Kedudukan Ijma dan Qiyas

Tanya: Anda menetapkan hukum berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah, maka bagaimana mungkin Anda menetapkan hukum dengan ijma dan qiyas bersamaan dengan adanya dalil dari Al Qur’an dan Sunnah?

Jawab: apabila saya menetapkan hukum dengan ijma dan qiyas sebagaimana saya menetapkan hukum dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka itu berarti latar belakang perkara yang saya tetapkan hukumnya berbeda.

Tanya: bolehkah dasar-dasar hukum yang berbeda sebabnya digunakan untuk menetapkan hukum yang sama?

Jawab: Ya. Kami menetapkan hukum dengan Al Qur’an dan Sunnah untuk hal yang disepakati dan tidak ada perselisihan di dalamnya dan kami yakin hukum ini benar secara lahir dan batin.

Kami menetapkan hukum dengan Sunnah yang diriwayatkan secara perorangan dan tidak disepakati oleh para ulama, sehingga kami menganggap benar secara lahir, karena mungkin terjadi kekeliruan pada orang yang meriwayatkan hadits.

Kami juga menetapkan hukum dengan ijma, lalu dengan qiyas. Memang, hukum ini lebih lemah daripada hukum sebelumnya, namun tetap memiliki kedudukan yang sangat penting, karena tidak boleh melakukan qiyas saat ada khabar, sebagaimana tayamum menghasilkan kesucian dalam perjalanan saat sulit memperoleh air, tetapi tidak menghasilkan kesucian saat ada air.

Begitu juga dengan sumber hukum yang berada di bawah tingkatan Sunnah, bisa menjadi argumen saat tidak ditemukan Sunnah.

Saya telah menjelaskan argumen dengan qiyas dan selainnya sebelum ini.

Tanya: apakah Anda menemukan hal yang serupa dengannya?

Jawab: Ya. Memutuskan perkara dengan mengalahkan seseorang sesuai pengetahuanku, bahwa dakwaan terhadapnya itu terbukti, atau sesuai pengakuannya. Apabila saya tidak mengetahui dan dia tidak mengakui, maka saya putuskan perkaranya dengan dua saki. Dua saksi itu bisa saja keliru dan salah paham, sehingga pengetahuanku dan pengakuannya lebih kuat daripada dua saksi. Setelah itu, saya akan memutuskan perkaranya dengan satu saksi dan sumpah, dan ini lebih lemah daripada dua saksi. Setelah itu, saya akan memutuskan perkara dengan mengalahkannya berdasarkan keengganan terdakwa untuk bersumpah dan kemauan lawannya untuk bersumpah. Ini lebih lemah daripada satu saksi dan sumpah, karena bisa jadi ia menolak bersumpah karena takut tercemar, menganggap remeh hal yang disumpahkannya, dan lawan yang bersumpah untuk memenangkan dirinya itu tidak terpercaya, rakus, serta ahli maksiat.

Sampai di sini kitab Ar-Risalah. Segala puji bagi Allah SWT. Semoga Allah melimpahkan karunia kepada Muhammad SAW.

Dalam manuskrip lisensi Rabi‟ bin Sulaiman, pada akhir naskahnya tertulis: Rabi‟ bin Sulaiman, sahabat Asy-Syafi’i, memberikan izin untuk menyalin kitab Ar-Risalah, pada bulan Dzulqa‟dah tahun 265 H. Rabi‟ menulis dengan tangannya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *