Ijma

Tanya: saya telah memahami pandangan Anda tentang hukum-hukum Allah serta Rasul-Nya, dan orang yang menerima petunjuk dari Rasulullah SAW, pada hakikatnya menerima petunjuk itu dari Allah SWT, karena Allah SWT mewajibkan kita untuk menaati Rasul-Nya.

Anda telah menegakkan argumen bahwa seorang muslim yang mengetahui Al Qur’an dan Sunnah tidak boleh berpendapat secara bertentangan dengan keduanya, dan saya tahu ini adalah ketetapan Allah. Lalu apa argumen Anda dalam mengikuti ijma ulama yang hukumnya tidak di nashkan Allah SWT dan tidak diriwayatkan dari Nabi SAW? Apakah Anda menganggap benar perkataan orang lain, bahwa ijma ulama tidak terjadi kecuali berdasarkan Sunnah yang valid, meskipun mereka tidak meriwayatkannya?

Jawab: mengenai ijma yang mereka sebutkan sebagai riwayat dari Rasulullah SAW, itu memang benar, insya allah. Namun apabila mereka tidak meriwayatkannya, maka mengandung kemungkinan bahwa mereka mengatakannya  berdasarkan riwayat dari Rasulullah SAW. Tetapi juga mengandung kemudian lain yang tidak boleh kita anggap sebagai riwayat, karena seseorang hanya boleh menuturkan sesuatu yang masih sebatas prasangka, yang bisa jadi tidak sesuai dengan yang dikatakan.

Jadi, kami berpendapat seperti mereka atas dasar ittiba mereka. Kami tahu Sunnah-Sunnah Rasulullah SAW tidak mungkin luput dari mereka semua, namun ia bisa saja luput dari sebagian mereka. Kita juga tahu bahwa mereka tidak akan menyepakati sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW, dan tidak pula menyepakati sebuah kesalahan, insya allah.

Tanya: apakah ada dalil yang menunjukkan dan meneguhkan pendapat tersebut?

Jawab: Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas‟ud, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang mendengar ucapanku lalu ia menghafalnya, mencernanya, dan menyampaikannya, karena banyak orang yang membawa ilmu tetapi bukan seorang alim, dan banyak orang yang membawa ilmu kepada orang yang lebih berilmu darinya. Ada tiga hal yang tidak dikhianati oleh hati seorang muslim, yaitu mengikhlaskan amal untuk Allah, menasihati para pemimpin muslim, dan komitmen terhadap jamaah mereka, karena doa itu meliputi dari belakang mereka.”

dari Ibnu Sulaiman bin Yasar, dari ayahnya, bahwa Umar bin Khaththab berkhutbah (di depan orang-orang di Jabiyah), sesungguhnya Rasulullah SAW berdiri di tengah kami seperti aku berdiri di tengah kalian, lalu beliau bersabda:

„Muliakanlah sahabat-sahabatku, kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka. Kemudian muncullah kebohongan hingga seseorang bersumpah serta bersaksi padahal ia tidak diminta untuk bersaksi. Barangsiapa suka bertempat di tengah surga, hendaknya tetap komitmen terhadap jamaah, karena syetan bersama orang yang sendirian, dan ia lebih jauh dari dua orang.

Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, karena syetan menjadi yang ketiga di antara mereka. Barangsiapa senang dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya, maka dialah mukmin sejati.‟

Tanya: apa makna perintah Nabi SAW agar komitmen terhadap jamaah?

Jawab: ia tidak memiliki makna selain itu.

Tanya: bagaimana mungkin hanya satu?

Jawab: apabila kesatuan mereka terpecah-pecah di berbagai negeri, maka tidak seorang pun yang bisa tetap komit terhadap kesatuan umat yang terpecah-pecah. Lagi pula, elemen mereka terdiri dari orang-orang Islam dan kafir, orang-orang yang bertakwa dan yang suka berbuat dosa. Jadi, komitmen terhadap elemen-elemen tersebut tidak memiliki arti, karena tidak mungkin terjadi. Juga karena bersatunya elemen-elemen itu tidak menghasilkan apa pun, selain dalam hal yang sama-sama mereka tetapkan sebagai halal dan haram, serta kepatuhan dalam kedua perkara tersebut.

Barangsiapa berpegang pada pendapat jammah umat Islam, maka telah komitmen terhadap jamaah. Barangsiapa bertentangan dengan pendapat jamah umat Islam, berarti telah bersebrangan dengan jamaah yang seharusnya ia pegang. Kelalaian itu hanya terjadi pada kondisi perpecahan, sedangkan dalam kondisi bersatu, umat Islam tidak mungkin lalai terhadap makna Al Qur’an, Sunnah dan qiyas, insya allah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *