Imam Syafi’i berkata: Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, “(Apabila) ada dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah, kecuali jika telah ditetapkan jual-beli dengan hak khiyar.
Imam Syafi’i berkata: Setiap dua orang yang melakukan jual-beli pada zaman dahulu dengan cara jatuh tempo, utang, menukar atau dengan cara lainnya, dimana keduanya melakukan hal tersebut dengan dasar suka sama suka, keduanya tidak berpisah dari tempat berdiri atau duduknya dimana keduanya melakukan transaksi jual-beli itu. Jika keduanya dalam posisi demikian, maka diperbolehkan bagi masing-masing untuk membatalkan jual-belinya. Setiap mereka wajib melakukan transaksi penjualan pada tempat di mana keduanya melakukan transaksi jual-beli. Maka, sesungguhnya penjualan itu ditetapkan dengan adanya perpisahan atau dengan cara khiyar. Dikatakan bahwa boleh jadi sabda Rasulullah yang herbunyi “…selain jual-beli dengan khiyar” itu mengandung dua makna. Yang lebih jelas dari dua makna tersebut menurut para ahli ilmu adalah dengan lisan. Sedangkan yang lebih utama dari keduanya adalah dengan makna yang terdapat pada Sunnah dan mengambil dalil dengan Sunnah tersebut, serta melakukan qiyas pada statemen Rasulullah yang memperbolehkan khiyar bagi dua orang yang melaksanakan jual-beli, lalu keduanya mengadakan akad jual-beli hingga berpisah, kecuali penjualan dengan cara khiyar, karena sesungguhnya khiyar itu (berlaku) apabila jarak waktu sesudah akad penjualan tidak terputus.
Oleh karenanya, dalam Sunnah disebutkan “hingga keduanya berpisah ”, Sementara yang dimaksud dengan “berpisah” adalah berpisah dari tempat berdiri, dimana keduanya mengadakan jual-beli, baik diakhiri dengan pisah begitu saja atau dengan khiyar.Adapun dalam lisan dan qiyas dijelaskan bahwa apabila ada sesuatu yang wajib setelah penjualan, yaitu berpisah yaitu dengan mewajibkan yang kedua setelah jual-beli dan apabila salah seorang dari keduanya berkhiyar dengan temannya setelah jual-beli, maka khiyar tersebut sebagai pembaruan atas sesuatu yang mewajibkannya, sebagaimana berpisah mewajibkan sesuatu untuk memperbaruinya walaupun tidak ada Sunnah yang jelas pada hal tersebut seperti apa yang telah dilontarkan kepadanya.
Imam Syafi’i berkata: Jual-beli tidak wajib kecuali apabila kedua pelaku jual-beli itu berpisah atau salah seorang di antara keduanya memberikan hak khiyar kepada yang lain setelah terjadi transaksi jual beli hingga ia dapat memilih (untuk meneruskan jual-beli atau membatalkannya).
Apabila dua orangmelakukan transaksi jual-beli suatu benda, terlepas apakah keduanya itu telah melakukan serah terima atau belum, maka masing-masing dari keduanya dapat melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah. Atau, salah seorang dari keduanya menggunakan hak khiyar terhadap temannya setelah jual-beli. Apabila telah dipilih untuk jadi dibeli, maka wajiblah jual-beli itu dengan sesuatu yang wajib padanya jika keduanya telah berpisah. Apabila keduanya telah melakukan serah terima dan benda tersebut rusak di tangan pembeli sebelum berpisah atau khiyar, maka pembelilah yang menanggung harganya berapapun harganya baik sedikit atau banyak, karena jual-beli tersebut belum sempurna.
Imam Syafi’i berkata: Apabila yang dibeliitu seorang budak wanita, setelah itu pembeli memerdekakannya sebelum berpisah atau khiyar, tidak lama kemudian penjual memilih untuk membatalkan penjualan, maka penjualan itu adalah bagi si penjual, sedangkan kemerdekaan yang diberikan oleh si pembeli itu batal hukumnya. Hal ini disebabkan karena ia memerdekakan seseorang yang belum sempurna menjadi miliknya. Sementara jika yang memerdekakannya adalah penjual, maka kemerdekaannya itu menjadi sah dan diperbolehkan.
Imam Syafi’i berkata: Demikian pula halnya apabila pembeli menyegerakan (untuk membeli budak wanita tersebut) dan setelah itu ia langsung menyetubuhinya sebelum berpisah, sementara si penjual dalam keadaan lengah dan ia memilih untuk membatalkan transaksi penjualan, maka diperbolehkan bagi si penjual untuk membatalkannya. Setelah itu, pembeli harus membayar mas kawin (mahar) yang layak bagi budak wanita tersebut kepada penjual. Apabila pembeli telah menghamili budak wanita itu, akan tetapi penjual tetap menolak untuk menjualnya, maka diperbolehkan bagi pembeli untuk meminta uang pembeliannya kembali dan budak wanita itu tetap menjadi milik penjual. Selain itu, diwajibkan pula bagi pembeli untuk membayar mas kawin yang sesuai dengan harga budak wanita tersebut. Kemudian memerdekakan anak budak wanita itu dengan sebab syubhat (kondisi yang belum pasti karena penjualan belum selesai, sehingga penjual dapat menolak transaksi penjualan). Setelah itu, membebankan harga anak itu kepada pembeli pada hari ia dilahirkan.
Apabila penjual sendiri yang menyetubuhi budak wanita itu, maka pada hakikatnya budak wanita itu adalah miliknya dan persetubuhan itu adalah pilihan baginya untuk membatalkan transaksi penjualan.
Imam Syafi’i berkata: Apabila salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi jual-beli itu meninggal dunia sebelum berpisah, maka ahli warisnyalah yang berhak untuk menggantikan posisinya. Selain itu, diperbolehkan pula bagi mereka untuk melakukan khiyar pada jual-beli yang telah ada.
Apabila salah seorang dari keduanya itu bisu (tidak dapat berbicara) sebelum berpisah atau terganggu akalnya, maka hakim dapat mengangkat seseorang yang dapat memperhatikan dan mengurusi perkara tersebut. Selain itu, orang tersebut juga harus diberikan hak khiyar untuk menolak atau melanjutkan transaksi penjualan.
Imam Syafi’i berkata: Apabila yang dibeli itu adalah budak wanita dan setelah itu ia melahirkan, atau binatang yang berjenis kelamin betina dan setelah itu melahirkan sebelum keduanya berpisah, maka kedua orang tersebut (penjual dan pembeli) dapat melakukan khiyar.