Imam Syafi’i berkata: Saya lebih suka berpendapat bahwa seseorang hendaknya berniat ketika mulai mengerjakan haji dan umrah, sebagaimana hal ini dilakukan dalam setiap mengawali amal ibadah yang wajib. Jika seseorang memulai ihram haji, hendaklah ia berniat untuk apa haji tersebut; untuk haji sunah atau untuk menghajikan orang lain, dan lain-lain. Boleh juga seseorang berihram dengan mengatakan: “Ihramku ini seperti ihramnya fulan (mengikuti carahahnya fulan).”Walaupun fulan yang dimaksud berada ditempat yang jauh. Niat seperti ini boleh dilakukan ketika seseorang melakukan haji wajib, yaitu haji untuk menyempurnakan rukun Islam. Apabila ada yan gbertanya, “Berdasarkan dalil apa Anda berpendapat seperti itu?” Maka saya jawab: Berdasarkan riwayat Ibnu Juraij, ia berkata: Atha’ mengabarkan kepada kami bahwasanya ia pernah mendengar Jabir berkata. Ketika Ali RA datang dari sa’inya, Nabi SAW bertanya kepada Ali, “Dengan apa engkau berihram (haji jenis apa), wahai li?” Ali menjawab, “Dengan ihram yang sama dengan ihramnya Nabi SAW.” Lalu Nabi bersabda, “Kalau begitu, sembelihlah hadyu (hewan kurban) dan teruslah engkau berada dalam ihrammu (jangan ber-tahallul dulu). ” Lalu Nabi memberikan hewan kurban kepada ‘ Ali. Dasar yang kedua adalah riwayat dari Asma’ binti Abu Bakar yang mengatakan. “Bahwa kami keluar (melaksanakan ibadah haji) bersama Nabi SAW dan beliau berkata, ‘Barangsiapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka teruslah ia berada dalam ihramnya; tapi barangsiapa yang tidak membawa hewan kurban, maka bertahallullah Waktu itu akutidak membawa hewan kurban, maka aku segera ber-tahallul, sedangkan Zubair (suami Asma’) membawa hewan kurban, maka Zubair tidak ber-tahallul saat itu.” Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia berkata.
“Kami keluar bersama Rasulullah SAW dengan niat untuk melaksanakan haji, tidak berniat untuk melakukan perbuatan lain selain haji. Ketika kami sampai di daerah Syaraf atau daerah dekat Syaraf, aku mengalami haid. Lalu Rasulullah SAW mendatangiku, waktu itu aku sedang menangis. Beliau bertanya, ‘Kenapa engkau, apakah engkau haid? ’Saya menjawab, ‘Ya’. Lalu beliau bersabda, ‘Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada perempuan-perempuan anak Adam. Maka lakukanlah seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berhaji selain thawaf di Ka ’bah ” Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah SAW menyembelih kurban untuk istrinya berupa seekor sapi.”
Imam Syafi’i berkata: Ali dan Abu Musa Al Asy’ari pernah bertalbiyah di Yaman dengan lafazh talbiyah sebagai berikut, “Kami berihram seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.” Lalu mereka berdua terns berada dalam ihramnya. Hal ini menunjukkan perbedaan antara ihram dengan shalat atau puasa, karena shalat atau puasa itu tidak sah, kecuali dengan niat yang datang dari yang bersangkutan. Sedangkan ihram boleh diniatkan dengan meniru niat orang lain. Apabila ia belum melakukan haji wajib (haji rukun Islam) sementara yang ditiru adalah orang yang sedang melaksanakan haji sunah, maka dalam hal ini ia tetap dianggap sudah melaksanakan haji wajib (haji rukun Islam). Dengan demikian, maka apabila ada seseorang yang berihram haji untuk orang lain, padahal ia sendiri belum berihram haji untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut adalah untuk dirinya sendiri. Hal ini merupakan sesuatu yang masuk akal dan terdapat dalam Sunnah, serta mencukupi untuk orang lain. Seseorang tidak boleh dihajikan oleh orang lain, kecuali apabila yang menghajikan adalah orang merdeka, baligh dan muslim. Maka, orang yang sudah baligh tapi ia budak atau orang merdeka yang belum baligh, ia tidak boleh menghajikan orang lain.
Apabila ia melakukan ibadah haji untuk dirinya sendiri, maka haji tersebuttidak bisa dianggap sebagai haji rukun Islam dan tidak boleh diperuntukkan untuk orang lain. Wallahu a ’lam. Sifat haji sama seperti sifat umrah, maka seseorang boleh berumrah untuk orang lain sebagaimana seseorang boleh menghajikan orang lain. Begitu juga seseorang tidak boleh berumrah untuk orang lain kecuali apabila yang melakukan umrah adalah orang yang merdeka, baligh dan muslim.
Apabila seseorang telah melaksanakan umrah untuk dirinya sendiri tapi ia belum melaksanakan haji, lalu ia disuruh oleh seseorang untuk menghajikan serta mengumrahkannya, lalu ia melaksanakan haji dan umrah untuk orang tersebut, maka dalam hal ini yang sah adalah umrahnya sedangkan hajinya tidak sah, karena orang tersebut belum melaksanakan ibadah haji. Begitujuga apabila ia sudah melaksanakan haji untuk dirinya tapi belum melaksanakan umrah, kemudian ia menghajikan dan mengumrahkan orang lain, maka yang sah adalah hajinya sedangkan umrahnya tidak sah, karena ia belum melaksanakan umrah untuk dirinya sendiri. Jadi, manasik haji dan umrah boleh dilakukan untuk orang lain apabila yang bersangkutan telah melakukan manasik tersebut (manasik haji atau manasik umrah).
Imam Syafi’i berkata: Barangkali ada yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menghajikan orang lain kecuali haji atau umrah yang merupakan rukun Islam. Barangsiapa berpendapat seperti ini, berarti ia mendasarkan pendapatnya pada hadits bahwa Nabi SAW menyuruh menghajikan orang yang tidak mampu melaksanakan haji untuk dirinya. Saya berpendapat bahwa hal ini tidak bertentangan dengan pendapat yang menyatakan bahwa apabila seseorang menghajikan orang lain yang mampu melaksanakan haji, maka hajinya tidak sah sebagai haji yang menggugurkan rukun Islam. Dengan demikian, seseorang boleh dihajikan oleh orang lain apabila disebabkan oleh udzur (halangan) yang bersifat darurat yang tidak memungkinkan bagi dirinya melaksanakan kewajiban tersebut, yang mana hal itu diperbolehkan dalam keadaan darurat saja (tidak pada keadaan lainnya). Tidak dibolehkan kepada orang lain yang tidak mempunyai udzur darurat semacam itu.
Imam Syafi’i berkata: Ibadah umrah bisa dikerjakan kapan saja seseorang ingin melaksanakannya, namun waktu untuk melaksanakan ibadah haji adalah pada satu waktu yang ditentukan di setiap tahunnya. Seandainya seseorang berihram untuk melakukan umrah dalam tahun tertentu, lalu terhalang oleh sakit atau salah perhitungan (dalam ibadahnya) atau penyebab lainnya, maka ia bisa segera melakukan ihram lagi untuk melakukan umrah kapan saja ia mau. Dengan demikian, maka ia tidak mungkin kehilangan waktu untuk melaksanakan umrah, karena kapan saja ia bisa memasuki Baitul Haram (Ka’bah). Apabila seseorang menghajikan orang lain dengan tanpa upah, lalu ia menghendaki upah, maka hal ini tidak dibolehkan (bukan merupakan haknya), sebab di awal perjanjian ia akan melaksanakannya dengan suka rela. Namun, walaupun demikian hajinya tetap sah.
Imam Syafi’i berkata: Boleh memberikan upah kepada orang yang melakukan ibadah haji atau umrah, atau amal-amal kebaikan lainnya. Tapi dalam hal ini saya berpendapat bahwa upah tersebut hanya boleh diberikan untuk kebaikan, tidak untuk keburukan atau sesuatu yang mubah. Jika ada yang bertanya, “Mana dalil yang membolehkan upah dalam mengajarkan Al Qur’an dan kebaikan?” Saya menjawab, “Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan sebagian surah dalam Al Qur’an. Sedangkan nikah itu tidak sah kecuali dengan memberikan mahar sebagai harga dari sahnya pernikahan tersebut.”