Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang memiliki harta yang terlihat di tangannya dan tampak darinya sesuatu, kemudian para pemilik piutang menagih hak mereka seraya membuktikan hak-hak mereka, dan jika harta yang ada nampaknya dapat melunasi hak-hak para pemilik piutang, maka hak-hak mereka harus dilunasi dan harta tidak dibekukan. Tapi bila tidak tampak harta padanya atau tidak ditemukan sesuatu yang dapat melunasi hak-hak para pemilik piutang, maka harta dapat dibekukan dan dijual.
Apabila ia menyebutkan kebutuhannya, niscaya ia disuruh memberikan bukti atas pernyataan itu. Aku menerima darinya bukti atas kebutuhannya, dan bahwa ia tidak memiliki sesuatu serta tidak menahannya. Jika tidak ada bukti, maka aku menahannya untuk beberapa waktu Iamanya. Namun dalam semua proses ini aku menyuruhnya bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak memiliki dan tidak mendapatkan sesuatu untuk para pemilik piutang guna melunasi utangnya; baik uang tunai, barang atau apapun.
Kemudian aku membebaskannya dan melarang para pemilik piutang untuk mendesaknya. Apabila aku membebaskannya, maka aku tidak mengembalikannya ke tahanan hingga para pemilik piutang mendatangkan bukti bahwa pengutang telah mendapatkan harta namun tidak mau melunasi utangnya. Tidak ada batasan waktu atas penahanannya melebihi penyingkapan tentang kondisinya yang sebenamya, dan tidak patut untuk melalaikan masalah ini. Pengutang tidak ditahan apabila diketahui bahwa ia tidakmemiliki sesuatu, karena Allah Azzawa Jalla berfirman, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan” (Qs. Al Baqarah (2): 280)