BUMI AL QUR’AN, JOMBANG — Sejarah mencatat dari masa ke masa, tanah Palestina kerap diduduki oleh sejumlah kekuatan politik tertentu. Namun, dari era Byzantium, Usmaniyah, hingga Zionis saat ini, kehidupan Palestina naik turun.
Misalnya, kehidupan sosial di wilayah Kristen Byzantium sangat memprihatinkan. Penindasan terhadap kaum lemah, adanya upeti kepada penguasa, dan kekacauan lainnya marak terjadi di mana-mana.
Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, kendati para penduduk mengakui agama Kristen sebagai agama kepercayaan mereka, namun kehidupan keseharian mereka sangat jauh dari ajaran agama. Sebagaimana diketahui, agama Kristen menekankan dalam ajaran spiritualismenya tentang moral yang tinggi dan juga kesederhanaan hidup.
Namun, yang terjadi di masyarakat Kristen Byzantium sebaliknya. Di mana-mana terdapat kemegahan yang digunakan untuk berfoya-foya. Sekian banyak tempat yang dibangun untuk mempertunjukkan keganasan yang memperhadapkan manusia melawan manusia, bahkan manusia melawan binatang buas.
Dijelaskan bahwa kehidupan mereka penuh dengan kontradiksi. Mereka mencintai seni dan keindahan yang seharusnya mengantarkan mereka kepada keluhuran budi, tetapi dalam saat yang sama mereka gemar dengan kekerasan dan kekejaman.
Imperium Romawi Timur (Byzantium) ini dalam sejarahnya menguasai Yunani, Balkan, Asia kecil, Suriah, Palestina, sebagian wilayah Laut Putih (Rusia bagian utara), Mesir, dan seluruh Afrika Utara. Ibu kotanya adalah Konstantine. Imperium ini berdiri pada 395 Masehi dan berakhir dengan kekalahannya oleh Usmaniyah yang berpusat di Turki pada 1453 Masehi.
Di era Dinasti Usmaniyah atau di bawah kekuasaan Ottoman pada abad ke-16, yakni ketika Yavuz Sultan Selim mengalahkan penguasa Mamluk Kansu Gavri dalam Pertempuran Marj Dabiq pada tahun 1516, Suriah dan Palestina bergabung ke tanah Ottoman.
Adapun Yavuz Sultan Selim memasuki Yerusalem pada 29 Desember 1516. Dilansir di Daily Sabah, di bawah pemerintahan Ottoman, wilayah Palestina dipecah menjadi tiga negara; Yerusalem, Gaza, dan Nablus. Semuanya terkait dengan Provinsi Damaskus.
Palestina, pada periode terakhir Kesultanan Utsmaniyah, pertama kali dikaitkan dengan negara Sidon, kemudian dengan Suriah. Kemudian, dengan Beirut yang didirikan pada periode terakhir.
Ottoman memerintah di Palestina selama 401 tahun dan rakyat Palestina tidak merasa terancam atau terjajah. Adapun Palestina dulu dan sekarang masih merupakan wilayah yang sangat penting bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Secara khusus, tempat-tempat suci di Yerusalem tidak dapat dibagi. Bahkan berbagai denominasi Kristen pun saling berkonflik.
Di bawah penjajahan Israel
Akar mula jatuhnya Palestina ke tangan Israel merupakan sebuah catatan sejarah yang suram, penuh intrik, dan kerap manipulatif dalam realita yang dikonstruksi Israel. Bersama sekutu-sekutunya, kekuasaan Israel di Palestina kian tak terbendung.
Benang merah konflik Timur Tengah bertali-temali dengan cita-cita awal gerakan zionisme yang didirikan Theodore Herzl pada 1896. Dari sana, peristiwa demi peristiwa kian menyulitkan bagi Palestina, terutama dua peristiwa petaka yang boleh dibilang menjadi cikal bakal berdirinya negara Israel di Palestina.
Sebelum jauh ke dua peristiwa petaka yang membuat rakyat Palestina perlahan-lahan terusir dari tanahnya sendiri, kongres pertama gerakan zionis di Basle, Swiss, tahun 1897 merekomendasikan berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai-berai di seluruh dunia.
Musthafa Abdurrahman dalam buku Jejak-Jejak Juang Palestina menggambarkan akar konflik ini bermula. Dia menjelaskan pada kongres berikutnya tahun 1906, gerakan zionis baru merekomendasikan secara tegas untuk mendirikan sebuah negara bagi rakyat Yahudi di tanah Palestina.
Situasi politik di benua Eropa dengan pecahnya Perang Dunia I (1914-1918), memberi awal peluang bagi gerakan zionisme itu untuk menggapai cita-citanya tersebut. Inggris yang terlibat dalam Perang Dunia I melawan Jerman, ternyata bermain mata dengan gerakan zionis pimpinan Herzl dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas Dinasti Ottoman (Usmaniyah).
Inggris di satu pihak mendorong bangkitnya nasionalisme Arab untuk melawan kekuasaan Dinasti Ottoman yang memihak Jerman saat itu. Di pihak lain, Inggris memberi janji pula sebuah negara di Palestina pada gerakan zionisme saat itu, hingga terjadi semacam konsiparasi internasional yang membentangkan jalan bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina.
Kemudian terjadilah dua peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina. Kedua peristiwa inilah yang menjadi petaka bagi rakyat Palestina.
1. Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916
Perjanjian ini dilakukan antara Inggris dengan Prancis, yang mana mereka membagi peninggalan Dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pada perjanjian tersebut ditegaskan, Prancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedangkan Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Yordania. Sementara Palestina dijadikan status wilayah internasional.
2. Deklarasi Balfour tahun 1917
Deklarasi ini menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina pada gerakan zionisme. Di bawah payung legitimasi Perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour tersebut, warga Yahudi di Eropa mulai melakukan migrasi ke tanah Palestina pada 1918.
Pada selanjutnya, awal 1930-an, gerakan zionis di tanah Palestina berhasil mendapatkan persetujuan Pemerintah Protektorat Inggris untuk memasukkan imigran Yahudi ke tanah Palestina secara besar-besaran. Reaksi rakyat Palestina saat itu cukup keras. Pada 1936, mereka mengadakan mogok total.
Tak berhenti sampai di situ, carut-marut konflik di Tanah Palestina mulai membuat PBB campur tangan. PBB membentuk komite khusus untuk mencari penyelesaian masalah Palestina.
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan studi di lapangan, komite ini mengajukan dua usulan. Pertama, membagi dua tanah Palestina untuk Yahudi dan Arab.
Namun, dengan adanya kesatuan sistem ekonomi. Kedua, membentuk negara federal antara Yahudi dengan Arab.
PBB dengan desakan Amerika Serikat menolak dua usulan dari komite tersebut. Kemudian, PBB melempar masalah Palestina ke forum sidang Majelis Umum PBB pada 1947.
Hasilnya, keluarlah resolusi PBB nomor 181 yang menegaskan membagi dua tanah Palestina untuk Yahudi dan Arab. Serta, memberi jangka waktu kekuasaan pemerintah protektorat Inggris di tanah Palestina hingga Agustus 1948.
Perjalanan demi perjalanan Palestina dalam sejarahnya ke depan seusai peristiwa itu kian pelik. Bahkan hingga kini, meski dunia sudah melihat dengan telanjang mata penjajahan terjadi di Palestina, namun rakyat Palestina belum menemukan kedamaian dan kemerdekaan secara hakiki atas Tanah Air mereka.
Imas Damayanti/ Ani Nur