Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seseorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (Qs Al Baqarah (2):282)
Firman Allah Azza wa jalla pula,” jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seseorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang(oleh yang berpiutang)” (Qs. Al Baqarah (2):283)
Imam Syafl’i berkata: Merupakan perkara yang sangat jelas bahwa ayat di atas memerintah untuk menulis (utang-piutang), baik saat mukim maupun safar. Allah menyebutkan gadai apabila pihak yang bertransaksi sedang dalam perjalanan dan tidak menemukan penulis. Pada kondisi demikian, mereka diperintah untuk menulis (utang piutang) dan menyerahkan gadai.
Adanya surat utang piutang dan gadai ini adalah sebagai langkah kehati-hatian bagi pemilik hak (pemberi utang), dan sebagai cara efektif agar pengutang tidak lupa dan senantiasa mengingat tanggung jawabnya. Namun bukanlah hal yang fardhu bagi mereka untuk menulis dan mengambil gadai. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Azza wa Jalla, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). ” (Qs. Al Baqarah (2): 283)
Membuat surat perjanjian (akte) utang-piutang saat safar serta dalam kondisi sulit tidaklah diharamkan, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pemah menggadaikan baju besi miliknya saat mukim kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang berkata “Aku menggadaikan rumahku kepadamu jika engkau mengutangkan sesuatu kepadaku atau menjualnya kepadaku”, kemudian orang itu mengutangkan barang yang dimaksud kepadanya atau menjualnya, maka hal ini tidaklah dinamakan sebagai gadai, karena gadai telah ada sementara penggadai belum mendapatkan hak (utang). Adapun izin dari Allah untuk melakukan gadai yaitu jika penggadai telah memiliki hak. Gadai tidak diperbolehkan kecuali jika hak (utang) telah mengikat atau terjadi bersamaan. Adapun bila gadai ada sebelum ada utang, maka hal itu tidak dinamakan gadai.