seseorang tidak boleh berihram haji di luar bulan-bulan haji. Bulan-bulan haji tersebut adalah bulan-bulan yang sudah ditentukan (oleh Allah dan Rasul-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah, “(Musim) haji itu adalah beberapa bulan yang dimaklumi. ” (Qs. Al Baqarah (2): 197) Ayat ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji, wallahu a lam. Jika ada yang bertanya, “Kenapa Anda tidak membolehkan bermukim (di Tanah Haram) sambil berihram untuk menunggu haji ditahun berikutnya?” Sayajawab: Hal itu berdasarkan apa yang sudah saya jelaskan menurut ayat dan atsar dari Umar dan Ibnu Umar. Sebagian orang dan sebagian penduduk Makkah berbeda pendapat dengan kami dalam masalah orang yang tertahan hajinya karena sakit, mereka mengatakan bahwa orang yang terhalang oleh sakit sama persis hukumnya dengan orang yang terhalang oleh musuh. Sebagian dari mereka yang pernah saya temui juga berpendapat demikian; bahwa orang yang terhalang boleh mengutus orang lain untuk mencarikan hewan kurban dan memberi waktu satu hari untuk menyembelih hewan tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa untuk lebih berhati-hati, maka diberi waktu dua hari untuk kemudian menggunting atau memendekkan rambutnya, lalu ber-tahallul dan kembali kekampung halamannya. Tahun berikutnya dia masih wajib mengqadha haji yang ketinggalan itu. Sebagian orang berpendapat; jika seseorang berihram untuk haji kemudian gagal melaksanakannya, maka ia harus mengqadha haji dan umrah, karena pada saat itu ihram hajinya sudah menjadi umrah. Saya mengira bahwa mereka juga berpendapat seandainya orang tersebut berhaji Qiran, maka ia haras mengqadha haji dan dua kali umrah, karena hajinya telah menjadi umrah. Jika orang tersebut berihram dengan umrah, maka ia haras mengqadha umrahnya saja. Mereka juga mengatakan bahwa apabila seseorang tertinggal dan tidak bisa wukuf di Arafah, kemudian ia datang pada hari nahar (10 Dzulhijjah), maka ia haras thawaf dan sa’i serta menggunting rambut atau memendekkannya, dan ia harus mengulang hajinya di tahun berikutnya. Hal ini sama dengan pendapat kami. Tapi mereka mengatakan bahwa orang tersebut tidak wajib menyembelih hewan kurban, maka untuk pendapat yang ini tidak sama dengan pendapat kami. Mereka beralasan dengan riwayat dari Umar bahwa beliau tidak memerintahkan untuk menyembelih hewan kurban. Kemudian setelah lewat 20 tahun, saya bertanya kepada Zaid bin Tsabit tentang hal ini, lalu ia menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Umar. Ia mengatakan bahwa, “Kami meriwayatkan hal itu dari Umar.”