Saat ini Barat berhasil merajai dunia dengan memisahkan diri dari agama mereka yang memang salah. Bagaimana sikap ummat Islam atas agamanya yang memiliki Al-Qur’an dan tidak ada keraguan didalamnya, apakah ikut memisahkan diri juga terhadap agama? Memang, tidak sedikit umat Islam yang tidak lagi mengenali peradabannya sendiri. Substansi peradaban Islam ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit, dan memberi rahmat bagi alam semesta. Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis. Karena faktor ilmu yang bersumber dari konsep-konsep semisal dalam Al-Quran, peradaban pun berkembang. Dari pemahaman terhadap Al-Quran, lahirlah tradisi intelektual Islam. Dari tradisi yang membentuk komunitas itu, lahirlah konsep-konsep keilmuan dan akhirnya disiplin keilmuan Islam. Dari ilmu inilah, maka lahir sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya Islam. Hingga dapat dikatakan, peradaban Islam adalah peradaban ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya ketika konsep-konsep dalam Al-Quran ditafsirkan dan dikembangkan menjadi disiplin ilmu dengan tradisi intelektual yang begitu semarak. Itu ditandai dengan lahirnya para pemikir Muslim di Dunia Islam Timur dan Dunia Islam Barat. Kota Baghdad, misalnya, menjadi ikon kegemilangan peradaban Islam di belahan Timur. Di antara pelopor yang menyusun kebangkitan kota itu tercatat nama Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, dua khalifah paling masyhur dalam sejarah Dinasti Abbasiyah.
Mereka membangun Baitul Hikmah, sebuah lembaga ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat perpustakaan sejuta buku dan sarana observatorium. Kontribusi khalifah dalam memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan menyebabkan pemikiran filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, dan agama berkembang pesat. Di Baitul Hikmah, susunan peta bumi ditemukan. Panjang tahun masehi dan ketepatan perbedaan lama waktu siang dan malam diteliti ulang. Dari kalangan istana juga digerakkan penerjemahan karya-karya ilmiah berbahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Pada masa itulah muncul para pemikir dan teknolog Muslim, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Razi, Ibn Haitham, dan Al-Khawarizmi.
Seiring dengan berkembangnya ilmu itu, berkembang pula kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan agama. Masyarakat menjadi sejahtera lahir dan batin. Dalam kehidupan publik, sejarawan mencatat bahwa ketika London gelap gulita di malam hari dan di Prancis becek di waktu hujan, Cordoba dan Baghdad di malam hari terang benderang dan jalan-jalannya mulus. Koleksi buku seorang ulama di Baghdad mencapai 400 ribu judul, sementara isi perpustakaan raja Prancis hanya 400 judul buku.
Di belahan lain, Mesir juga menjadi pusat peradaban Islam sejak hadirnya Dinasti Fathimiyah. Pada masa itu telah dibangun Universitas al-Azhar yang eksistensinya masih bisa disaksikan hingga kini. Banyak ulama asal Indonesia yang pernah belajar di universitas tertua di dunia itu.
Sedangkan di Dunia Barat, Islam mencapai kejayaannya ketika Cordova, menjadi ibu kota Andalusia (Spanyol) dalam naungan Bani Umayyah. Di Cordova dibangun sebuah masjid, universitas, dan istana yang megah dilengkapi perpustakaan berisikan ratusan ribu buku. Berkat kedatangan Islam di Andalusia, kaum Muslim mengusai kota-kota penting seperti Saragosa, Cordova, Malaga, Seville, dan Granada. Mereka membawa imperium keislaman, yang memfokuskan pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Di antara cendekiawan asal Andalusia yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan adalah Ibnu Thufail, Ibnu Baitar, Ibnu Arabi, Ibnu Bajjah, dan Ibnu Rushd.
Kejayaan peradaban Islam tersebut dapat dikembalikan dengan menghidupkan lagi tradisi intelektual dan keilmuan Islam yang sekarang tampak meredup. Dikatakan meredup karena karya-karya Muslim belum mencapai tingkat produktivitas dan kualitas yang tinggi dan yang dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh peradaban lain. Tradisi intelektual dan keilmuan Islam yang kuat akan menghasilkan konsep-konsep yang kuat pula. Kuat landasan teorinya dan kuat metodologinya.
Cendekiawan Muslim tidak dapat melakukan hal itu, kecuali menguasai ilmu pengetahuan Islam dan juga ilmu pengetahuan asing, baik dari Barat, Cina, maupun Jepang. Namun, penguasaan ilmu pengetahuan Islam perlu didahulukan dengan berlandaskan al-Qur’an. Karena, dengan itu, Muslim dapat melakukan proses adapsi dan bukan taqlîdul a’ma (adopsi buta) terhadap konsep-konsep dari ilmu pengetahuan asing tersebut. Dan tidak pula mengikuti ajakan sekularisasi yang diusung Barat. Mereka memang berhasil dalam berbagai hal, sehingga memaksa bangsa lain untuk mengikuti. Meninggalkan agamanya.
Proses tersebut memerlukan waktu yang tidak sedikit. Butuh perencanaan yang matang. Kejayaaan Islam merupakan kumpulan atau akumulasi dari kesuksesan tiap individu. Sejak dini seorang anak harus diasisteni oleh keluarga, sekolah, sistem bermasyarakat dan bernegara untuk mengenal diri, potensi, dan pemahaman mendalam tentang agama. Tulisan ini hanyalah sebuah pengantar untuk menentukan sebuah konsep kehidupan keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara bernuansa qur’ani. Untuk membentuk konsep tersebut, membutuhkan analisa cermat, penelitian akurat, dan perencanaan yang matang.
Biasanya kita terlalu cepat menyerahkan semuanya pada takdir, sehingga cenderung menjadi fatalitis. Padahal sesungguhnya ujung usaha itu barulah takdir. Kita tidak boleh menyerah pada takdir sebelum mencoba dan bekerja keras. Bagaimana sebuah kejayaan peradaban Islam terbentuk jika tidak berani berusaha dan berjuang untuk meraihnya.
”Tidaklah sama antara mukmin yang duduk yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.” (Q.S. An-Nisa’: 95). ”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11)
Saudi Arabia, Jum’at, 16 April 2010, 13.22
Ditulis oleh:
Ahmad Ghozali Fadli
Pelayan Pesantren Alam Bumi Al-Qur’an
Wonosalam, Jombang, Jawa Timur