Idhthiba’

Dari Ibnu Juraij, ia telah menerima riwayat bahwasanya Rasulullah SAW ber-idhthiba ’ dengan kainnya ketika beliau thawaf.

Imam Syafi’i berkata: Yang dimaksud dengan idhthiba ’ adalah memakai kain ihram dengan cara menutupkan kain ihram tersebut di atas pundak sebelah kiri, kemudian memasukkannya di bawah pundak kanan sehingga pundak kanan tidak tertutup oleh kain, dan hal ini dilakukan sampai selesai melakukan sa’i. Apabila seseorang thawaf dengan beijalan kaki dan tidak dalam keadaan sakit, maka disunahkan baginya untuk berlari-lari kecil. Menurut pendapat saya, makruh hukumnya meninggalkan idhthiba ’ ketika seseorang telah memulai thawaf. Jika dia sudah ber idhthiba ’sebelum memulai thawaf, maka hal itu diperbolehkan. Jika seseorang memakai kain atau serban, maka lebih baik memasukkan kain atau serbannya itu di bawah pundak kanannya (sehingga pundak kanannya terbuka). Begitu juga apabila ia berselempang dengan kemeja atau celana panjang dan lain-lain (dengan syarat kemeja atau celana panjang tersebut tidak dipakai, tapi hanya diselempangkan). Jika seseorang memakai sarung dimana kedua pundaknya tidak tertutup, maka ia tidak dikenakan denda apapun. Ia ber-idhthiba ’ dengan cara seperti itu, kemudian dia berlari-lari kecil ketika memulai thawaf. Jika seseorang tidak ber-idhthiba’ pada sebagian putaran, maka dia boleh ber-idhthiba ’ pada putaran-putaran berikutnya. Jika seseorang tidak ber-idhthiba ’ sama sekali dalam seluruh putaran, maka menurut saya hal ini hukumnya makruh sebagaimana makruhnya orang yang tidak berlari-lari kecil dalam 3 putaran yang pertama, tapi dalam hal ini ia tidak terkena fidyah dan tidak wajib mengulang thawafnya.

Imam Syafi’i berkata: Yang dimaksud dengan rami (lari-lari kecil) adalah lari dengan pelan-pelan (memendekkan langkah) tidak lari dengan tergesa-gesa yang dilakukan pada 3 putaran pertama dan tidak diputus dengan melakukan sesuatu atau istirahat, kecuali ketika menyentuh dua sudut (Hajar Aswad dan Rukun Yamani). Setelah itu, hendaklah dia meneruskan lari-lari kecilnya apabila keadaan memungkinkan dan tidak terlalu padat oleh manusia. Apabila terlalu berdesak-desakan, maka hendaklah ia mencari selasela yang longgar agar bisa berlari-lari kecil. Apabila temyata tidak ada celah sedikitpun, maka lebih baik ia thawafdi pinggirlingkaran (pinggir paling kanan yang teijauh dari Ka’bah) agar bisa melakukan rami (larilari kecil). Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa meninggalkan rami, ia tidak wajib mengulang thawafnya dan tidak terkena fidyah, walaupun hal itu ia lakukan dengan sengaja dan dalam keadaan sadarserta tahu hukumnya. Akan tetapi menurut saya, hal itu makruh hukumnya bagi orang yang sengaja meninggalkannya, dan tidak makruh bagi orang yang meninggalkannya karena lupa atau karena belum tahu. Dalam masalah rami ini, seluruh jenis thawaf adalah sama; baik thawafyang dilakukan sebelum wukufdi Arafah atau sesudahnya, baik thawafdalam haji atau umrah, dengan syarat thawaf tersebut merupakan  thawaf yang bersambung dengan sa’i antara Shafa dan Marwa. Jadi, apabila ada seseorang melaksanakan haji atau melaksanakan haji Qiran, lalu ia thawaf di Baitullah kemudian sa’i antara Shafa dan Marwa, kemudian pada hari nahar (10 Dzulhijjah) atau sesudahnya ia melakukan thawaf lagi, maka ia tidak perlu melakukan rami, karena thawaf tersebut bukan merupakan thawaf yang bersambung dengan sa’i antara Shafa dan Marwa. Tapi thawaf tersebut merupakan thawaf yang menjadi syarat dihalalkannya bersetubuh dengan istrinya. Jika seseorang datang untuk melaksanakan haji tapi ia belum melaksanakan thawaf hingga bermalam di Mina, maka ia harus melakukan rami dalam thawaf yang dilakukan setelah kembali dari Arafah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Utsman bin Khatsim, ia berpendapat bahwa orang yang melakukan thawaf pada hari nahar adalah dengan cara rami. Apabila ada orang yang berkata, “Anda mengatakan bahwa orang yang meninggalkan amalan-amalan tertentu (di antaranya thawaf) harus membayar dam. Kenapa dalam hal ini (orang yang tidak rami dalam thawaf) Anda tidak mewajibkan daml” Jawabannya: Saya mewajibkan membayar dam bagi orang yang meninggalkan inti amalan. Apabila dia bertanya lagi, “Bukankah rami ini juga merupakan inti amalan?” Jawabannya: Tidak, yang merupakan inti amalan adalah thawaf, sedangkan rami itu hanya merupakan sifat dan keadaan dari thawaf tersebut. Jadi, orang yang thawaf tanpa melakukan rami, berarti telah melakukan inti amalan (yaitu thawaf) tapi ia meninggalkan kesempurnaan amal tersebut, yaitu rami (lari-lari kecil).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *