Imam Syaft’i berkata: Surniah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa seorang yang melakukan safar (perjalanan) boleh mengerjakan shalat sunah di atas kendaraan, dengan menghadap ke arah manasaja.
Apabila ia hendak ruku atau sujud, maka ia cukup memberi isyarat, dan menjadikan posisinya saat sujud lebih rendah dari rukunya. Tidak boleh mengerjakan shalat selain menghadap ke arah kiblat bagi orang yang melakukan safar atau orang yang mukim apabila ia tidak berada dalam bahaya dan ketakutan, bagaimanapun keadaannya, baik shalat fardhu yang akan dikerjakan pada waktunya, shalat yang telah luput, shalat nadzar, shalat tawaf, atau shalat jenazah.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyalla.hu ‘anhu, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat di atas keledai, dan keledai itu menghadap ke Khaibar
Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Jabir, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam peperangan Bani Ammar, beliau mengerjakan shalat di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah terbitnya matahari.”
Apabila seorang musafir berjalan kaki, maka tidak boleh baginya melakukan shalat kecuali menghadap ke arah kiblat, ia bertakbir kemudian berpaling ke arah perjalanannya lalu berjalan. Apabila tiba waktu ruku, maka tidak cukup baginya ruku maupun sujud kecuali dilakukan di tanah, sebab hal ini tidak membebaninya sebagaimana orang yang berkendaraan.
Imam Syafi’i berkata: Sujud tilawah, sujud syukur, dan shalat dua rakaat sebelum fajar adalah sunah hukumnya. Namun bagi orang yang berada di atas kendaraan, ia boleh berisyarat ketika mengerjakan ibadah itu, dan orang yang berjalan kaki juga harus sujud sebagaimana biasanya.
Orang yang berkendaraan di sebuah kota melakukan shalat sunah sebagaimana ia mengerjakan shalat fardhu, yaitu dengan menghadap ke kiblat dan di atas tanah. Tidak sah baginya melakukan shalat fardhu di atas kendaraan, sebab asas dari kewajiban shalat adalah sama kecuali bagi mereka yang diberi keringanan berdasarkan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apabila seseorang memulai shalat sunah di atas kendaraan, kemudian ia masuk ke sebuah kota, maka ia tidak boleh meneruskan shalatnya itu setelah ia memasuki kota dan berada di tempatnya, ia harus turun dari kendaraan lalu ruku dan sujud di atas tanah.
Demikian juga apabila ia turun di suatu desa atau selainnya, maka ia tidak boleh meneruskan shalatnya itu. Apabila ia melewati sebuah desa dalam suatu perjalanan, dimana desa itu bukan tempat tinggalnya dan ia tidak ingin singgah di desa itu, maka ia boleh meneruskan shalat di atas untanya.
Apabila ia singgah di suatu tempat di padang pasir atau desa dalam perjalannya, maka hukumnya adalah sama dimana ia harus mengerjakan shalat di atas tanah sebagaimana ia melakukan shalat fardhu.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang memulai shalat di atas kendaraan, lalu ia bermaksud turun sebelum menyempurnakan shalat, maka hal itu boleh baginya, karena turun lebih ringan daripada berada di atas kendaraan. Apabila ia turun, maka hendaknya ia ruku dan sujud di atas tanah, sebab tidak sah baginya selain yang demikian.
Apabila ia turun dari atas kendaraan kemudian naik lagi, maka shalatnya terputus dengan sebab naiknya itu, sebagaimana telah saya gambarkan. Sebab apabila ia turun, maka menjadi keharusan baginya untuk ruku dan sujud di atas tanah.

