Imam Syafi’i berkata: Dari Sa’idbin Musayyab ia mengatakan. Bahwa ada seorang Arab badui datang kepada Nabi SAW dengan menarik-narik rambutnya sambil memukul-mukul lehernva, dan ia berkata, “Celaka diriku!” Lalu Nabi SAW bersabda, “Ada apa engkau?” Orang tersebut menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku di siang hari bulan Ramadhan, padahal aku sedang berpuasa.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Apakah engkau sanggup memerdekakan seorang budak?” Orang tersebut menjawab, “Tidak. ” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau sanggup berkurban dengan seekor unta?” Orang tersebut menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Duduklah. ’’ Lalu Rasulullah SAW membawa sekarung kurma dan mengatakan, “Ambillah kurma ini dan bersedekahlah dengan kurma ini. ” Orang tersebut berkata, ”Aku tidak mendapatkan orang yang lebih berhajat (lebih fakir) daripada aku.” Rasulullah SAW bersabda, “Kalau begitu makanlah kurma itu dan berpuasalah satu hari sebagai ganti puasamu yang telah batal itu. ” Atha (salah seorang periwayat hadits ini) berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab, ‘Berapa banyak kurma yang terdapat dalam karung tersebut?’ Sa’id menjawab, ‘Antara 15-20 sha’’
Imam Syafi’i berkata: Di riwayat lain Nabi SAW bersabda, “Makanlah kurma ini dan beri makanlah keluargamu dengan kurma ini’’ Hal ini mengandung kemungkinan bahwa ketika orang tersebut berjima’ dengan istrinya, ia dalam keadaan tidak sanggup untuk membayar kifarat *(denda) berupa apapun, sehingga Rasulullah SAW memberikan sekarung kurma kepada orang tersebut dengan mengatakan, “Bayarlah kifarat dengan sekarung kurma ini. ” Tapi ketika orang tersebut tidak langsung menerima kurma itu dan bahkan mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang sangat fakir, baru Nabi mengatakan, “Makanlah kurma ini dan beri makanlah keluargamu dengan kurma ini.” Pada saat itu berarti ia berkuasa penuh (memiliki) sekarung kurma tersebut. Kemungkinan kedua bahwa kifarat itu menjadi utang baginya yang haras dibayar ketika ia sudah sanggup membayamya. Hal ini bukan merupakan satu kebaikan. Namun demikian saya menyukainya, karena hal itu lebih bersifat hati-hati. Kemungkinan ketiga adalah apabila orang tersebut tidak sanggup membayar kifarat, maka boleh dibayarkan oleh orang lain.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang berjima’ di siang hari bulan Ramadhan, maka ia harus membayar kifarat. Kemudian apabila ia berjima’ lagi di hari yang lain, maka ia juga harus membayar kifarat untuk hari tersebut. Begitu juga apabila ia belum membayar kifarat, maka pembayaran itu adalah berdasarkan berapa hari ia melanggar (berjima’ di siang hari bulan Ramadhan), karena kewajiban dalam satu hari tidak meliputi hari yang sebelumnya.
Imam Syafi’i berkata: Sebagian orang berpendapat bahwa jika seseorang sudah membayar kifarat, kemudian melanggar lagi (berjima’ lagi), maka ia harus membayar kifarat lagi. Tapi jika jima’ yang pertama belum dibayar kifaratnya, kemudian ia berjima’ lagi, maka kifaratnya adalah satu kali saja, karena seluruh Ramadhan itu dihitung satu.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang berjima’ dengan istrinya yang masih kecil dan belum baligh (di siang hari bulan Ramadhan) atau berjima’ dengan binatang, maka kifaratnya adalah satu (untuk dirinya saja). Bahkan walaupun ia berjima’ dengan istrinya yang sudah baligh, maka kifaratnya juga hanya bagi laki-laki tersebut, dan itu sudah mencakup dirinya dan istrinya. Demikian juga denda orang yang berjima’ pada waktu ihram haji atau umrah. Yang demikian itulah yang berdasarkan Sunnah, karena Nabi SAW tidak mengatakan, “Bayarlah kifarat untuk istrimu. ” Begitu juga beliau tidak mengatakan hal itu ketika datang berita adanya orang yang berjima’ ketika berihram haji.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang sedang berpuasa qadha Ramadhan, puasa kifarat atau puasa nadzar, kemudian di siang harinya ia berjima’, maka ia tidak wajib membayar kifarat, tapi ia hanya wajib mengganti puasa tersebut di hari lain, karena puasa di hari tersebut telah rusak (batal).
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang berjima’ dalam keadaan lupa bahwa ia sedang berpuasa Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar kifarat. Apabila ia berjima’ dalam keadaan subhat (ragu-ragu), misalnya ia makan di siang hari bulan Ramadhan karena lupa, kemudian ia menyangka bahwa dirinya sudah membatalkan puasanya lalu ia berjima’ dalam keadaan subhat ini, maka dalam keadaan seperti ini ia tidak wajib membayar kifarat.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang melihat (sesuatu yang merangsang) kemudian ia inzal (keluar air mani) tanpa adanya sentuhan dan kenikmatan, maka puasanya tetap sah dan ia tidak wajib membayar kifarat, karena tidak ada kifarat kecuali bagi orang yang berjima’ di siang hari bulan Ramadhan.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang bercumbu dengan istrinya kemudian inzal, maka puasanya batal dan ia wajib meng-qadha puasa tersebut. Jika ia bercumbu tanpa inzal, maka menurutku ini adalah makruh tapi tidak membatalkan puasanya. Wallahu a ’lam. Jika seseorang menyetubuhi istrinya di duburnya, menyetubuhi hewan atau berbuat liwath (homo), maka puasanya batal dan ia harus membayar kifarat. Ia juga dianggap telah berdosa besar kepada Allah, karena telah melakukan hal yang haram. Akan tetapi sebagian orang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak wajib dikifarati (dibayar dendanya), bahkan ia tidak wajib meng-qadha puasanya kecuali apabila ia inzal. Jika ia inzal, maka ia harus mengqadha puasanya tapi tidak wajib membayar kifarat.
Imam Syafi’i berkata: Termasuk yang tidak membatalkan puasa adalah celak (memberi warna hitam di kelopak mata bagian atas).
Imam Syafi’i berkata: Celak itu tidak membatalkan puasa walaupun mendatangkan dahak (menurut kebiasaan, orang yang banyak memakai celak akan banyak dahaknya—peneij). Dahak itu akan keluar dari daerah kepala dengan pengaruh mata yang dicelak, karena mata itu berhubungan dengan kepala. Tapi dalam hal ini ia tidak sampai ke kepala dan rongga. Saya tidak mengetahui adanya ulama yang memakruhkan celak dan berpendapat bahwa celak itu membatalkan puasa.
Imam Syafi’i berkata: Saya berpendapat bahwa siwak itu hukumnya tidak makruh, baik dengan menggunakan kayu yang basah atau kayu yang kering.
Imam Syafi’i berkata: Hendaklah orang yang sedang berpuasa itu membersihkan mulutnya dari cacian dan makian. Apabila ia dicaci, maka hendaklah ia mengatakan bahwa dirinya sedang berpuasa. Namun jika ia membalas, maka puasanya tidak batal.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang baru saja tiba dari safarnya (bepergian jauh yang dibolehkan untuk tidak berpuasa) dan waktu itu ia tidak berpuasa, kemudian ia mendapati istrinya baru saja suci dari haid (tidak sedang berpuasa Ramadhan) lalu ia berjima’ dengan istrinya, maka dalam hal ini saya berpendapat bahwa ia boleh melakukannya. Begitu juga apabila mereka berdua makan dan minum, karena mereka tidak sedang berpuasa.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang yang sedang berada di penjara tidak mengetahui dengan pasti tentang pergantian bulan, lalu ia menetapkan dalam dirinya bahwa ia sudah memasuki bulan Ramadhan kemudian perkiraannya benar atau meleset sedikit (meleset beberapa hari), lalu ia beipuasa selama sebulan (30 hari), maka puasanya sah walaupun ia sudah berpuasa beberapa hari sebelum datangnya Ramadhan. Tapi ada yang berpendapat bahwa puasa tersebut tidak sah, kecuali bertepatan dengan bulan Ramadhan. Apabila puasanya melebihi bulan Ramadhan, maka kelebihan tersebut dianggap sebagai puasa qadha dari hari-hari Ramadhan yang terlewatkan.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang berada di pagi hari dari harisyak (akhir bulan Sya’ban atau sehari sebelum datangnya Ramadhan, dimana di hari ini haram hukumnya berpuasa—peneij.) dan tidak berniat untuk berpuasa, tapi ia belum makan dan minum sedikitpun, lalu ia mengetahui bahwa ternyata hari itu sudah masuk bulan Ramadhan, kemudian ia berniat dan menyempurnakan puasanya, maka dalam hal ini saya berpendapat bahwa ia harus mengqadha puasanya itu, baik ia mengetahui hal itu sebelum zhuhur atau setelah zhuhur, karena di hari itu ia tidak berniat untuk berpuasa Ramadhan.
Imam Syafi’i berkata: Demikian juga seandainya di pagi hari itu ia berniat untuk puasa tapi puasa yang ia niatkan adalah puasa sunah, maka ia dianggap belum berpuasa Ramadhan. Saya berpendapat bahwa puasa Ramadhan itu tidak sah, kecuali dengan niat puasa Ramadhan. Wallahu a ’lam.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang yang mukim (tidak bepergian) bemiat untuk puasa sebelum fajar, kemudian ia keluar untuk safar (bepergian jauh) setelah fajar, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya di hari itu karena ia telah memasuki hari wajib puasa dalam keadaan mukim (dalam keadaan ia wajib berpuasa). Ar-Rabi’ (murid Imam Syafi’i) berkata: Dalam kitab beliau dan selain kitab ini beliau mengatakan, “Kecuali apabila hadits berikut ini shahih, yaitu Nabi SAW pernah berniat untuk puasa ketika beliau dalam keadaan mukim. Tapi ketika beliau safar dan sampai di daerah yang bernama Kadit (sumber mata air yang berjarak 42 mil dari Makkah dan 7 marhalah dari Madinah), beliau berbuka.”
Imam Syafi’i berkata: Saya katakan bahwa hal itu merupakan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sedang safar. Dalilnya adalah riwayat dari Malik yang mengkhabarkan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (Urwah bin Jubair), dari Aisyah, yang menceritakan bahwa Hamzah bin Amr Al Aslami berkata, “Ya Rasulullah, aku berpuasa ketika aku safar (bepergian jauh).” Hamzah adalah orang yang banyak berpuasa. Lalu Rasulullah SAW bersabda. “Jika engkau mau, maka berpuasalah; tapi jika engkau tidak berpuasa, maka tidak apa-apa.