Imam Syafi’i berkata: Yang lebih saya sukai adalah seseorang menuju Shafa dari pintu Shafa, kemudian dia menghadap Ka’bah lalu bertakbir dan mengucapkan: “Allah MahaBesar,Allah MahaBesar,Allah Maha Besar, dan segala puji bagi Allah. Allah Maha Besar terhadap apa yang telah Dia tunjukkan kepada kami, dan segala puji bagi Allah atas apa yang telah Dia tunjukkan kepada kami serta perlindungannya kepada kami. Tidak ada sesembahan kecuali Allah, tidak ada sekutu bagiNya, segala kekuasaan dan pujian hanya milik-Nya. Dia menghidupkan dan mematikan, di tangan-Nyalah segala kebaikan, Dia berkuasa terhadap segala sesuatu. Tidak ada sembahan kecuali Allah, janji-Nya adalah benar, Dia menolong hamba-Nya serta menghancurkan musuh-musuh dengan sendirinya. Tidak ada sembahan kecuali Allah, dan kami tidak menyembah kecuali Allah dengan memumikan agama hanya untuk Dia, walaupun orangorang kafirtidakmenyukainya.”
Kemudian hendaklah ia berdoa dan ber-talbiyah, lalu kembali mengucapkan kalimat-kalimat di atas sampai berulang 3 kali. Ia boleh berdoa meminta kebaikan agama dan dunia di sela-sela antara 2 takbir di atas. Setelah itu, hendaklah ia turun dari Shafa dengan berjalan kaki menuju Marwa. Ketika berada di bawah tongkat hijau sepanjang kirakira 6 hasta yang tergantung di sudut masjid, hendaklah ia berlari dan bergegas hingga ia berada di bawah 2 tongkat hijau yang berada di halaman masjid dan di halaman rumah Abbas. Setelah itu, hendaklah ia berjalan seperti biasa sampai naik ke bukit Marwa. Ketika sudah melihatKa’bah (jika diamampu melihatnya), hendaklah iamengucapkan kalimat-kalimat seperti yang telah ia ucapkan di atas Shafa. Setelah itu, hendaklah kembali ke Shafa. Begitulah seterusnya sampai ia melakukannya 7 kali, yaitu dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwa. Sekurang-kurangnya sa’i itu dianggap sah apabila seseorang telah berjalan atau berlari dari Shafa ke Marwa sebanyak 7 kali (walaupun dia tidakmengucapkan doa apapun, tidak bertakbir, tidak berdiri di atas Shafa 45 Yang disebutkan di sini adalah keadaan di zaman Imam Syafi’i masih hidup.
Adapun sekarang keadaan itu sudah berubah, yaitu untuk menuju Shafa atau Marwa sudah tidak terlalu mendaki, dan tongkat hijau itu sekarang diganti dengan lampu neon berwarna hijau —peneij.) atau Marwa, tidak berlari di antara dua lampu hijau dan lain-lain — penerj.) Yang lebih saya sukai adalah, seseorang itu berada dalam keadaan suci apabilamelakukan sa’i. Tapi apabila dalamkeadaan tidak suci,junub, tanpawudhu atau dalam keadaan haid, maka halitu tidakmembatalkan sa’inya. Apabila di tengah-tengah sa’i Iqamat dikumandangkan (shalat beijamaah akan segera dilaksanakan), maka hendaklah dia keluar dari sa’inya lalu masuk masjid dan ikut shalat berjamaah. Setelah selesai shalat, hendaklah iakembali ke tempat dimana iameninggalkan sa’inya. Hukum sa’i antara Shafa dan Marwa ini wajib, sehingga tidak bisa diganti dengan denda apapun. Diriwayatkan dari Shafiyyah binti Syaibah, diamengatakan: Telah mengkhabarkan kepada saya binti Abu Tadji’ah, yaitu salah seorang perempuan suku BaniAbdud-Dar, ia berkata, “Saya pernah bersama para wanita Quraisy masuk ke rumah Ibnu Abu Husain untuk memperhatikan Rasulullah SAW yang sedang sa’i antara Shafa dan Marwa. Kemudian saya melihat beliau berlari (di antara dua tanda hijau) dengan kencangnya sehingga aku lihat kain beliau berkelebat-kelebat dan saya sempat melihat kedua lutut beliau. Saya mendengar beliau bersabda, Bersa ’ilah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa ’i kepada kalian*”
Imam Syafl’i berkata: Seorang perempuan tidak disunahkan untuk lari-lari kecil ketika thawafdiBaitullah dan ketika sa’i antara Shafa dan Marwa, akan tetapi hendaklah mereka berjalan dengan tenang. Menurut saya, perempuan yang sudah terkenal dengan kecantikannya lebih baik melakukan thawaf dan sa’i di malam hari. Apabila ia melakukannya di siang hari, hendaklah ia mengulurkan kainnya untuk menutupi wajahnya (tapi bukan dengan cadar) Pada umumnya thawaf dan sa’i itu dilakukan dengan berjalan kaki, baik oleh laki-laki atau perempuan. Tapi apabila seseorang thawaf atau sa’i dengan ditandu atau diusung, maka hal ini dibolehkan apabila ia menderita sakit. Tapi apabila ada seseorang yang thawaf dengan diusung padahal ia dalam keadaan tidak sakit, maka dia tidak wajib mengulangi thawafnya (thawafnya sah), dan ia juga tidak harus membayar fidyah. Dalilnya adalah sebuah riwayat dari Ubaidillah bin Abdullah bin Abbas, “Bahwasanya Nabi SAW pernah thawaf di Baitullah dengan berkendaraan dan beliau ber-ijtilam (menyentuh HajarAswad) dengan tongkat beliau.”