Bolehkah Berduaan Dengan Tunangan

Pertanyaan:

Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang  gadis melalui keluarganya,lalu  mereka menerima dan menyetujui lamaran saya. Karena itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran itu, kami bacakanal-Fatihah, dan kami mainkan musik. Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat dipandang sebagai perkawinan menurut syari’at  yang  berarti memperbolehkan  saya  berduaan dengan wanita tunangan saya itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang  ini saya belum  memungkinkan  untuk  melaksanakan  akad  nikah secara resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA).

Jawaban:

Khitbah(meminang, melamar,bertunangan)menurut bahasa, adat, dansyara,bukanlah  perkawinan. Iahanya merupakanmukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar  ke sana.

Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata “khitbah”(melamar)dan”zawaj”   (kawin);adatkebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; dan syari’at membedakan secarajelas antarakeduaistilah  tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan  untuk  kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat,hak-hak,dan akibat-akibat tertentu.

Al Qur’an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah) itu dengan sindiran ataukamu menyembunyikan(keinginan  mengawini mereka) dalam  hatimu. Allah  mengetahui  bahwa  kamu  akan menyebut-nyebut   mereka, dalam padaitu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan(kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (sindiran yang baik).Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (Al Baqarah: 235)

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk  menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan  dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya.”(Muttafaq ‘alaih)

Karena itu, yang penting dan harus  diperhatikan di sini bahwa  wanita  yang  telah  dipinang  atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram)bagi sipelamar sehingga  terselenggara perkawinan(akad nikah)dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup  serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara’, dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara’.

Selama akad nikah-dengan  ijab  dan  kabul-ini belum terlaksana, maka perkawinan itu  belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara’,maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal  bagimereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.

Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang  wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.

Allah berfirman:

“Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka,padahal   sesungguhnya kamu telah menentukanmaharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika  isteri-isterimu  itu memaafkan  atau  dimaafkan  oleh  orang yang memegang ikatan nikah …” (Al Baqarah: 237)

Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan)wanita pinangannya setelah  dipinangnya,baik selang waktunya itu panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali  hukuman  moral  dan adat  yang  berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkanberbuat  terhadap wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *