Ijtihad

Tanya:   atas dasar apa Anda mengatakan bahwa ijtihad dibolehkan selain yang telah Anda jelaskan tadi?

Jawab: dasarnya adalah firman Allah SWT:

وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَـرَامِؕ وَحَيۡثُ مَا كُنۡتُمۡ فَوَلُّوۡا وُجُوۡهَڪُمۡ شَطۡرَهٗ ۙ لِئَلَّا يَكُوۡنَ لِلنَّاسِ عَلَيۡكُمۡ حُجَّةٌ

dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu. (QS. Al-Baqarah [2]: 150)

Tanya: apa arti kata syatrah?

Jawab: artinya adalah arah. Mengenai orang yang rumahnya jauh dari Masjidil Haram, kita semua tahu bahwa bila ia telah menghadap ke arah Masjidil Haram ia telah berijtihad untuk menghadap ke Baitul Haram berdasarkan bukti-bukti yang ada, karena yang dibebankan kepadanya adalah menghadap ke Baitul Haram, sedangkan ia tidak tahu apakah ia telah menghadap secara tepat atau salah. Ia terkadang melihat bukti-bukti yang diketahuinya, sehingga ia menghadap ke arah Baitul Haram sebatas pengetahuannya, sementara orang lain mengetahui bukti-bukti yang lain sehingga ia menghadap ke arah Baitul haram sebatas pengetahuannya pula, meskipun arah keduanya berbeda.

Tanya: bila saya menerima pendapat Anda, berarti saya membolehkan perbedaan pendapat dalam beberapa kasus lainnya.

Jawab: katakan menurut kemauan Anda!

Tanya: menurut saya, hal tersebut tidak boleh.

Jawab: itulah saya dan Anda. Kita berdua sama-sama mengetahui jalan. Inilah kiblat yang benar menurut saya, sementara Anda mengklaim bertentangan dengan saya. Siapa di antara kita yang harus mengikuti yang lain.

Tanya: salah satu dari kita harus mengikuti yang lain.

Jawab: apa yang harus dilakukan keduanya?

Tanya: jika kukatakan bahwa keduanya tidak wajib shalat sampai keduanya mengetahui kiblat secara yakin, maka selama- lamanya keduanya tidak mengetahui perkara gaib dengan yakin. Kalau begitu, keduanya meninggalkan shalat. Atau, kewajiban menghadap kiblat dihilangkan dari keduanya, sehingga keduanya boleh shalat dengan menghadap ke arah manapun. Saya tidak berpegang pada kedua pendapat ini, dan saya tidak bisa mengelak untuk mengatakan bahwa masing-masing shalat menurut ijtihadnya, dan keduanya tidak dibebani apa pun selain hal ini. Atau saya mengatakan bahwa masing-masing dibebani untuk mencari kebenaran secara lahir dan batin, namun kekeliruan dalam aspek batin dapat ditolelir, sementara kekeliruan dalam aspek lahir tidak dapat ditolelir.

Jawab: pendapat manapun yang Anda pegang, akan menjadi argumen yang mematahkan ucapan Anda. Karena Anda membedakan antara hukum lahir dengan batin. Itulah yang Anda katakan kepada kami saat Anda berkata, „apabila kalian berbeda pendapat, maka salah seorang dari kalian pasti keliru!‟

Tanya: benar.

Jawab: Anda menilai shalat sah, sedangkan Anda tahu bahwa salah satu dari keduanya pasti salah, dan bisa jadi keduanya salah. Ketentuan ini mengikat Anda dalam perkara kesaksian dan qiyas.

Tanya: saya harus berkata demikian, tetapi itu merupakan kekeliruan yang dapat dimaafkan.

Jawab: Allah SWT berfirman:

مُّتَعَمِّدًا فَجَزَۤاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهٖ ذَوَا عَدْلٍ مِّنْكُمْ هَدْيًاۢ بٰلِغَ الْكَعْبَةِ اَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسٰكِيْنَ اَوْ عَدْلُ ذٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوْقَ وَبَالَ اَمْرِهٖ ۗعَفَا اللّٰهُ عَمَّا سَلَفَ ۗوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللّٰهُ مِنْهُ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ ذُو انْتِقَامٍ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (QS. Al-Maidah [5]: 95)

Allah SWT memerintahkan mereka untuk membayar denda dengan binatang ternak yang sepadan, dan menyerahkan ketentuan sepadan itu pada dua orang yang adil. Dikarenakan binatang buruan itu diharamkan secara umum, maka yang menjadi ukuran untuk binatang buruan adalah besar tubuhnya. Jadi, di antara sahabat Rasulullah SAW ada yang memutuskan perkara berdasarkan ketentuan tersebut. Ia menetapkan biawak diganti dengan biri-biri jantan, rusa diganti dengan kambing jantan, dan kelinci diganti kambing umur setahun dan jerboa (binatang sejenis tupai) diganti anak kambing umur empat bulan.

Kita tahu bahwa yang mereka maksud dengan padanan ini adalah padanan besar tubuh, bukan nilai (harga). Seandainya mereka memutuskan berdasarkan nilai, maka keputusan mereka pasti berbeda-beda karena perbedaan harga pada setiap waktu dan tempat (negara). Padahal keputusan mereka mengenai perkara ini adalah sama.

Kita tahu bahwa ukuran tubuh jerboa tidak sama besar dengan anak kambing betina, tetapi itulah yang paling mendekati, sehingga dianggap sepadan. Hal ini termasuk qiyas yang berdekatan, seperti dekatnya ukuran tubuh kambing jantan dengan biawak, atau sedikit jauh perbedaannya seperti perbedaan antara anak kambing betina dengan jerboa.

Oleh karena binatang yang sepadan besar tubuhnya dengan binatang buruan itu bukan burung, maka yang berlaku disini adalah pendapat Umar, bahwa binatang buruan yang terbunuh dilihat lalu diganti dengan binatang yang paling mendekati besar tubuh binatang buruan tersebut. Apabila tidak ditemukan binatang yang sepadan, maka dinaikkan kepada binatang yang paling mendekati, seperti seandainya tidak ditemukan kambing jantan sebagai ganti biawak, maka ia dinaikkan menjadi biri-biri jantan. Sementara jerboa lebih kecil daripada binatang berumur setahun, maka ia diturunkan kepada anak kambing umur 4 bulan.

Sedangkan burung tidak memiliki padanannya dalam binatang ternak karena berbeda bentuk, maka ia harus diganti dengan yang lebih naik dan di-qiyas-kan kepada binatang yang manusia dilarang membunuhnya. Oleh karena itu, ia harus menggantinya sesuai nilainya.

Jadi, keputusan berdasarkan nilai ini disepakati menurut nilai pd waktu dan tempatnya. Kalau tidak demikian, maka nilai itu berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Burung di satu negeri dapat berharga satu dirham, namun di negeri lain bisa  saja hanya setengah dirham.

Kita diperintahkan untuk menerima kesaksian orang adil. Apabila kita diisyaratkan untuk menerima kesaksian orang adil, maka itu menunjukkan bahwa kita menolak kesaksian dari orang yang tidak adil. Namun, oleh yang adil tidak memiliki tanda pada fisik dan ucapannya untuk membedakannya dari yang tidak adil.

Tanda kejujurannya hanya bisa dilihat dengan meneliti kondisi dirinya. Apabila secara umum ia terlihat baik, maka  kesaksiannya diterima, meskipun ada kekurangan pada dirinya, karena tidak seorang pun yang bersih dari dosa. Apabila dosa dan amal shalihnya bercampur aduk, maka dilakukan ijtihad untuk menemukan kondisinya yang paling dominan dengan memilah- milah antara kebaikan dan keburukannya. Apabila demikian ketentuannya, maka orang-orang yang berijtihad pasti berbeda pendapat.

Apabila kebaikan lebih dominan, maka kami menerima kesaksiannya. Namun bisa jadi hakim melihat keburukannya  lebih dominan, sehingga ia menolak kesaksiannya. Ada dua  hakim memutuskan satu perkara, yang satu menolak, dan yang lainnya menerima. Ini adalah perbedaan pendapat. Tetapi, masing-masing telah melakukan kewajibannya.

Tanya: bisakah Anda menyebutkan hadits tentang kebolehan ijtihad?

Jawab: Ya. Abdul Aziz mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Abdullah bin Hadd, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Busr bin Said, dari Abu Qais (maula Amru bin Ash), dari Amru bin Ash, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala. Apabila ia memutuskan perkara dengan ijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala.”

Abdul Aziz mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Had, ia berkata, “lalu aku menuturkan hadits ini kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, dan ia berkata „Demikianlah Abu Salamah bertutur kepadaku dari Abu Hurairah RA.‟

Tanya: ini riwayat perorangan (khabar ahad), sehingga memerlukan sesuatu yang dapat mendukung keautentikannya.

Jawab: apakah hadits ini shahih menurutnya dan menurut Asy- Syafi’i? Apakah Anda termasuk orang yang menetapkan keautentikannya?

Tanya: Ya

Jawab: kalau begitu, orang-orang yang menolak riwayat tersebut mengetahui penetapan keautentikan riwayat yang saya jelaskan, dan juga yang lain. Lalu, dimana letak keraguannya?

Tanya: di dalam hadits yang Anda riwayatkan, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa di antara ijtihad ada yang benar dan ada yang salah?

Jawab: justru itu menjadi argumen yang mematahkan Anda.

Tanya: bagaimana bisa?

Jawab:karena yang disebutkan Nabi SAW adalah, hakum yang benar ijtihadnya diberi pahala lebih besar daripada hakim yang keliru ijtihadnya. Pahala tidak diberikan untuk sesuatu yang dilarang, dan tidak ada pahala untuk kekeliruan yang disengaja, karena jika seseorang diperintahkan untuk berijtihad secara salah, lalu ia berijtihad menurut aspek lahir sebagaimana yang diperintahkan kepadanya, maka ia telah melakukan kekeliruan yang dapat ditolerir. Seandainya demikian, maka hukuman akibat kekeliruan ini – menurut kami- lebih tepat. Paling untung, ia mendapatkan ampunan. Tidak logis jika ia mendapat pahala atas kesalahan yang tidak dapat ditolerir baginya.

Hal tersebut mengandung petunjuk tentang penjelasan kami, bahwa yang dibebankan dalam menetapkan hukum adalah ijtihad menurut aspek lahir, bukan aspek batin.

Tanya: bisa jadi ini yang benar. Tetapi apa arti kata „benar‟ dan „salah‟?

Jawab: sama seperti arti menghadap Ka‟bah. Orang yang melihatnya secara seksama bisa menghadapnya dengan tepat, sementara orang yang tidak melihatnya cukup mengupayakan dengan cermat, baik berada di tempat yang dekat maupun yang jauh. Bisa jadi sebagian benar, sementara sebagian keliru. Sikap menghadap itu sendiri bisa benar dan bisa salah, yaitu ketika Anda memaksudkan pernyataan tentang salah dan benar itu seperti maksud ucapan „fulan benar dalam menemukan apa yang dicarinya‟ dan fulan keliru dalam menemukan apa yang dicarinya‟ padahal ia telah sungguh-sungguh mencarinya.

Tanya: masalah tersebut memang seperti itu. Menurut Anda, apakah sebutan „benar‟ terhadap ijtihad mengandung arti lain

Jawab: Ya. Ya dibebankan kepada seseorang adalah ijtihad dalam perkara yang tidak dilihatnya. Apabila ia telah melakukannya, maka ia memang telah melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Ia benar menurut aspek lahir, karena tidak ada yang mengetahui aspek batin selain Allah SWT.

Kita tahu, meskipun dua orang yang berbeda pendapat sama-sama benar karena telah berijtihad, namun keduanya tidak mungkin benar dalam menemukan substansi. Demikian pula penjelasan kami tentang saksi-saksi dan masalah lain.

Tanya: apakah Anda berkenan menyebutkan perkara yang serupa?

Jawab: menurut saya, tidak ada yang lebih menjelaskan ketentuan ini daripada contoh tadi.

Tanya: sebutkan saja perkara yang lain!

Jawab: Allah SWT menghalalkan kita untuk menikah dengan 2, 3, dan 4 perempuan, serta hamba sahaya yang kita miliki. Allah SWT mengharamkan ibu, anak perempuan dan saudara perempuan.

Tanya: benar.

Jawab: seandainya seorang laki-laki membeli budak perempuan lalu membebaskannya, maka apakah laki-laki itu boleh menggaulinya?

Tanya: boleh

Jawab: seandainya laki-laki itu menggaulinya dan perempuan tersebut melahirkan seorang anak, lalu ternyata perempuan tersebut adalah saudari laki-laki tersebut, maka apa pendapat Anda tentang masalah ini?

