Di Bawah Pohon Nangka

Oleh: Ust. Nashrullah Zainul Muttaqien

Dulu, di depan rumah agak ke sebelah timur, ada pohon nangka. Di masa kecil saya, pohon itu hampir tak pernah berhenti berbuah. Ketika yang besar sudah mulai masak, sudah ada tewel (nangka muda) yang agak kecil, dan babal (buah yang baru tumbuh).

Tepat di bawahnya, ada sebuah bangku kayu panjang. Pohon yang sekarang sudah berganti dengan pohon mertega itu amat bersejarah. Di bangku di bawahnya itulah sejuta kenangan tertoreh, meski bukan dengan tinta emas.

Saat usia Sekolah Dasar, sambil menanti teman-teman dan kemenakan datang untuk bermain sepak bola di depan Pendopo, kami duduk santai di bawah pohon nangka itu, sambil berbincang khas anak-anak. Jika bosan, kami lantas masuk garasi truk di belakangnya, bermain di atas bak truk, satu-satunya mobil yang dimiliki pondok saat itu.

Santri zaman dulu pasti tahu, ingat, dan bisa membayangkan, bagaimana Pak Zar duduk santai di bawah pohon nangka itu, memakai sarung atau celana dan kemeja polos. Kemudian, kedua tangannya direntangkan bertumpu pada sandaran bangku kayu itu; kaki kanannya disilangkan, bertumpu pada lutut kirinya. Sebuah radio kecil, kadang, menemani di sampingnya. Ketika itu, beliau akan memanggil siapa saja yang kebetulan lewat di depan rumah.

Ada yang dipanggil hanya ditanya namanya, dari mana, dsb. Atau, ada guru yang dipanggil untuk diminta tolong mencarikan guru lain; ada juga santri yang dipanggil untuk dinasehati agar membuang jimat ―yang dibawa dari rumah, dan saat itu, masih melekat di tubuhnya― dengan cara menyuruh anak itu memakan buah pisang Ambon. Entah bagaimana Pak Zar tahu hal itu. Anak santri itu sendiri pun kaget; rahasianya diketahui Pak Zar.

Tak jarang, guru-guru staf Bagian Administrasi (Keuangan) Pondok, Staf Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyah (KMI), atau siapa saja dipanggil, dan diminta melaporkan kondisi di tempat tugas masing-masing. Pak Zar duduk di bangku, sementara para guru itu melaporkan dan menjawab pertanyaan Pak Zar sambil berdiri setengah menunduk ta’zhiem. Kadang diselingi tawa kecil Pak Zar yang memperlihatkan gigi palsu peraknya; kadang juga terlontar pertanyaan-pertanyaan serius yang jawabannya bisa mengerutkan kening Pak Zar.

Pernah pula, setelah menerima dan membaca laporan dari guru itu, dengan nada tinggi, Pak Zar membentaknya, menyuruh guru itu memperbaiki laporannya. Dengan ketakutan, guru itu pun segera lari, kembali ke kamarnya. Jika demikian keadaannya, konon, menurut cerita, guru tersebut tidak akan doyan makan, bahkan tidak bisa tidur sebelum laporan diselesaikan, dan dianggap benar oleh Pak Zar.

Di waktu lain, beliau memanggil kami, anak-anak beliau. Sambil duduk bersama, kami ditanya tentang sekolah kami, atau dimarahi karena kesalahan kami, atau dipanggil untuk disuruh melihat apa yang terjadi di belahan pondok yang lain, pembangunan gedung, misalnya, sudah sampai mana tembok dan tegelnya; siapa dan berapa orang yang bekerja; adakah Pak Mahmud atau guru lain yang mengawasi, dsb.

Sering juga kami dipanggil untuk mengantarkan lembaran koran, yang telah dibaca Bapak, kepada Pak Sahal. Lantas, usai melaksanakan tugas, kami harus kembali ke bawah pohon nangka untuk melaporkan tugas kepada Bapak.

Jika tidak sedang duduk di teras, Bapak juga acap berbincang dengan Pak Sahal di bangku itu, membahas pondok, guru-guru, atau juga masjid yang saat itu tengah dalam pembangunan dan dapat dilihat dengan jelas perkembangannya dari bawah pohon nangka itu. Tapi, Pak Sahal tidak selalu duduk di bangku panjang, melainkan di atas kursi yang biasa beliau bawa, dengan diseret, ke mana-mana. Bekasnya akan dapat dengan mudah ditelusuri, menunjukkan di mana Pak Sahal berada. Dengan duduk di bawah pohon nangka itu, ketika Pak Sahal merokok, angin segera “mengusir” asapnya, sehingga Pak Zar yang memiliki riwayat penyakit athma tidak terganggu. Perbincangan kedua Pendiri Pondok itu sangat akrab (Jw: “ngganyik”); bisa serius, datar, bahkan santai penuh tawa.

Pernah suatu kali, beberapa tahun sepeninggal Pak Sahal, dan menjelang wafatnya, Pak Zar memanggil putra sulungnya Abdullah Syukri, dan Hasan Abdullah Sahal, ponakannya. Setelah keduanya duduk  tawaddu’ bersama Pak Zar di bangku kayu itu, sebuah kalimat pendek untuk keduanya dilontarkan Pak Zar dengan tekanan yang amat berat, “Kowe Syukri anakku. Kowe Hasan anake Pak Sahal. Pegang teguh filsafat hidup pondok ini! Jika tidak, kamu berdua akan terpental! Wis ngaliha!

(‘Kamu Syukri anakku. Kamu Hasan, anak Pak Sahal. Pegang teguh filsafat hidup pondok ini! Jika tidak, kamu berdua akan terpental! Sudah, pergi sana!’). Begitu kisah KH Abdullah Syukri acapkali di beberapa pertemuan dengan guru-guru dan santri.

Demi mendengar kalimat Pak Zar itu, sekujur tubuh keduanya panas-dingin, dan bergetar hebat. Mungkin, pada diri kedua anak dan kemenakan itu ada perasaan yang sama, sebuah amanat telah diestafetkan. Tapi, tidak dengan jelas dipindahtangankan, melainkan harus teruji.

Itulah sekelumit kisah pohon nangka depan rumah yang amat bersejarah. Orang yang tahu, pasti mengenangnya, apalagi mereka yang pernah merasakan “resonansi” pohon itu karena pernah dipanggil Pak Zar dan diajak berbincang. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *