Imam Syafi’i berkata: Allah Subhanahu wa Ta ’ala berfirman, “Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. ” (Qs. Al Baqarah(2): 238-239)
Imam Syafi’i berkata: Telah jelas dalam ayat Al Qur’an bahwa, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. ” Keadaan yang memperbolehkan mereka mengerjakan shalat dengan berkendaraan dan berjalan kaki, yaitu apabila mereka berada dalam bahaya.
Imam Syafi’i berkata: Ketakutan yang menyebabkan diperbolehkannya mengerjakan shalat dengan berjalan kaki atau di atas kendaraan -wallahu a ’lam- ialah pada saat berada dalam intaian musuh, atau jika antara mereka dengan musuh saling berpandangan, sementara kaum muslimin tidak dihalangi oleh benteng sehingga lemparan tombak atau senjata musuh akan dapat langsung mengenai mereka, atau karena jarak mereka sangat dekat sehingga pukulan serta tikaman musuh akan dapat mengenai mereka.
Apabila keadaan seperti ini dan musuh berada pada satu arah, dan jumlah kaum muslimin cukup banyak, maka sebagian mereka boleh memisahkan diri untuk melawan musuh sehingga kaum muslimin yang lain berada dalam keadaan yang tidak terlalu berbahaya, sehingga rombongan yang lain dapat mengerjakan shalat dalam keadaan yang tidak terlalu menakutkan.
Demikian juga apabila musuh datang dari dua atau tiga arah, kemudian mereka terkepung oleh kaum muslimin dimana jumlah musuh sedikit sedangkan jumlah kaum muslimin lebih banyak, maka setiap rombongan dapat mengiringi musuh sehingga ada kelompok dari kaum muslimin yang berada dalam keadaan yang tidak terlalu berbahaya dan mereka mengerjakan shalat.
Imam Syafi’i berkata: Apabila musuh berada di antara mereka dan arah kiblat, lalu mereka menghadap ke kiblat dengan sebagian shalat mereka, kemudian musuh itu berputar dari arah kiblat, maka mereka boleh membalikkan wajah mereka ke arah musuh dan mereka tidak perlu memutuskan shalat.
Apabila shalat yang mereka lakukan dengan tidak menghadap kiblat sama sekali dianggap memadai (sah), maka saya menganggap memadai (sah) pula shalat yang mereka lakukan dengan menghadap kiblat pada sebagiannya saja, sebab menghadap ke kiblat pada sebagian shalat lebih sedikit (penyelisihannya) dibandingkan dengan tidak menghadap sama sekali.