Tanya: perempuan tersebut halal bagi laki-laki tersebut sampai ia mengetahui jati dirinya. Bila sudah tahu, maka ia tidak boleh lagi kembali (mengulangi persetubuhan) dengannya.

Jawab: kalau begitu, akan dikatakan kepada Anda bahwa satu orang perempuan halal sekaligus haram bagi seorang laki-laki padahal keduanya tidak melakukan sesuatu yang baru! Bagaimana komentar Anda?

Tanya: dalam aspek batin, perempuan itu tetap menjadi saudarinya dari awal sampai akhir. Sedangkan dalam aspek lahir, perempuan itu halal baginya selama ia belum tahu, dan haram baginya apabila ia sudah tahu. Tetapi ulama lain mengatakan bahwa laki-laki tersebut tetap berdosa lantaran menyetubuhi perempuan tersebut, namun dosanya itu dapat ditolerir.

Jawab: pendapat manapun yang benar, pada prinsipnya tetap membedakan antara hukum lahir dengan hukum batin. Mereka juga meniadakan dosa dari orang yang berijtihad menurut aspek lahir, meskipun menurut mereka ia keliru. Namun mereka tidak meniadakan dosa itu dari orang yang sengaja berbuat keliru.

Tanya: benar.

Jawab: sama seperti se laki-laki yang menikahi perempuan mahramnya tanpa ia ketahui, atau menikah dengan istri kelima setelah mendengar kabar kematian istrinya yang keempat, atau hal-hal yang serupa.

Tanya: benar ada banyak masalah yang serupa dengan masalah ini.

Jawab: bagi siapa saja di antara kalian yang menilai shahih riwayat tersebut, jelas bahwa selamanya tidak ada ijtihad kecuali untuk menemukan substansi yang tidak nampak dengan indikasi, dan terkadang orang yang berhak ijtihad memperoleh kelonggaran untuk berbeda pendapat.

Tanya: bagaimana cara ijtihad?

Jawab: Allah SWT menganugerahkan akal kepada hamba-hamba- Nya. Dengan akal itu Allah SWT menunjukkan kepada mereka perbedaan di antara orang yang berbeda pendapat, dan membimbing jalan mereka menuju kebenaran dengan nash serta tanda-tandanya.

Tanya: berikanlah contohnya!

Jawab: Allah SWT mendirikan Baitul Haram untuk mereka. Allah SWT lalu menyuruh mereka menghadapnya dalam shalat apabila mereka melihatnya, atau mengupayakannya apabila mereka tidak melihatnya. Allah SWT juga menciptakan bagi mereka langit, bumi, matahari, bulan, bintang, laut, gunung dan angin.

Allah SWT berfirman:

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ النُّجُوْمَ لِتَهْتَدُوْا بِهَا فِيْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ

dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. (QS. Al-An’am [6]: 97)

وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]: 16)

Allah SWT memberitahu bahwa manusia memperoleh petunjuk dengan bintang-bintang dan tanda-tanda penunjuk jalan. Jadi, mereka mengetahui arah Baitul Haram dengan anugerah Allah SWT, dengan pertolongan dan taufik-Nya kepada mereka. Caranya, seseorang yang melihat Baitul Haram memberitahukannya kepada orang yang belum melihatnya. Mereka juga melihat apa yang bisa dijadikan petunjuk arah, seperti gunung, atau bintang yang bisa dijadikan kompas, arah utara dan selatan, matahari yang diketahui tempat terbit dan terbenamnya, serta laut.

Mereka wajib mengoptimalkan berbagai petunjuk dengan akal yang telah disematkan dalam diri mereka, agar mereka bisa menghadap secara tepat ke arah yang diwajibkan menghadapnya.

Apabila mereka telah mencari arah tersebut secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal dan petunjuk informasi, dan sudah tentu dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT dan mengharapkan taufik-Nya, maka mereka telah menjalankan kewajiban mereka.

Allah SWT menjelaskan kepada mereka bahwa yang diwajibkan kepada mereka adalah menghadap ke arah Masjidil Haram, dan itu tidak menuntut ketepatan dalam kondisi apa pun. Apabila mereka tidak bisa menemukan arah yang tepat sebagaimana orang yang dapat melihat Baitul Haram, maka mereka tidak boleh mengatakan bahwa kami menghadap sesuai nalar kami tanpa menggunakan petunjuk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *