Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mempunyai uang 200 Dirham tapi pada saat itu ia juga mempunyai utang sebesar 200 Dirham, lalu sebelum tiba masa haul dari harta tersebut ia membayar utang beberapa dirham dari uangnya itu, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat dari hartanya tersebut, karena ketika telah sampai haul harta tersebut tidak sampai nishab (kurang dari 200 Dirham).
Imam Syafi’i berkata: Apabila ia membayar utang setelah hartanya yang 200 Dirham tersebut sudah mencapai haul, maka ia harus mengeluarkan zakatnya sebesar 5 Dirham (2 1/2 % dari 200 Dirham). Kemudian petugas membayarkan utangnya dari sisa harta.
Imam Syafi’i berkata: Seandainya petugas membayarkan utangnya sebelum mencapai haul, kemudian setelah hartanya mencapai haul orang yang mempunyai piutang belum menerima pembayaran dari orang yang berutang, maka orang tersebut tidak wajib menzakati hartanya, karena harta tersebut secara catatan sudah menjadi milik orang yang mempunyai piutang sebelum tiba masa haul-nya. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa orang tersebut wajib menzakati hartanya, karena apabila harta itu rusak atau habis, maka dialah yang bertanggungjawab terihadap orang yang mempunyai piutang. Ia harus membayar utangnya kepada orang yang mempunyai piutang dari hartanya yang lain.
Imam Syafi’i berkata: Seandainya seseorang mempekeijakan orang lain untuk menggembala kambing-kambingnya dengan upah seekor kambing dari kambing-kambing tersebut, maka seekor kambing tersebut menjadi hak milik si buruh. Jika buruh tersebut mengambilnya sebelum jatuh masa haul, maka orang yang memiliki kambing-kambing tersebut tidak wajib menzakatinya (kambing tersebut tidak dimasukkan ke dalam kambing-kambingnya yang akan dizakati), kecuali hak si buruh adalah kambing-kambing lain di luar kambing-kambing tersebut. Tapi apabila buruh tersebut tidak mengambil kambingnya kecuali setelah masa haul- nya tiba, maka seluruh kambing-kambing yang ada harus dihitung sebagai kambing zakat, karena bagian si buruh tercampur dalam kambing-kambing yang lain.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mempunyai utang sebesar 200 Dirham (uang perak), lalu ketika orang yang mempunyai piutang menagih, orang yang berutang mengatakan bahwa harta tersebut sudah mencapai haul, tapi orang yang mempunyai piutang mengatakan bahwa harta tersebut belum mencapai haul, maka dalam hal ini yang dipakai (yang berlaku) adalah perkataan orang yang berutang. Lalu ia harus mengeluarkan zakat dari harta tersebut, kemudian sisanya diserahkan (dibayarkan) kepada orang yang mempunyai piutang, apabila utangnya senilai dengan sisa harta tersebut atau lebih kecil.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menggadaikan 2000 Dirham perak dengan 100 Dinar emas dan haul dirham yang digadaikan itu jatuh lebih dahulu dari haul emas, maka dirham perak tersebut dikeluarkan zakatnya setelah jatuh masa haul-nya, kemudian utang yang berupa emas dikduaikan zakatnya setelah tiba haul-nya.