Kategori pertama.
Muhammad bin Isma‟il bin abu Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abu Dzi‟bukan dari Al Maqburi, dari Abdurrahman bin Abu Said, dari Abu Sa‟id Al Khudri, ia berkata:
Kami terhalang untuk shalat pada perang Khandaq hingga sesudah Maghrib menjelang malam, sampai akhirnya kami mendapatkan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana firmanNya: „Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dan peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.‟ Rasulullah SAW lalu memanggil bila dan menyuruhnya mengumandangkan iqamah shalat Zhuhur, lalu beliau mengerjakan shalat Zhuhur secara sempurna, sebagaimana beliau mengerjakannya pada waktunya. Lalu Bilal mengumandangkan iqamah untuk shalat Ashar, dan beliau pun mengerjakan shalat Ashar demikian. Lalu Bilal mengumandangkan iqamat untuk shalat Maghrib, dan beliau pun mengerjakan shalat Maghrib demikian. Lalu Bilal mengkumandangkan iqamat untuk shalat Isya, dan beliau pun mengerjakan shalat Isya demikian juga. Abu Sa‟id berkata: „hal itu terjadi sebelum diturunkannya tata cara shalat Khauf dalam firman Allah SWT: “Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”
Ketika Abu Sa‟id menggambarkan shalat Nabi SAW pada perang Khandaq sebelum turun ayat tentang shalat khauf (dalam kondisi takut), maka shlatlah sambil berjalan atau berkendaraan, kami menjadikannya sebagai dalil bahwa beliau belum pernah melakukan shalat khauf kecuali sesudah perang Khandaq, karena Abu Sa‟id terlibat di dalamnya. Ia mengisahkan penundaan beberapa waktu shalat hingga keluar dari waktu umumnya, dan mengisahkan bahwa hal itu terjadi sebelum turun ayat tentang shalat khauf.
Jadi, shalat khauf tidak boleh ditunda sama sekali dari waktunya apabila dalam keadaan mukim, atau dari waktu jamak apabila dalam keadaan bepergian, baik karena ada rasa takut maupun karena ada sebab lainnya. Sebaliknya shalat khauf dikerjakan sebagaimana Rasulullah SAW mengerjakannya.
Riwayat yang kami pegang dalam tata cara shalat khauf adalah riwayat Malik. Ia mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Ruman, dari Shalih bin Khawwat, dari orang yang shalat khauf bersama Rasulullah SAW saat perang Dzatu Riqa‟, ia berkata:
Satu kelompok berbaris bersama beliau, dan kelompok yang lain berdiri menghadap musuh. Lalu beliau mengimami shalat kelompok yang bersama beliau satu rakaat. Lalu beliau tetap berdiri, sedangkan kelompok tersebut menyempurnakan shalat sendiri. Lalu mereka bubar dan berbaris menghadap musuh. Kemudian kelompok yang lain datang dan beliau pun mengimami mereka pada rakaat yang tersisa dari shalat beliau. Lalu beliau tetap duduk, dan mereka melanjutkan sendiri, lalu beliau memimpin salam mereka.
Aku diberitahu oleh orang yang mendengar Abdullah bin Umar bin Hafs, ia meriwayatkan dari saudaranya yang bernama Ubaidullah bin Umar dari Qasim bin Muhammad, dan Shalih bin Khawwat, dari ayahnya Khawwat bin Jubair, dari Nabi SAW, tentang hadits yang serupa dengan hadits Yazid bin Ruman.
Diriwayatkan pula dar Nabi SAW bahwa beliau shalat khauf tidak seperti yang dituturkan Malik.
Kami berpegang pada riwayat ini, karena paling mendekati penjelasan Al Qur’an, dan lebih kuat dalam memperdaya musuh. Kami telah menulis hal ini, berikut perbedaan pendapat di dalamnya dan penjelasan argumennya di dalam Kitab AshShalah.64 Kami tidak menyebutkan siapa-siapa yang berbeda pendapat dengan kami dalam masalah hadits-hadits ini, karena apa yang kami perselisihkan itu telah dibahas pada kitab masing-masing.
Kategori Kedua
Allah SWT berfirman:
وَالّٰتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِّنْكُمْ ۚ فَاِنْ شَهِدُوْا فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتّٰى يَتَوَفّٰىهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلً
وَالَّذٰنِ يَأْتِيٰنِهَا مِنْكُمْ فَاٰذُوْهُمَا ۚ فَاِنْ تَابَا وَاَصْلَحَا فَاَعْرِضُوْا عَنْهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا
dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 15-16)
menurut ayat ini, hadd bagi kedua pelaku zina adalah kurungan dan hukuman fisik, sampai akhirnya Allah SWT menurunkan kepada Rasul-Nya hadd zina.
Allah SWT berfirman:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, (QS. An-Nur [24]: 2)
Sementara itu, mengenai hamba sahaya, Allah SWT berfirman:
فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (QS. An-Nisa’ [4]: 25)
jadi, hukuman kurungan bagi para pelaku zina di-nasakh lalu digantikan dengan hadd.
Firman Allah SWT mengenai hamba sahaya: „Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami‟ menunjukkan pembedaan Allah SWT antara hadd bagi hamba sahaya dengan orang merdeka dalam zina, dan ketentuan separuh itu tidak berlaku kecuali terhadap dera, karena dera itu memiliki bilangan. Ia tidak berlaku pada rajam, karena rajam adalah melenyapkan jiwa tanpa harus terikat dengan hitungan. Bisa jadi jiwa telah lenyap dengan satu kali lemparan, dan bisa jadi harus dengan seribu lemparan atau lebih. Jadi, tidak ada ukuran separuh untuk sesuatu yang bilangannya tidak definitif, dan tidak ada pula ukuran separuh jiwa karena tidak mungkin merajam untuk melenyapkan separuh jiwa.
Firman Allah SWT : perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.” Memiliki dua kemungkinan makna: berlaku untuk semua pelaku zina yang merdeka, atau hanya berlaku pada sebagian dari mereka. Jadi, kami berargumen dengan Sunnah Rasulullah SAW tentang oleh yang dikenai hukuman dera seratus kali.
Abdul Wahhab mengabarkan kepada kami dari Yunus bin Ubaid dari Hasan, dari Ubadah bin shamit, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ambillah (ketetapan) dariku, Ambillah (ketetapan) dariku, Allah SWT telah memberikan jelas keluar bagi mereka. Zina perjaka dan perawan dihukum seratus kali dera dan pengasingan selama setahun, sementara zina dua orang yang telah menikah dihukum seratus kali dera dan rajam.
Jadi, sabda Rasulullah SAW “Allah SWT telah memberikan jelas keluar bagi mereka” menunjukkan bahwa ini adalah hadd pertama bagi pelaku zina, karena Allah SWT berfirman:
حَتّٰى يَتَوَفّٰىهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (QS. An-Nisa’ [4]: 15)
Kemudian Rasulullah SAW merajam Ma‟iz dan istri Al Aslami, bukan mendera keduanya. Jadi, Sunnah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa dera bagi dua pelaku zina yang sudah menikah, telah mansukh. Tidak ada perbedaan di antara orang-orang yang merdeka dalam masalah zina selain status ihshan melalui pernikahan.
Sabda Nabi SAW: Allah SWT telah memberikan jelas keluar bagi mereka. Zina perjaka dan perawan dihukum seratus kali dera dan pengasingan selama setahun, menunjukkan bahwa yang pertama kali di-nasakh adalah hukuman penjaran bagi kedua pelaku zina, dan keduanya dikenai hadd setelah sebelumnya dipenjara. Selain itu, setiap hadd yang dikenakan Rasulullah SAW pada dua pelaku zina tidak terjadi kecuali sesudahnya, karena ini adalah hadd pertama bagi dua pelaku zina.
Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Abu Hurairah RA dan Zaid bin Khalid; keduanya berkata:
“Ada dua orang laki-laki mengadukan perkara kepada Rasulullah SAW, salah satunya berkata, „Ya Rasulullah! Putuskan perkara ka dengan Al Qur’an! Satunya lagi yang lebih pandai berkata, „Benar, ya Rasulullah! Putuskan perkara kami dengan Al Qur’an dan izinkan aku untuk bicara.‟ Beliau bersabda, „ bicaralah! Ia
berkata: „Anakku adalah pekerja sewaan pada orang ini, lalu anakku berzina dengan istrinya. Aku diberitahu bahwa anakku terkena hukuman rajam, maka aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang budak wanita milikku. Lalu aku bertanya kepada orang-orang yang berilmu, mereka pun mengabarkan kepadaku bahwa anakku terkena hukuman dera seratus kali dan pengasingan selama setahun, sedangkan rajam hanya untuk istrinya. Rasulullah SAW bersabda, Demi Dzat yang menguasai jiwaku, aku pasti memeutuskan perkara kalian berdua dengan Al Qur’an. Adapun kambing dan budak perempuan milikmu, harus dikembalikan kepadamu. Beliau kemudian mendera anaknya sebanyak seratus kali dan mengasingkannya selama setahun, serta menyuruh Unais Al Aslami mendatangkan istri majikan itu. Jika ia mengaku maka beliau akan merajamnya. Perempuan itu pun mengaku, sehingga beliau merajamnya.
Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi, dari Ibnu Umar, ia berkata:
أَف النبِي َرَج َم يَهوِديَي ِن َزنَيَا
“Nabi SAW merajam dua orang Yahudi yang berzina.”
Jadi, diriwayatkan secara shahih bahwa dera seratus kali dan pengasingan selama setahun dikenakan pada pelaku zina yang belum menikah, sedangkan rajam dikenakan pada pelaku zina yang telah menikah.
Jika dera dimaksud untuk yang telah menikah, maka dera itu telah di-nasakh dengan adanya rajam. Jadi, dera bukan dimaksudkan untuk mereka, melainkan untuk para pelaku zina yang belum menikah. Rajam terhadap dua pelaku zina yang telah menikah, diterapkan sesudah turun ayat tentang dera, sesuai yang dikabarkan Rasulullah SAW dari Allah SWT. Menurut kami, inilah makna yang paling mendekati maksud Al Qur’an. wallahu a‟lam.
Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Anas bin Malik, ia berkata:
Nabi SAW menunggangi seekor kuda, lalu beliau jatuh terbanting darinya sehingga kaki beliau yang kanan terkilir. Beliau pun shalat sambil duduk, sedangkan kami shalat di belakang beliau dengan duduk. Ketika selesai shalat, beliau bersabda:, ‟Imam itu untuk diikuti. Bila ia shalat sambil berdiri, maka shalatlah sambil berdiri. Bila ia ruku, maka rukulah kalian. Jika ia bangkit dari ruku, maka bangkitlah dari ruku. Bila ia berkata: „samiallahu liman hamidah‟, maka ucapkanlah Rabbana wa lakal hamd‟. Jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk semua.
Malik mengabarkan kepada kami, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah RA, ia berkata:
“Rasulullah SAW shalat di rumahnya dalam keadaan mengeluh sakit. Beliau lalu shalat sambil duduk, sementara beberapa orang shalat di belakang beliau sambil berdiri. Beliau pun memberi isyarat kepada mereka untuk duduk. Ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda: ”Imam itu untuk diikuti. Jika ia ruku maka rukuklah kalian, jika ia bangkit maka bangkitlah kalian, dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.”
Hadits Aisyah RA senada dengan hadits riwayat Anas, hanya saja hadits riwayat Anas lebih rinci dan jelas daripada hadits Aisyah.
Malik mengabarkan kepada kami, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, ia berkata:
“Rasulullah SAW keluar rumah (ke mesjid) dalam keadaan sakit. Beliau mendapati Abu Bakar sedang mengimami shalat orangorang. Abu Bakar pun mundur, namun Rasulullah SAW memberi isyarat agar Abu Bakar tetap pada tempatnya. Rasulullah SAW lalu duduk di samping Abu Bakar. Abu Bakar shalat mengikuti shalatnya Rasulullah SAW, sementara orang-orang shalat mengikuti shlatnya Abu Bakar.”
Ibrahim an-Nakhai meriwayatkan dari Aswad bin Yazid, dari Aisyah RA, dari Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, semisal hadits Urwah:
“Nabi SAW shalat sambil duduk, sementara Abu Bakr shalat sambil berdiri. Ia shalat mengikuti shalatnya Nabi SAW, sementara orang-orang shalat mengikuti shalatnya Abu Bakar.”
Nabi SAW shalat pada waktu sakit menjelang wafat sambil duduk, sementara orang-orang shalat sambil berdiri di belakang beliau. Kami pun menjadikannya sebagai dalil bahwa perintah beliau kepada orang-orang untuk shalat sambil duduk saat beliau jatuh dari kuda terjadi sebelum beliau sakit menjelang wafat. Jadi shalatnya beliau (sambil duduk) sewaktu sakit menjelang wafat, sementara orang-orang shalat sambil berdiri, menjadi nasikh (penghapus) terhadap ketentuan bahwa makmum harus duduk mengikuti duduknya imam.
Dalil Sunnah dan ijma para ulama menunjukkan bahwa shalat harus dengan berdiri jika seseorang mampu melakukannya, dan boleh dengan duduk apabila ia tidak mampu. Namun orang yang mampu berdiri dalam shalat sendiri tidak boleh shalat sambil duduk.
Sunnah Nabi SAW menjelaskan bahwa pada waktu sakit beliau shalat sambil duduk, sementara orang-orang di belakangnya shalat sambil berdiri, dan Sunnah Nabi SAW ini me-nasakh Sunnah beliau yang pertama. Sunnah ini juga sejalan dengan
Sunnah beliau untuk orang yang sehat dan sakit, serta ijma ulama, bahwa masing-masing imam dan makmum mengerjakan shalat fardhunya sesuai keadaannya, seperti orang yang sakit sambil duduk di belakang imam yang sehat yang shalat sambil berdiri.
Sebagian orang keliru memahami dan berkata, “jangan ada yang mengimami shalat sambil duduk sepeninggal Nabi SAW.” Ia berargumen dengan hadits yang diriwayatkan secara terputus sanadnya dari seorang perawi yang tidak diterima riwayatnya. Di dalam hadits ini disebutkan:
لََّ يَؤمن أَ َح ٌد بَع ِدي َجالِ ًسا
“Janganlah ada yang mengimami shalat sambil duduk sepeninggalku.”
Ada banyak nasikh dan mansukh di dalam Sunnah yang serupa dengan ini. Hal ini bisa menjadi indikasi bagi kasus-kasus yang semakna dengannya. Ia juga memiliki banyak padanan dalam Al Qur’an. Kami telah menjelaskan sebagiannya dalam kitab kami
ini, sementara yang lain dijelaskan secara rinci dalam Ahkam Al Qur’an wa As-Sunnah.
Tanya: sebutkan beragam hadits yang tidak mengandung indikasi tentang nasikh dan mansukh, serta argumen mengenai pendapat yang Anda pegang.
Jawab: sebelumnya saya telah menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat khauf saat perang Dzatu Riqa‟. Beliau membariskan satu kelompok untuk shalat, sementara kelompok lain tidak shalat sambil mgh ke musuh. Lalu beliau mengimami shalat kelompok yang bersama beliau dalam satu rakaat, lalu mereka menyempurnakan shalat mereka sendiri. Setelah selesai shalat mereka berdiri menghadap musuh. Lalu datanglah kelompok kedua, dan beliau mengimami shalat sisanya. Setelah itu beliau tetap duduk sampai mereka menyelesaikan rakaat
shalat mereka dan setelah itu beliau memimpin salam mereka.
Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau mengimami shalat khauf secara berbeda dari shalat ini dalam beberapa perkaranya. Ia berkata: „Beliau mengimami shalat satu kelompok dalam satu rakaat, sementara kelompok yang lain
berada di antara beliau dengan musuh. Setelah kelompok pertama yang di belakang mengambil posisi antara beliau dengan musuh. Lalu datanglah kelompok kedua yang belum shalat, dan beliau pun mengimami shalat mereka sejumlah rakaat yang tersisa, lalu beliau salam. Setelah itu mereka bubar dan menyelesaikan shalat bersama-sama.
Abu Ayyasy Az-Zuraqi meriwayatkan:
bahwa ketika Nabi SAW berada di Usfan, sedangkan Khalid bin Walid berada di antara beliau dan kiblat. Beliau membariskan orang-orang yang ikut bersamanya, lalu beliau ruku, dan mereka pun ruku bersama-sama, sementara kelompok lain menjaganya.
Ketika ia bangun dari sujud, sujudlah kelompok yang menjaganya. Lalu mereka berdiri mengikuti shalatnya. Jabir juga meriwayatkan hadits yang semakna.
Diriwayatkan pula hadits yang tidak shahih dan bertentangan dengannya
secara keseluruhan.
Tanya: apa alasan Anda berpegang pada riwayat tentang shalatnya Nabi SAW saat perang Dzatu Riqa‟, bukan yang lain?
Jawab: saya berpegang pada hadits Abu Ayyasy dan Jabir tentang shalat khauf jika terjadi sebab serupa dengan sebab Nabi SAW mengerjakan shalat tersebut.
Tanya: apa itu?
Jawab: Rasulullah SAW bersama 1400 orang, sementara Khalid (pihak musuh) bersama 200 orang, dan jaraknya pun jauh serta berada di padang pasir yang luas. Tidak ada harapan untuk menyerang bukan karena sedikitnya jumlah orang yang bersama Khalid dan banyaknya jumlah orang yang bersama Rasulullah SAW. Seandainya Khalid menyerang dari arah depan, beliau pasti melihatnya. Lagi pula beliau juga dijaga saat sujud, sehingga Khalid tidak akan luput dari pengawasannya. Jika musuh sedikit dan jauh, serta tidak ada penghalang, sebagaimana yang saya jelaskan, maka saya memerintahkan shalat khauf demikian.
Tanya: saya tahu riwayat tentang shalat Datu Riqa‟ tidak bertentangan dengan riwayat ini karena perbedaan kondisi. Lalu, apa alasan Anda tidak mengikuti hadits Ibnu Umar?
Jawab: hadits ini diriwayatkan dari Khawwat bin Jubair dari Nabi SAW. Sahl bin Abu Hatsmah mengatakan hal yang mendekati maknanya. Dituturkan pula dari Ali bin Abu Thalib RA bahwa ia shalat khauf pada malam Harir,74 sebagaimana Khawwat bin Jubair meriwayatkan dari Nabi SAW. Khawat adalah sahabat senior yang telah berumur.
Tanya: adakah argumen yang lebih kuat daripada senioritas Khawwat?
Jawab: Ada, yaitu kesesuaian penjelasan saya dengan maksud Al Qur’an.
Tanya: dimana letak kesesuaian dengan Al Qur’an?
Jawab: Allah SWT berfirman:
dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. (QS. An-Nisa’ [4]: 102)
kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ [4]: 103)
maksudnya, dirikanlah shalat sebagaimana kalian shalat di selain kondisi takut.
Allah SWT membedakan antara shalat dalam kondisi takut dengan shalat dalam kondisi aman, untuk menjaga para pemeluk agama-Nya agar tidak diserang musuh mereka secara tiba-tiba tanpa persiapan.
Setelah kami meneliti hadits Khawwat bin Jubair dan hadits yang bertentangan dengannya, kami menemukan hadits Khawwat bin Jubair lebih memperhatikan kehati-hatian, serta paling memungkinkan bagi kedua kelompok untuk saling menjaga, karena kelompok yang shalat bersama imam terlebih dahulu dijaga oleh kelompok yang di luar shalat. Apabila yang berjaga itu berada di luar shalat, maka ia terlepas dari kewajiban-kewajiban shalat sehingga ia bisa berdiri atau duduk, bergerak ke kanan dan ke kiri, bertahan jika diserang, berbeda jika takut diserbu musuh, serta menyerang jika ada kesempatan, tanpa terhalang oleh hal-hal yang dikerjakan dalam shalat. Sementara itu, imam bisa mempercepat shalatnya jika ia mengkhawatirkan serangan musuh sesuai aba-aba penjaga.
Hak kedua kelompok tersebut sama karena kedua kelompok shalat sesuai hadits Khawwat itu sama kedudukannya. Masingmasing kelompok menjaga yang lain. Kelompok yang berjaga, berada di luar shalat, sehingga kelompok pertama dan kelompok kedua saling memberi dan menerima hal yang sama. Kelompok pertama menjaga kelompok kedua dalam keadaan di luar shalat, dan in merupakan keadilan di antara dua kelompok. Sementara itu, hadits yang bertentangan dengan hadits Khawwat bin Jubair tidak mengedepankan kehati-hatian. Kelompok yang pertama berjaga dalam posisi ruku, lalu kelompok yang dijaga beranjak untuk menjaga sebelum shalat selesai. Selanjutnya kelompok kedua shalat dengan dijaga kelompok pertama yang juga berada dalam shalat. Setelah itu mereka menyelesaikan shalat secara bersama-sama tanpa ada yang berjaga, karena saat itu belum ada yang keluar dari shalat selain imam yang sendirian dan tidak bisa melindungi. Jadi ini bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan kekuatan dalam siasat perang.
Allah SWT memberitahu kita bahwa Dia membedakan antara shalat dalam kondisi takut dengan shalat selainnya demi kepentingan pengikut agama-Nya, agar mereka tidak diserang oleh musuh tiba-tiba, dan dalam hal ini kelompok pertama tidak mengurangi hak kelompok kedua, begitu juga sebaliknya.
Saya temukan bahwa Allah SWT menyebutkan shalatnya imam dan kedua kelompok secara bersamaan, namun Allah tidak menyebutkan kewajiban qadha bagi imam dan seorang pun dari kedua kelompok tersebut, hal itu menunjukkan bahwa kondisi imam dan makmum sama, yaitu keluar dari shalat tanpa menanggung kewajiban qadha.
Demikianlah hadits Khawwat dan hadits-hadits yang bertentangan dengannya.
Tanya: apakah hadits yang Anda tinggalkan memiliki aspek lain yang tidak Anda jelaskan?
Jawab: Ya. Bisa jadi ketika shalat dalam kondisi takut boleh dikerjakan tanpa mengikuti tata cara shalat biasa, maka mereka boleh mengerjakannya menurut cara yang mudah bagi mereka, dan sesuai kondisi mereka serta musuh, selama mereka
menyempurnakan bilangan rakaat. Sehingga shalat mereka berlainan dan itu sah bagi mereka.