Istihsan

Tanya: saya setuju dengan Anda, bahwa ijtihad tidak dilakukan kecuali terhadap perkara yang dibutuhkan, dan perkara yang dibutuhkan itu harus berupa substansi yang bisa dicari dengan petunjuk yang diarahkan kepadanya, atau menyerupakan dengan substansi yang ada. Hal ini menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh berpendapat berdasarkan istihsan apabila istihsan bertentangan dengan khabar.

Seorang mujtahid harus berusaha keras menemukan makna khabar kitab dan Sunnah secara tepat, sebagaimana orang yang tidak dapat melihat Baitul Haram harus berupaya keras agar bisa menghadapnya dengan tepat, atau menemukan arahnya dari qiyas.

Seseorang tidak boleh berpendapat apa pun kecuali dengan ijtihad, dan ijtihad berarti mencari kebenaran, sebagaimana yang Anda jelaskan. Lalu apakah Anda membolehkan seseorang melakukan istihsan tanpa qiyas?

Jawab: menurut saya, tidak seorang pun boleh berkata demikian. Yang boleh dikatakan oleh para ulama, berkaitan dengan khabar adalah kewajiban mengikutinya. Namun apabila tidak ditemukan khabar, maka harus dengan qiyas terhadap khabar.

Seandainya boleh mendisfungsikan qiyas, maka setiap orang yang berakal dari luar kalangan ulama boleh berpegang pada istihsan yang berkaitan dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh khabar. Sementara itu, pendapat yang tidak didasari dengan khabar dan qiyas tidak diperbolehkan, sesuai dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya yang saya kemukakan. Termasuk pendapat tentang qiyas.

Tanya: Al Qur’an dan Sunnah memang menunjukkan hal tersebut, karena apabila Nabi SAW memerintahkan ijtihad, maka ijtihad berarti menemukan sesuatu, dan menemukan sesuatu harus dengan dalil-dalil, dan dalil-dalil itu adalah qiyas. Lalu, dimana posisi qiyas di hadapan dalil-dalil, sesuai yang Anda gambarkan?

Jawab: berarti menurut Anda, apabila seseorang hendak membeli budak orang lain, maka mereka tidak berkata kepada orang ketiga, „Taksirlah harga budak ini.‟ Kecuali dia orang yang mengetahui seluk-beluk pasar. Hal itu agar pembeli menentukan harga sesuai yang diberitahukan kepadanya tentang harga budak sejenis pada hari itu. Taksiran harga tersebut dengan meepertimbangkan harga yang lain dan dengan perbandingan (qiyas). Pemilik barang tidak menaksir harga, kecuali ia mengetahui seluk-beluknya.

Seorang ahli fiqih yang adil namun tidak mengetahui harga budak, tidak boleh disuruh menaksir harga budak, dan tidak pula menaksir harga sewa pekerja, karena dikhawatirkan ia akan menetapkan sesuatu tanpa aturan.

Apabila dalam perkara harta yang kecil nilainya dan ringan kesalahannya, berlaku ketentuan demikian, maka apalagi dalam perkara halal dan haram? Pasti tidak boleh diputuskan tanpa aturan dan istihsan. Jadi, istihsan hanya masalah selera.

Tidak ada yang boleh memutuskan perkara halal dan haram selain orang yang mengetahui khabar dan memahami hal-hal yang samar di dalamnya. Apabila demikian ketentuannya, maka seorang ulama tidak boleh berpendapat kecuali dengan didasari pengetahuan dan dasar pengetahuan adalah khabar yang mengikat. Atau dengan qiyas terhadap dalil-dalil secara benar, agar ulama tetap mengikuti khabar dan meneliti khabar dengan qiyas. Sebagaimana seseorang menghadap ke Baitul Haram dengan cara melihat dan berupaya menemukan arahnya dengan berpatokan pada tanda-tanda.

Seandainya seorang ulama menyatakan pendapat tanpa berpegang pada khabar yang mengikat dan qiyas, maka ia lebih dekat kepada dosa daripada orang yang bukan ulama, karena perkataan seseorang yang bukan ulama tidak mengikat.

Allah SWT tidak memberi kewenangan kepada seseorang sesudah Rasulullah SAW untuk berkata sesuatu kecuali dengan didasari pengetahuan yang telah ada sebelumnya, dan sumber pengetahuan adalah Al Qur’an, Sunnah, ijma, atsar, serta qiyas, dan qiyas hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki pirantinya, yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum di dalam Al Qur’an, kewajibannya, sastranya, nasikh dan mansukh, makna umum dan khusus, serta petunjuk-petunjuknya. Selain itu, ia harus bisa membuktikan takwil yang terkandung di dalamnya dengan Sunnah Rasulullah SAW. Apabila ia tidak menemukan Sunnah, maka dengan ijma umat Islam, dan apabila tidak ada ijma, maka dengan qiyas.

Seseorang tidak boleh melakukan qiyas sebelum mengetahui Sunnah-Sunnah sebelumnya, pendapat ulama pendahulu, ijma umat, perbedaan pendapat mereka, dan bahasa Arab. Ia juga tidak boleh melakukan qiyas kecuali ia sehat akalnya, bisa membedakan hal-hal yang samar, dan tidak buru-buru melansir pendapatnya sebelum memastikan.

Ia tidak boleh menolak mendengar dari orang yang berbeda pendapat dengannya, karena terkadang ia menyadari kekeliruannya setelah mendengar pendapat orang lain, serta semakin memastikan apa yang diyakininya benar.

Dalam hal ini, ia harus mengerahkan puncak tenaga dan bersikap objektif, agar ia tahu dasar dari pendapatnya atau dasar dari tindakannya meninggalkan suatu pendapat. Ia tidak boleh hanya memperhatikan pendapatnya, agar dapat mengetahui kelebihan pendapat yang dipegangnya daripada pendapat yang ditinggalkannya.

Adapun orang yang sempurna akalnya (sangat cerdas) tetapi tidak mengetahui apa yang saya jelaskan, tidak boleh melakukan qiyas, karena ia tidak mengetahui dasar qiyas-nya. Sebagaimana seorang ulama fiqih tidak boleh berbicara tentang harga dirham jika tidak punya pengalaman tentang pasar dirham.

Barangsiapa mengetahui apa yang saya jelaskan dengan hafalan, bulan dengan pemahaman yang sebenarnya, maka ia juga tidak boleh melakukan qiyas, karena bisa jadi ia tidak memahami makna dan alasan. Seandainya ia seorang penghafal namun tidak cerdas, atau kurang menguasai bahasa Arab, maka ia tidak boleh melakukan qiyas, karena ia tidak memiliki piranti intelektual yang membolehkannya melakukan qiyas. Kami katakan, orang seperti ini tidak mempunyai kewenangan untuk melansir pendapat kecuali secara ittiba (mengikuti), bukan secara qiyas.

Tanya: sebutkan sebagian khabar yang Anda jadikan acuan qiyas, dan bagaimana Anda melakukan qiyas?

Jawab: di dalam setiap hukum Allah SWT atau hukum Rasul-Nya, pasti ditemukan suatu petunjuk. Begitu juga di dalam hukum yang lain, yang dibuat karena suatu alasan. Lalu terjadilah satu kasus baru yang tidak ada nash (ketetapan) hukumnya, sehingga hukum kasus baru tersebut disamakan dengan hukum kasus yang telah ditetapkan hukumnya, apabila kasus baru tersebut semakna dengan kasus yang lama.

Qiyas ada bermacam-macam, namun intinya sama. Ia berbeda dari segi pangkalnya, atau sumbernya, atau keduanya, atau sebagiannya lebih jelas daripada sebagian yang lain.

Qiyas yang paling kuat adalah di dalam Kitab-Nya atau Rasulullah SAW di dalam Sunnahnya mengharamkan sesuatu dalam jumlah yang sedikit. Dari sini diketahui bahwa apabila sesuatu dalam jumlah yang sedikit diharamkan, maka sesuatu tersebut dalam jumlah banyak juga diharamkan, atau lebih diharamkan. Begitu juga apabila perbuatan taat yang ringang dipuji, maka berlebih lagi perbuatan taat yang lebih besar, pasti lebih patut dipuji. Begitu juga apabila Allah SWT membolehkan sesuatu dalam jumlah banyak, maka sesuatu dalam jumlah lebih sedikit pasti lebih pantas untuk dibolehkan.

Tanya: maukah Anda menjelaskan sedikit tentang setiap hal tadi, agar semakin jelas maknanya?

Jawab: Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan darah dan harta orang mukmin, serta persangkaan terhadapnya, kecuali persangkaan yang baik.”

Apabila Allah SWT mengharamkan persangkaan yang tidak baik terhadap seorang mukmin, maka perbuatan yang lebih besar dari persangkaan (yaitu terang-terangan mengatakan sesuatu yang tidak benar) lebih patut diharamkan. Bila lebih dari itu maka ia lebih diharamkan.

Allah SWT berfirman:

فَمَنۡ يَّعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرًا يَّرَهٗ

وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az Zalzalah [99]: 7-8)

Jadi, kebaikan yang lebih besar daripada Dzarrah (biji sawi) pasti lebih terpuji, dan dosa yang lebih besar daripada dzarrah pasti lebih berat hukumannya.

Allah SWT telah menghalalkan bagi kita darah serta harta orang kafir yang memerangi kita dan tidak memiliki perjanjian damai dengan kita. Allah SWT tidak mengecualikan dalam larangan-Nya pada sebagian (fisik dan kepemilikkan) orang-orang kafir itu. Oleh karena itu, menganiaya fisik bukan membunuh lebih dibolehkan.

Sementara itu, ulama menolak menamai metode ini sebagai qiyas. Mereka berkata: “inilah makna dari sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan Allah SWT, dipuji dan dicela-Nya, karena ia tercakup dalam makna itu. Jadi, ia merupakan esensi hukum itu sendiri, bukan qiyas terhadap selainnya. Ia juga berpendapat sama dalam masalah selain ini, yaitu yang memiliki makna halal dan haram.

Ia juga menolak menyebut qiyas, kecuali terhadap sesuatu yang dimungkinkan bisa diserupakan dengan sesuatu yang dimungkinkan mengandung keserupaan pada dua makna yang berbeda. Jadi, ia mengqiyaskannya kepada salah satu dari dua makna tersebut, bukan kepada yang lain.

Ulama lain berkata: „apa pun yang bukan nash Al Qur’an atau Sunnah, namun memiliki alasan yang sama dengan nash, disebut qiyas.‟

Tanya: sebutkan sebagian bentuk qiyas yang menunjukkan perbedaannya dari segi pernyataan, sebab dan argumennya selain qiyas yang pertama ini, yang memang telah diketahui secara umum!

Jawab: Allah SWT berfirman:

وَالۡوَالِدٰتُ يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ‌ لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ‌ ؕ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌ؕ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

وَاِنۡ اَرَدْتُّمۡ اَنۡ تَسۡتَرۡضِعُوۡٓا اَوۡلَادَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ اِذَا سَلَّمۡتُمۡ مَّآ اٰتَيۡتُمۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌ؕ

dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

Rasulullah SAW memerintahkan Hindun binti Utbah untuk mengambil sebagian harta suaminya (Abu Sufyan) dalam ukuran yang cukup untuknya dan anaknya menurut cara yang patut, tanpa ada perintah dari suaminya.

Al Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya menunjukkan bahwa ayah berkewajiban atas persusuan anaknya dan nafkah mereka di waktu kecil. Anak berasal dari ayah, sehingga sang ayah dibebani memenuhi keperluan anak dalam kondisi dimana si anak tidak bisa mencukupi kebutuhannya.

Menurut saya, apabila sang ayah tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, maka anaknya waktu memberinya nafkah, berdasarkan qiyas terhadap hak anak. Hal itu karena anak berasal dari ayah, sehingga anak tidak boleh menyia-nyiakan sang ayah, sebagaimana sang ayah tidak boleh menyia-nyiakan sang anak. Begitu juga, kaum ayah hingga ke (generasi) atas dan anak hingga ke (generasi) bawah, semuanya tercakup dalam makna ini.

Oleh karena itu, saya katakan bahwa seseorang yang kaya memberi nafkah kepada kerabatnya yang membutuhkan dan tidak bekerja, dan yang terakhir ini berhak atas nafkah dari yang kaya serta bekerja.

Rasulullah SAW menetapkan perkara jual beli seorang budak, yang penjualnya menyembunyikan cacatnya, namun cacat tersebut tampak setelah pembeli mendayagunakannya, bahwa pembeli tersebut boleh mengembalikan budak karena aib, dan ia tetap berhak mendapatkan keuntungan (manfaat) budak, karena dialah yang menanggung kerugian atas budak itu sesudah pembelian.

Manfaat atas keuntungan itu tidak dihitung dalam tansaksi jual beli, sehingga dapat mengurangi harga budak, dan keuntungan diperoleh saat budak dalam kepemilikan pembeli, yang jika budak itu mati maka ia mati sebagai harta milik pembeli. Jadi, Rasulullah SAW memberikan hasil atau keuntungan itu kepada si pembeli, karena keuntungan itu diperoleh saat budak itu dalam kepemilikan dan tanggungjawabnya. Demikian pula pendapat kami mengenai buah kurma, hewan ternak, anak budak perempuan, dan setiap sesuatu yang muncul saat berada dalam kepemilikan serta tanggu jawab pembeli. Begitu juga dengan persetubuhan terhadap budak perempuan yang pernah menikah serta pelayanannya.

Tanya: sebagian sahabat kami dan selain mereka, berbeda dengan kami dalam masalah ini. Sementara itu, ada ulama yang mengatakan bahwa keuntungan, pelayanan dan kesenangan selain persetubuhan yang diperoleh dari budak laki-laki dan perempuan, kepunyaan pemilik yang membelinya, dan ia boleh mengembalikan budak wanita apabila ditemukan cacat padanya.

Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa ia tidak berhak mengembalikan budak wanita setelah menyetubuhinya, meskipun budak itu pernah menikah. Pembeli juga tidak berhak atas buah pohon kurma, hewan ternak (susu dan bulunya), dan anak yang dilahirkan budak perempuan, karena semua itu – hewan ternak, budak perempuan, pohon kurma, dan penghasilan tidak sama dengan budak laki-laki.

Jawab: kepada sebagian ulama yang berpendapat demikian saya katakan: „bagaimana mungkin Anda mengatakan bahwa penghasilan itu bukan berasal dari budak laki-laki, sementara buah itu berasal dari pohon, dan anak itu berasal dari budak perempuan? Tidakkah keduanya sama-sama dihasilkan saat dalam kepemilikan pembeli, namun tidak disebutkan dalam transaksi?

Tanya: benar, tetapi keduanya berbeda, karena apa yang sampai ke tangan tuan dari keduanya berbeda. Buah kurma berasal dari pohon kurma, dan anak budak perempuan atau hewan ternak juga demikian. Sementara penghasilan budak itu bukan berasal dari tuannya, tetapi ia bekerja lalu memperoleh hasil.

Jawab: andaikan seseorang berdebat denganmu dengan argumen seperti argumenmu, lalu ia berkata: „Nabi SAW menetapkan bahwa penghasilan diperoleh atas dasar tanggung jawab, sementara penghasilan itu diperoleh dengan usaha seperti yang Anda sebutkan. Usaha ini menyita waktunya sehingga tidak bisa melayani tuannya, maka sang tuan mengambil penghasilan kerjanya sebagai ganti dari pelayanan dan biaya hidup yang diberikan kepada budaknya. Tetapi jika budak itu memperoleh hibah (pemberian) yang tidak menyita waktunya untuk melayani tuannya, maka apakah menurutmu hibah itu bukan milik pemilik

budak yang terakhir, dan harus dikembalikan kepada pemilik yang pertama?”

Tanya: tidak, tetapi ia milik majikan yang terakhir, karena hibah itu diterima saat budak berada dalam kepemilikannya.

Jawab: yang ini bukan termasuk hasil atau keuntungan.

Tanya: meskipun demikian. Itu bukan berasal dari budak itu.

Jawab: tetapi ia berbeda dengan makna hasil atau keuntungan karena tidak diperoleh dari kerja?

Tanya: meskipun ia bukan keuntungan, namun ia diperoleh saat berada dalam kepemilikan pembeli.

Jawab: begitu juga dengan buah-buahan, dan hasil kerja itu diperoleh saat dalam kepemilikan pembeli. Apabila buah telah terlepas dari pohon kurma, maka ia tidak lagi menjadi bagian dari pohon kurma, karena bisa jadi buahnya itu dijual, namun tidak disertai dengan pohonnya. Atau sebaliknya, pohon kurma dijual tetapi tidak diikuti dengan buahnya. Begitu juga dengan keuntungan hewan ternak, lebih pantas dikembalikan bersama dengan budak, karena terkadang dipaksakan memetik buah pohon kurma jika boleh mengembalikan salah satunya.

Sebagian sahabat kami sependapat dengan kami dalam mslh keuntungan, persetubuhan dengan budak perempuan yang telah menikah, dan buah pohon kurma, namun menerima  bertentangan dengan kami dalam masalah anak dari budak perempuan yang belum pernah menikah. Padahal semua itu sama, karena seluruhnya terjadi saat dalam kepemilikan pembeli. Tidak ada ketentuan yang konsisten di dalam qiyas selain ketentuan ini. Bila Anda tidak menerima, maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa selain keuntungan dan pelayanan. Pembeli tidak berhak atas hibah budak, atau barang temuannya, atau harta karun yang diperolehnya, selain keuntungan dan pelayanan. Dalam kasus lain, pembeli tidak berhak atas buah pohon kurma, susu hewan ternak dan lain-lain, karena semua ini bukan termasuk keuntungan.

Rasulullah SAW melarang jual beli emas dengan emas, kurma kering dengan kurma kering, gandum dengan gandum, kecuali dengan kualitas dan takaran yang sama secara kontan.

Rasulullah SAW mengeluarkan aturan terkait jenis-jenis makanan yang kebanyakan orang pelit, hingga menjualnya secara takaran ini karena dua alasan:

  1. Suatu makanan dijual dengan makanan serupa, tetapi yang satu tunai dan yang lain
  2. Dilebihkannya takaran salah satunya dalam jual beli kontan.

Demikianlah aturan Rasulullah SAW, maka jual beli apa pun yang semakna dengan itu, diharamkan berdasarkan qiyas terhadap aturan tersebut.

Aturan tersebut mencakup setiap makanan yang dijual dengan timbangan, karena menurut saya maknanya sama, yaitu sama- sama dimakan dan diminum (sesuatu yang diminum sama artinya dengan sesuatu yang dimakan), karena bagi manusia, seluruhnya mrpk makanan pokok, atau makanan tambahan, atau kedua-duanya. Saya mendapati manusia sangat pelit dengannya hingga mereka menjualnya dengan timbangan yang lebih detil daripada takaran, dan ia memang sama artinya dengan takaran. Hal itu sama seperti madu, samin, minyak, gula, dan lain-lain yang biasa dimakan dan diminum, serta dijualbelikan dengan timbangan.

Tanya: apakah sesuatu yang dijual dengan timbangan dimungkinkan untuk di-qiyas-kan terhadap timbangan emas dan perak, sehingga qiyas timbangan kepada timbangan itu lebih tepat daripada qiyas timbangan dengan takaran.

Jawab: yang menghalangi kami untuk meng-qiyas-kan timbangan dengan timbangan adalah, qiyas yang benar adalah jika Anda meng-qiyas-kan sesuatu dengan sesuatu yang lain maka Anda menghukumi yang pertama dengan hukum yang kedua. Seandainya Anda meng-qiyas-kan madu dan samin dengan dinar dan dirham, sedangkan Anda mengharamkan kelebihan pada sebagiannya, tidak pada sebagian yang lain jika sama jenisnya berdasarkan qiyas terhadap dinar dan dirham, maka apk boleh membeli madu dan samin yang diserahkan secara tempo dengan dinar dan dirham yang diserahkan secara kontan?

Tanya: boleh, karena umat Islam membolehkannya.

Jawab: kalau begitu, pernyataan boleh dari umat Islam itu memberi petunjuk bahwa itu bukan qiyas, karena seandainya qiyas, maka hukum madu dan minyak samin sama dengan hukum dinar dan dirham, sehingga hanya boleh dijualbelikan secara kontan, sebagaimana dinar hanya boleh dijual dengan dirham secara kontan.

Tanya: saat Anda mengqiyaskan timbangan dengan takaran, apakah Anda menerapkan hukum takaran pada timbangan?

Jawab: ya. Saya sama sekali tidak membedakannya dalam hal apa pun.

Tanya: tidakkah Anda boleh membeli satu mudd gandum yang diserahkan secara kontan dengan tiga rithl minyak yang diserahkan secara tempo?

Jawab: makanan ini dan jenis makanan lain tidak boleh dibeli secara tempo dengan sesuatu yang tidak sejenis. Hukum makanan yang ditakar sama seperti hukum makanan yang ditimbang.

Tanya: bagaimana pendapat Anda tentang dinar dan dirham?

Jawab: ia diharamkan pada dirinya. Tidak ada suatu makanan yang bisa diqiyaskan terhadapnya, karena tidak semakna dengannya. Sementara itu, makanan yang ditakar diharamkan pada dirinya. Yang bisa diqiyaskan terhadapnya adalah makanan yang ditakar dan ditimbang, karena semakna dengannya.

Tanya: kalau begitu sebutkan perbedaannya dengan dinar dan dirham.

Jawab: saya tidak menemukan seorang ulama pun yang berbeda pendapat dalam kebolehan menggunakan dinar dan dirham untuk membeli makanan yang ditakar dan yang ditimbang secara tempo, sedangkan dinar tidak boleh dibeli dengan dirham secara tempo. Saya tidak menemukan seorang ulama pun yang berbeda pendapat bahwa jika saya menemukan pertambangan lalu saya membayarkan kewajiban atas hasil eksploitasinya, dan emas atau perak yang berasal dari pertambangan itu ada pada saya selama setahun, maka saya wajib membayar zakatnya setiap tahun. Tetapi, jika saya memaneh hasil ladang saya lalu mengeluarkan zakatnya sebanyak 1/10, lalu hasil bumi itu saya simpan selama setahun, maka saya tidak wajib membayar zakatnya lagi. Selain itu, seandainya saya mengkonsumsi sesuatu milik seseorang, maka sesuatu itu dinilai dengan dinar atau dirham, krnbagi itu harga yang berlaku untuk setiap harta seorang muslim, kecuali diyat, karena ia harus dibayar dengan unta.

Tanya: itu benar.

Jawab: tetapi ada beberapa hal kecil yang berbeda dari penggambaran saya kepada Anda.

Saya menemukan hal umum di kalangan ulama, bahwa Rasulullah SAW memutuskan perkara pembunuhan seorang muslim merdeka terhadap seorang muslim merdeka secara tidak sengaja dengan denda 100 unta, dan denda ini ditanggung oleh ‟aqilah. Saya juga menemukan hal umum di kalangan ulama bahwa diyat tersebut bisa dibayar selama tiga tahun, yang pada setiap tahun dibayar sepertiganya.

Hal itu menunjukkan beberapa makna qiyas. Saya akan menyebutkan sebagiannya yang terlintas dalam pikiran.

Sesungguhnya kami mendapati hal umum di kalangan ulama, bahwa jika seorang muslim merdeka melakukan jinayah (pelanggaran atau kejahatan) secara sengaja, atau merusak harta seseorang, maka dendanya dibayar dari hartanya sendiri. Tetapi jika jinayah dilakukan dengan tidak sengaja, maka diyatnya ditanggung kerabatnya.

Kami mendapati para ulama sepakat bahwa ‟aqilah menanggung sepertiga atau lebih dari nilai diyat jinayah yang mengakibatkan luka-luka. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai pembayaran kurang dari sepertiga. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa ‟aqilah membayar diyat maudhihah168 sebesar seperlima atau lebih, dan tidak wajib membayar diyat atas jinayah yang kurang dari itu.169 Sebagian lagi berpendapat bahwa ‟aqilah membayar seperlima, dan tidak wajib membayar atas perbuatan yang belum bisa dikategorikan sebagai diyat.

Terhadap mereka ini saya tanyakan, „apakah qiyas terhadap Sunnah bisa dibenarkan kecuali dengan salah satu dari dua cara?‟

Tanya: apa itu?

Jawab: pertama, ketika Nabi SAW menetapkan diyat  ditanggung „aqilah, saya mengikutinya. Tetapi, jika dendan itu berada di bawah kategori diyat, maka dendanya diambil dari harta pelaku jinayah. Anda tidak boleh mengqiyaskan selain diyat kepada diyat, karena pada prinsipnya pelaku jinayah lebih pantas membayar denda atas jinayah-nya daripada orang lain, sebagaimana ia membayar denda jinayah akibat melukai seseorang secara tidak sengaja. Allah SWT mewajibkan diyat dan pembebasan budak terhadap orang yang membunung secara tidak sengaja. Oleh karena itu, saya mengklaim bahwa pembebasan budak itu diambil dari hartanya, karena termasuk jinayah-nya. Saya mengeluarkan diyat dari ketentuan ini karena mengikuti Sunnah. Saya juga mengikuti Sunnah dalam masalah diyat, dan melimpahkan denda yang tidak termasuk diyat kepada hartanya sendiri, karena dialah yang paling pantas menebus jinayah-nya  daripada  orang  lain.  Sebagaimana pendapat saya tentang mengusap khuff saat wudhu, bahwa itu merupakan bentuk keringanan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW, namun saya tidak mengqiyaskan perkara lain dengannya.

Tanya: bagaimana dengan cara yang kedua?

Jawab: Rasulullah SAW membedakan antara jinayah terhadap jiwa secara tidak sengaja, jinayah terhadap selain jiwa, dan jinayah terhadap jiwa secara sengaja. Rasulullah SAW menetapkan bahwa ‘aqilah menanggung diyat yang pertama, dan itulah yang paling besar.

Oleh karena itu, saya menetapkan bahwa ‘aqilah menanggung denda jinayah yang lebih sedikit daripada jinayah secara tidak sengaja, karena yang lebih kecil pasti lebih patut mereka tanggung daripada yang lebih banyak, atau yang semakna dengannya.

Tanya: ini merupakan salah satu dari dua pendekatan yang paling patut dijadikan sebagai dasar qiyas, dan itu tidak serupa dengan mengusap khuff.

Jawab: benar, seperti yang Anda katakan. Ulama sepakat bahwa ‘aqilah menanggung sepertiga atau lebih, dan ijma mereka menjadi dalil bahwa mereka telah mengqiyaskan denda yang lebih ringan daripada diyat dengan diyat!

Tanya: benar.

Jawab: sahabat kami berkata: „pendapat terbaik yang saya dengar adalah, ‘aqilah membayar sepertiga diyat atau lebih. Ia menuturkan bahwa ia menerima pendapat tersebut.

Bagaimana pendapat Anda jika seseorang mengkritiknya dengan 2 argumen?

Tanya: apa itu?

Jawab: saya dan Anda sepakat bahwa ‘aqilah membayar sepertiga atau lebih, tetapi kita berbeda pendapat mengenai yang lebih sedikit dari itu. Argumen tegak hanya lantaran kesepakatan saya dengan Anda mengenai jumlah sepertiga, tetapi Anda tidak memiliki khabar mengenai jumlah yang kurang darinya. Apa yang akan Anda katakan terhadapnya?

Tanya: saya katakan, „kesepakatanku tidak dengan cara yang Anda tempuh. Kesepakatanku adalah qiyas bahwa apabila ‘aqilah membayar sepertiga, maka mereka juga harus menanggung jumlah yang kurang darinya. Lalu siapa yang menetapkan jumlah sepertiga kepadamu? Bagaimana pendapat Anda jika orang lain berkata kepada Anda, „tidak, yang benar adalah ‘aqilah menanggung 90%, dan ia tidak menanggung yang lebih kecil dari itu?

Jawab: jika ia berkata kepada Anda, „karena sepertiga itu memberatkan orang yang membayarnya.‟ Maka saya katakan bahwa ia dibantu dalam pembayarannya atau ditanggung seluruhnya. Bila jumlahnya sedikit dan ia tidak keberatan maka ia tidak ditanggung.

Tanya: bagaimana pendapat Anda mengenai orang yang hanya memiliki 2 dirham? Tidakkah ia akan merasa keberatan untuk membayar denda sepertiga diyat, atau bahkan hanya 1 dirham? Menurut Anda, apakah orang yang punya kekayaan berlimpah boleh keberatan membayar sepertiga dari nilai diyat?

Jawab: bagaimana pendapat Anda seandainya seseorang berkata kepada Anda, „sahabat kami, tidak berkata kepada Anda kami menerima pendapat ini kecuali karena pendapat tersebut memang telah disepakati di Madinah?

Tanya: pendapat yang disepakati di Madinah lebih kuat daripada khabar ahad? Bagaimana mungkin ia memaksakan diri menuturkan kepada kita khabar yang lebih lemah daripada khabar ahad, sementara ia menolak menuturkan kepada kita khabar yang lebih kuat dan mengikat daripada pendapat yang disepakati?

Jawab: jika seseorang berkata kepada Anda, „karena kurangnya pengalaman dan terlalu banyaknya ijma untuk dituturkan‟ dan Anda terkadang berbuat seperti ini, maka Anda akan berkata,„ini perkara yang telah disepakati‟.

Tanya: saya dan ulama manapun tidak menyatakan „perkara ini disepakati‟ kecuali perkara tersebut dinyatakan dan dituturkan setiap ulama yang Anda jumpai dari ulama sebelumnya. Antara lain dalam hal shalat Zhuhur 4 rakaat, khamer hukumnya haram, dan hal-hal serupa. Terkadang saya mendapati seorang ulama berkata „perkara ini telah disepakati‟, namun ternyata banyak ulama dari berbagai negeri yang tidak sepakat.

Jawab: Anda terikat dengan pendapat Anda bahwa ‘aqilah tidak membayar denda atas kejahatan yang tingkatannya di bawah maudhihah, sebagaimana ia terikat pendapatnya mengenai pembayaran denda sepertiga.

Tanya: pendapat saya beralasan, karena Rasulullah SAW tidak memutuskan apa pun hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan yang tingkatnya di bawah maudhihah.

Jawab: seandainya seorang mengkritik Anda, „saya tidak membuat keputusan menyangkut kejahatan yang tingkatannya di bawah maudhihah, karena Rasulullah SAW tidak memutuskan apa-apa di dalamnya? Maka apa tanggapan Anda?

Tanya: ia tidak boleh berbuat demikian. Meskipun Rasulullah SAW tidak membuat keputusan menyangkut kejahatan yang tingkatannya di bawah maudhihah, namun beliau tidak mengabaikan kejahatan di bawahnya yang mengakibatkan luka- luka.

Jawab: begitu juga bila Rasulullah SAW tidak mengatakan bahwa ‘aqilah tidak membayar denda terhadap kejahatan yang tingkatannya di bawah maudhihah, itu bukan berarti beliau mengharamkannya. Jika Rasulullah SAW membuat keputusan dalam perkara maudhihah namun bukan perkara yang berada di bawah tingkatannya, maka hal itu tidak menghalangi keluarga pelaku untuk membayar denda yang lebih rendah. Apabila keluarga pelaku membayar denda yang lebih banyak, maka ia juga membayar denda yang lebih sedikit, sebagaimana yang kami dan Anda katakan kepada sahabat kami. Jika Anda boleh berkata demikian kepada seseorang, maka ia juga boleh berkata demikian kepada Anda Seandainya Nabi SAW menetapkan denda separuh dari sepersepuluh pada ‘aqilah, maka bolehkan seseorang mengatakan bahwa ‘aqilah membayar separuh dari sepersepuluh atau diyat utuh, namun tidak membayar jumlah di antara keduanya, tetapi diambil dari harta pelaku? Tetapi, tidak seorang pun boleh mengatakan demikian. Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah seluruh jinayah yang tanpa sengaja dendanya ditanggung oleh ‘aqilah meskipun satu dirham.

Sebagian sahabat kami berkata: „apabila orang yang merdeka melakukan jinayah terhadap seorang budak sehingga menghilangkan nyawanya, atau tidak sampai demikian, maka dendanya diambil dari harta pelaku, bukan dari ‘aqilah dan Al Qur’an tidak membayar denda terhadap budak.

Jadi, kami katakan bahwa itu adalah jinayah orang merdeka. Dikarenakan Rasulullah SAW menetapkan bahwa ‘aqilah orang merdeka memikul denda jinayah-nya terhadap orang merdeka, apabila jinayah dilakukan secara tidak sengaja, maka begitu pula dengan denda jinayah orang merdeka terhadap budak apabila dilakukan secara tidak sengaja.

Anda sependapat dengan kami dalam masalah ini. Anda katakan, “barangsiapa berpendapat bahwa ‘aqilah tidak membayar denda kepada budak, maka pendapat itu mengandung kemungkinan bahwa ‘aqilah juga tidak menanggung jinayah yang dilakukan oleh seorang budak, karena ia berada dalam kekuasaan tuannya.‟ Apakah Anda sependapat dengan kami dan menganggap argumen saya ini benar dan tercakup dalam makna Sunnah?

Tanya: Ya.

Jawab: sahabat Anda dan sahabat kami mengatakan bahwa denda akibat melukai seorang budak diukur menurut nilai harga budak itu, sama seperti denda melukai seorang merdeka, yang diukur menurut nilai diyatnya. Denda jual beli terhadap mata budak adalah separuh dari harganya, dan denda kasus maudhihah adlah seperduapuluh harganya. Anda berbeda pendapat dengan kami dalam masalah ini, dan Anda katakan bahwa denda melukai budak adalah sebesar penyusutan harganya.

Tanya: saya ingin menanyakan argumen Anda mengenai pendapat denda melukai budak diukur dengan nilai diyatnya. Anda berpendapat demikian berdasarkan khabar atau qiyas?

Jawab: khabarnya bersumber dari Said bin Musayyab.

Tanya: bisakah Anda menyebutkannya?

Jawab: Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Sa‟id bin Musayyab, ia berkata, „Denda untuk budak diukur menurut harganya.‟ Saya sering mendengar hal ini darinya. Barangkali ia pernah berkata, „sama seperti denda untuk orang merdeka diukur menurut diyatnya.

Tanya: yang saya tanyakan adalah khabar yang menguatkan argumen Anda.

Jawab: saya telah kemukakan kepada Anda bahwa saya tidak mengetahui khabar tentangnya dari seorang pun yang lebih tinggi dibanding dari Sa‟id bin Musayyab.

Tanya: tetapi ucapannya itu tidak mengandung argumen.

Jawab: saya tidak mendakwakan sesuatu yang perlu Anda bantah!

Tanya: kalau begitu, jelaskan argumennya?

Jawab: argumennya adalah qiyas terhadap jinayah atas orang merdeka.

Tanya: terkadang orang merdeka berbeda dari budak, yaitu  diyat orang merdeka telah ditentukan nilainya, sementara diyat budak disesuaikan dengan harganya. Jadi, ia lebih menyerupai dagangan, seperti unta dan hewan tunggangan, karena sama- sama memiliki harga.

Jawab: ini justru menjadi argumen yang mematahkan Anda dari orang yang berkata, “’aqilah tidak membayar denda sesuai harga budak.”

Tanya: darimana Anda melihatnya?

Jawab: ia berkata kepada Anda, „Mengapa Anda mengatakan bahwa ‘aqilah membayar denda sesuai harga budak apabila seorang merdeka melakukan jinayah terhadapnya, padahal  budak bagimu sama seperti harga? Seandainya seorang merdeka melakukan jinayah terhadap unta, apakah ia membayar denda dari hartanya?

Tanya: tetapi budak itu jiwa yang dihormati!

Jawab: bukankah unta juga jiwa yang dihormati dan diharamkan membunuhnya?

Tanya: tapi tidak seperti kehormatan seorang mukmin.

Jawab: dia akan mengatakan kepada Anda bahwa kehormatan budak tidak seperti kehormatan orang merdeka dalam setiap perkaranya. Jadi, bagi Anda budak sama seperti orang merdeka

dari sudut ini. Oleh karena itu, apakah ‘aqilah harus membayar dendanya?

Tanya: Ya.

Jawab: Bukankah Allah SWT menetapkan diyat dan pembebasan budak dalam kasus pembunuhan seorang mukmin secara tidak sengaja?

Tanya: Ya.

Jawab: Apakah Anda mengklaim bahwa memerdekakan budak masuk dalam kategori denda untuk budak –selain harga-, sama seperti denda untuk orang merdeka, dan denda senilai harga itu sama seperti diyat?

Tanya: Ya.

Jawab: Apakah Anda mengklaim bahwa Anda menjatuhkan hukuman mati pada orang merdeka karena membunuh budak?

Tanya: Ya.

Jawab: Kami mengklaim bahwa seorang budak dihukum mati bila terbukti membunuh budak lain. Bagaimana pendapat Anda?

Tanya: Kami sependapat.

Jawab: kalau begitu, menurut kita budak itu sama dengan orang merdeka dari aspek ini, yaitu bahwa di antara sesama budak itu terdapat qiyas dalam kasus pelukaan (melukai). Di sisi lain, budak sama dengan unta dalam arti diyatnya sesuai harganya. Lalu, bagaimana bisa Anda memilih untuk menyamakan antara budak dengan unta dalam kasus pelukaan? Mengapa Anda tidak menetapkan denda pelukaan terhadap orang merdeka sesuai dengan diyat? Padahal budak itu memiliki kesamaan dengan orang merdeka dalam 5 aspek, dan berbeda darinya hanya dalam 1 aspek? Tidakkah lebih baik Anda mengqiyaskan budak dengan orang merdeka yang memiliki kesamaan lebih banyak (5 aspek), daripada mengqiyaskan dengan unta yang hanya memiliki satu kesamaan dengannya? Selain itu, budak memiliki kesamaan dengan orang merdeka dalam lebih banyak aspek, yaitu: apakah yang diharamkan bagi orang merdeka juga diharamkan bagi budak, dan budak memikul kewajiban hadd, shalat, puasa, dan kewajiban-kewajiban lainnya? Budak tidak bisa dibandingkan dengan binatang sama sekali!

Tanya: menurut saya, diyatnya budak adalah sebesar harganya.

Jawab: Anda telah berpendapat bahwa diyat atas seorang  wanita adalah separuh dari diyat atas seorang  laki-laki. Bukankah hal itu tidak menghalangi bahwa denda atas tindakan melukai wanita diukur menurut diyatnya, sebagaimana denda atas tindakan melukai laki-laki diukur menurut diyatnya?

Apabila diyat dalam tiga tahun dibayar dengan unta, tidakkah menurutmu unta itu bisa dianggap sebagai utang? Lalu bagaimana Anda menolak pendapat bahwa unta itu bisa dibeli secara tempo? Apakah Anda tidak mengqiyaskan kepada diyat, mukatabah (budak yang mencicil biaya pembebasan dirinya), dan mahar, sedangkan di dalam semua perkara ini Anda membolehkan qiyas dan nash hadits dari Nabi SAW, bahwa beliau pernah meminjam unta lalu beliau menyuruh membayarnya sesudah itu?

Tanya: Ibnu Mas‟ud menolak transaksi semacam ini.

Jawab: apakah ada seseorang yang memiliki otoritas yang sama dengan Nabi SAW?

Tanya: tidak, jika hadits yang datang dari Nabi SAW benar-benar autentik.

Jawab: diriwayatkan secara autentik (shahih) bahwa beliau meminjam unta dan membayarnya dengan yang lebih baik. Diriwayatkan pula secara autentik menurut kami dan Anda tentang masalah diyat. Ketentuan ini berkedudukan sebagai Sunnah.

Tanya: lalu, mana khabar yang dijadikan dasar qiyas?

Jawab: Malik mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasar, dari Abu Rafi‟, ia berkata: “Nabi SAW pernah meminjam seekor unta dari seseorang. Lalu beliau menerima beberapa unta. Setelah itu beliau menyuruhku membayar utangnya kepada orang tersebut. Saya katakan, „saya menemukan semua unta bagus adanya‟. Nabi SAW bersabda:

Berikan unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utang.‟171

Tanya: lalu, khabar apa yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar qiyas?

Jawab: setiap sesuatu yang telah diredaksikan hukumnya oleh Allah SWT, lalu Rasulullah SAW menetapkan keringanan dalam sebagian kewajiban. Keringanan tersebut diberlakukan pada perkara yang memang diberi keringanan oleh Rasulullah SAW, bukan pada perkara yang lain, maka perkara yang lian tidak boleh diqiyaskan terhadapnya. Demikian pula jika  Rasulullah SAW menetapkan hukum umum terhadap sesuatu, lalu beliau menetapkan satu Sunnah yang berbeda dengan hukum umum tersebut.

Tanya: apa contohnya?

Jawab: Allah SWT mewajibkan wudhu bagi orang yang bangun tidur untuk shalat. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Di dalam ayat tersebut Allah SWT mewajibkan membasuh kedua kaki, sebagaimana anggota wudhu lainnya.

Ketika Nabi SAW mengusap khuff (sebagai ganti membasuh kaki), kata tidak boleh mengusap serban, kerudung, atau sarung tangan, dengan cara mengqiyaskan kepada khuff. Kami menetapkan kewajiban dalam membasuh seluruh anggota wudhu, dan kami menetapkan keringanan untuk mengusap khuff karena Nabi SAW melakukannya, bukan untuk hal lainnya.

Tanya: apakah Anda menganggap hal ini bertentangan dengan Al Qur’an?

Jawab: tidak ada Sunnah Rasulullah SAW yang bertentangan dengan Al Qur’an.

Tanya: jadi, apa maksudnya hal ini?

Jawab: maksudnya, Allah SWT mengarahkan kewajiban membasuh kedua kaki ini kepada orang yang tidak memakai khuff dalam keadaan suci sempurna.

Tanya: apakah makna ini didukung oleh aspek bahasa?

Jawab: Ya. Sebagaimana orang yang belum batal wudhunya boleh mengerjakan shalat. Jadi, maksudnya bukan mengerjakan wudhu setiap hendak mengerjakan shalat. Hal itu terbukti bahwa Rasulullah SAW mengerjakan dua shalat atau lebih dengan sekali wudhu.

Allah SWT berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah [5]: 38)

Sunnah menunjukkan bahwa Allah SWT tidak mengalamatkan hukuman potong tangan ini kepada semua pencuri. Begitu juga Sunnah Rasulullah SAW dalam mengusap khuff, menunjukkan bahwa yang diwajibkan membasuh kedua kaki adalah orang yang tidak memakai khuff dalam keadaan suci sempurna.

Tanya: lalu apa contohnya dalam Sunnah?

Jawab: Rasulullah SAW melarang jual beli kurma kering dengan kurma kering, kecuali dengan takaran dan mutu yang sama. Nabi SAW ditanyakan tentang membeli kurma kering dengan kurma basah. Lalu Nabi SAW balik bertanya, ‟apakah kurma basah akan berkurang timbangannya jika sudah kering?‟ mereka pun menjawab, „Ya.‟ Beliau pun melarangnya.

Nabi SAW juga melarang muzabanah, yaitu barter setiap barang yang diketahui takarannya dan terkandung unsur riba di dalamnya dengan barang sejenis secara sembarangan tanpa diketahui takarannya.

Semuanya memiliki alasan yang sama. Namun, Rasulullah SAW memberi keringanan terhadap „arriyah untuk menukar kurma kering yang biasa dimakan keluarganya dengan kurma basah. Jadi kami memberi keringanan dalam „ariyyah karena mengikuti Nabi SAW.

Ariyyah berarti menjual kurma basah dengan kurma kering, dan itu termasuk kategori muzabanah. Oleh karena itu kami menetapkan keharaman pada setiap jual beli bahan makanan yang sejenis, yang sebagian diketahui takarannya sedangkan sebagai lain tidak, karena ada unsur muzabanah di dalamnya.

Kami menghalalkan „arriyah secara khusus karena Nabi SAW menghalalkannya di antara bentuk-bentuk transaksi yang diharamkan. Kami tidak menganulir salah satu khabar dengan yang lain, dan tidak menjadikannya qiyas terhadapnya.

Tanya: sudut pandang apa yang bisa Anda jelaskan?

Jawab: penjelasan tersebut mengandung dua sudut pandang, dan sudut pandang terkuat menurut saya adalah, Rasulullah SAW memaksudkan larangan secara garis besar itu selain „arriyah. Selain itu, dimungkinkan Rasulullah SAW memberi keringanan setelah menetapkan larangan. Sudut pandang manapun yang tepat, tetap harus menaati Rasulullah SAW dengan menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya.

Rasulullah SAW menetapkan diyat 100 unta dalam kasus pembunuhan terhadap seorang muslim merdeka secara tidak sengaja, dan membebankan diyat pada aqilah.

Pembunuhan sengaja itu berbeda dengan pembunuhan tidak disengaja dari segi denda, tetapi bisa dibilang sama karena terkadang berlaku diyat di dalamnya.

Keputusan Rasulullah SAW menyangkut kewajiban harta setiap orang adalah, diambil dari hartanya, bukan harta orang lain, kecuali dalam kasus pembunuhan orang merdeka secara tidak sengaja. Oleh karena itu, kami menetapkan ‘aqilah menanggung denda dalam kasus pembunuhan orang merdeka secara tidak sengaja, sebagaimana ditetapkan Rasulullah SAW. Sementara itu kami menetapkan denda dalam kasus pembunuhan terhadap orang merdeka secara sengaja apabila berlaku diyat di dalamnya diambil dari harta pelaku, sebagaimana setiap jinayah terhadap harta secara tidak sengaja. Kami tidak mengqiyaskan denda wajib akibat melukai secara tidak sengaja terhadap denda wajib akibat membunuh secara tidak sengaja.

Tanya: denda dan kewajiban apa yang dibayar seseorang dari jinayah-nya secara sengaja?

Jawab: Allah SWT berfirman:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ

berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’ [4]: 4)

وَاَقِيۡمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ

dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

فَاِنۡ اُحۡصِرۡتُمۡ فَمَا اسۡتَيۡسَرَ مِنَ الۡهَدۡىِ‌ۚ

jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat. (QS. Al-Baqarah [2]: 196)

وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ

orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. (QS. Al-Mujadilah [58]: 3)

وَمَنْ قَتَلَهٗ مِنْكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَۤاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهٖ ذَوَا عَدْلٍ مِّنْكُمْ هَدْيًاۢ بٰلِغَ الْكَعْبَةِ اَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسٰكِيْنَ اَوْ عَدْلُ ذٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوْقَ وَبَالَ اَمْرِهٖ ۗعَفَا اللّٰهُ عَمَّا سَلَفَ ۗوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللّٰهُ مِنْهُ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ ذُو انْتِقَامٍ

Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (QS. Al-Maidah [5]: 95)

فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗ

Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maidah [5]: 89)

Rasulullah SAW menetapkan bahwa pemilik harta wajib menjaga hartanya pada siang hari. Bila hartanya dirusak binatang peliharaan pada malam hari, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab pemilik binatang tersebut.

Al Qur’an, Sunnah dan kesepakatan umat Islam (ijma) menunjukkan bahwa semua denda ini diambil dari harta orang yang berkewajiban, baik kewajiban terhadap Allah SWT atau kepada sesama manusia karena alasan-alasan yang mengikatnya. Tidak seorang pun yang dibebani denda orang lain.

Tidak boleh seseorang melakukan jinayah sementara yang membayar dendanya orang lain, kecuali dalam kasus yang disunnahkan Rasulullah SAW secara khusus, yaitu pembunuhan dan jinayah terhadap manusia secara tidak sengaja.

Qiyas dalam perkara jinayah terhadap binatang, atau barang, atau selainnya, sebagaimana yang saya gambarkan, menunjukkan bahwa dendanya ditanggung oleh pelakunya, karena ketentuan yang paling banyak dan populer adalah jinayah diambil dari harta pelaku. Jadi sebuah perkara tidak boleh diqiyaskan terhadap ketentuan yang lebih sedikit, sementara ketentuan yang lebih banyak dan lebih masuk akal ditinggalkan. Dalam hal ini ada kekhususan bagi orang merdeka yang membunuh orang merdeka secara tidak sengaja, dan ‘aqilah yang membayar dendanya. Begitu juga jinayah secara tidak sengaja terhadap nyawa dan tindakan melukai, karena dasarnya adalah khabar dan qiyas.

Rasulullah SAW menetapkan diyat janin dengan budak yang bagus, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, ulama menaksir bahwa harga budak yang bagus adalah 5 unta.

Dikarenakan tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bertanya tentang kelamin janin (apakah laki-laki atau perempuan), berarti beliau menyamakan laki-laki dengan perempuan bila ia gugur dalam keadaan mati. Seandainya ia gugur dalam keadaan hidup lalu mati, maka mereka menetapkan 100 unta untuk janin laki-laki dan 50 unta untuk janin perempuan.

Jinayah terhadap janin tidak boleh dijadikan dasar qiyas untuk kasus apa pun, dalam arti jinayah terhadap seseorang yang bisa dikenali dan dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Ulama tidak berbeda pendapat bahwa seandainya janin sempat hidup lalu mati, maka berlaku diyat yang sempurna. Jika janin itu laki-laki, maka diyatnya 100 unta, jika perempuan maka diyatnya 50 unta. Umat Islam sejauh pengetahuan saya tidak berbeda pendapat bahwa jika seseorang memotong tubuh mayit, maka ia tidak dikenai diyat atau denda. Padahal, janin tidak terlepas dari dua kondisi, hidup atau mati.

Ketika Rasulullah SAW menetapkan hukum janin secara berbeda dari hukum manusia yang telah lahir, karena janin bisa jadi hidup atau mati, dan itu merupakan perkara gaib, maka hukumnya mengikuti perintah Rasulullah SAW.

Tanya: apakah Anda mengetahui suatu alasan baginya?

Jawab: hanya ada satu alasan.

Tanya: apa itu?

Jawab: apabila tidak diketahui janin itu memiliki  kehidupan, dan ia tidak dishalati serta tidak mewariskan, maka hukum jinayah-nya adalah jinayah terhadap ibunya. Rasulullah SAW telah menetapkan satu denda yang telah ditaksir oleh umat Islam, sebagaimana beliau telah menetapkan ukuran denda dalam kasus maudhihah.

Itulah alasan yang tidak disebutkan di dalam hadits, yaitu bahwa beliau menetapkan hukum bagi jani karena alasan ini, sehingga kita tidak boleh berpendapat demikian. Barangsiapa  berpendapat demikian, maka pasti mengatakan bahwa hukum tersebut untuk ibunya, bukan untuk ayahnya, karena jinayah terjadi pada ibunya. Tidak ada hukum bagi janin yang membuatnya menjadi ahli waris dan mewarisi.

Tanya: apakah ini pendapat yang benar?

Jawab: Insya‟ Allah.

Tanya: apabila ini bukan alasannya, lalu disebut apa hukum ini?

Jawab: disebut Sunnah ta‟abbudi.

Tanya: lalu apa nama hukum yang alasannya ditunjukkan oleh khabar?

Jawab: itu adalah hukum Sunnah yang harus diikuti, karena ada satu alasan yang dapat mereka ketahui dari maknanya, sehingga mereka bisa menjadikannya sebelum dasar qiyas bagi perkara- perkara lain yang memiliki alasan yang sama.

Tanya: sebutkan contoh lain yang mencakup Sunnah yang bisa dijadikan dasar qiyas dan yang tidak!

Jawab: Rasulullah SAW menetapkan perkara unta dan kambing musharrah apabila pembelinya telah memerah susunya:

“apabila mau, pembeli boleh menahannya, dan apabila mau ia boleh mengembalikannya bisa satu mudd kurma kering.”

Nabi SAW juga menetapkan:

keuntungan itu akibat adanya tanggung jawab

Dari hadits tersebut bisa dipahami bahwa apabila saya membeli seorang budak, lalu saya mengambil keuntungannya (manfaat) dan ternyata ada cacat padanya, maka saya berhak mengembalikan budak tersebut. Jadi keuntungan yang saya terima saat budak berada dalam kepemilikanku memiliki dua sifat:

  1. Budak itu tidak berada dalam kepemilikan penjual dan tidak berhak atas penyusutan
  2. Keuntungan itu diperoleh saat budak dalam kepemilikanku, dan pada waktu budak itu telah berpindah dari tanggungan penjualnya kepada tanggunganku, maka seandainya budak itu mati, ia terhitung sebagai harta dan milikku. Dengan demikian, jika saya mau saya boleh menahan budak itu, dengan aib yang ada padanya. Begitu juga dengan

Berdasarkan qiyas terhadap hadits, “keuntungan itu akibat adanya tanggung jawab‟, kami katakan bahwa setiap buah dari kebun yang saya beli, atau anak ternak, atau budak perempuan yang saya beli, sama seperti keuntungan karena diperoleh saat berada dalam kepemilikan pembelinya, bukan  dalam kepemilikan penjualnya.

Dalam masalah musharrah kami mengikuti perintah Rasulullah SAW dan tidak melakukan qiyas terhadapnya, karena yang ditransaksikan adalah kambing itu sendiri, yang di dalamnya terdapat susu yang tertahan dan tidak diketahui nilainya. Kami tahu susu unta dan kambung berbeda, dan susu setiap ekor unta dan kambing juga berbeda. Ketika Rasulullah SAW telah menetapkan aturan definitif, yaitu denda dengan satu mudd kurma kering, kami pun mengikutinya.

Jika seseorang membeli kambing musharrah, dan ia telah mengetahui kecacatannya, lalu memeras susunya, dan setelah satu bulan memerahnya, ia menemukan cacat yang disembunyikan oleh penjual (selain cacat musharah), maka ia boleh mengembalikannya dan berhak atas keuntungan susu tanpa harus membayarnya, karena kedudukannya sama dengan keuntungan (akibat kerugian ditipu), sebab ia tidak disebutkan dalam transaksi, melainkan diketahui saat berada dalam kepemilikan pembeli. Ia hanya wajib membayar satu mudd kurma kering sebagai ganti susu yang diambilnya, sebagaimana yang ditetapkan Rasulullah SAW.

Tanya: apakah ini satu perkara yang memiliki dua pendekatan?

Jawab: ya, bila ia mencakup dua perkara atau lebih, yang berbeda.

Tanya: berikan contohnya selain ini?

Jawab: jika seorang wanita mendengar kabar kematian suaminya, lalu ia menjalankan iddah, dan menikah, namun ternyata suaminya yang pertama (yang dikabarkan telah meninggal) ternyata masih hidup, maka wanita tersebut berhak atas mahar, wajib menjalankan iddah kedua, nasab anak tetap dilekatkan pada bapaknya, tidak ada hadd atas masing-masing, keduanya dipisahkan, tidak saling mewarisi, dan perpisahan terjadi karena faskh (terhapus akadnya) bukan dengan perceraian.

Oleh karena secara lahir pernikahan tasyahud halal, maka ia dihukumi halal dalam arti mahar, iddah, nasab anak dan tiadanya hadd tetap berlaku. Secara batin, pernikahan tersebut haram, maka ia dihukumi haram dalam arti pernikahannya tidak diakui, sehingga laki-laki (suami) yang kedua tidak boleh menyetubuhinya jika keduanya tahu, tidak saling mewarisi, dan akadnya terhapusm karena wanita tersebut bukan istrinya lagi.

Masih banyak lagi perkara serupa, seperti seorang wanita menikah pada masa iddahnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *