Bayan Kelima

Allah SWT berfirman:

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۙ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ

Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, (QS. Al-Baqarah [2]: 150)

Dimanapun mereka berada, Allah mewajibkan mereka untuk menghadapkan wajah mereka ke arah Masjidil Haram. Kata syathrahu berarti „arahnya‟. Dalam bahasa Arab, bila Anda berkata: (أقصد شطر كذا)maka maksudnya adalah „aku menuju arah ini‟. Begitu juga dengan kata (تلقاءه)Kedua kata ini memiliki arti yang sama, meskipun lafazhnya berbeda.

Khufaf bin Nudhbah bersenandung:

ألَّ من مبلغ َع وما تغني الرسالة َشطر عمرو

Adakah yang mengantar seorang utusan kepada Amru Sedangkan risalah itu tidak berguna bagi Amru.

Sa‟idah bin Ju‟aiyah bersenandung:

أقو لأـ ِزنْبَاٍع أَقيمي صدور الِعيس شطر بني تميِم

Kukatakan kepada Ummu Zinba: Tegakkan dada unta yang bagus ke arah bani Tamim

Laqith Al-Iyadi bersenandung:

وقد أظل ُك ُم من شطر ثغرُك ُم ىوٌ لو ظُلَ ٌم تغشاُك ُم قِطََعا

Kalian terbayangi dari arah celah kalian Suatu kengerian yang kegelapannya menutupi kalian. 

Seorang bersenandung:

إف العسير بها داءٌ ُمخامُرىا فشطَرىا بَ َصُر العينين
مسحوُر

Sesungguhnya unta yang mogok itu ada penyakitnya  Maka ke arahnya pandangan kedua mata menjadi layu.

Semua syair tersebut, dan syair-syair lainnya, menjelaskan bahwa kata syathra bearti arah. Bila arah yang dituju (Masjidil Haram) terlihat mata, maka harus menghadap ke arahnya. Bila tidak terlihat, maka harus ijtihad agar bisa menghadap ke arahnya. Ijtihad inilah kemungkinan terbesar yang bisa dilakukannya.

Allah SWT berfirman:

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ النُّجُوْمَ لِتَهْتَدُوْا بِهَا فِيْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ

dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. (QS. Al-An’am [6]: 97)

وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]: 16)

Allah menciptakan tanda-tanda bagi mereka, mendirikan Masjidil Haram bagi mereka, dan memerintahkan mereka untuk menghadapnya. Mereka menghadap ke arahnya dengan bantuan tanda-tanda yang diciptakan Allah untuk mereka, dan dengan bantuan akal yang disematkan Allah dalam diri mereka, yang mereka gunakan sebagai instrumen untuk mengetahui tanda  tanda tersebut. Semua ini merupakan penjelasan dan nikmat dari Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ

dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (QS. At-Thalaq [65]: 2)

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang adil yang dimaksud adalah orang yang taat kepada-Nya. Orang yang mereka lihat berbuat taat, maka ia adil. Bila berbuat sebaliknya, maka ia tidak adil.

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ ۗوَمَنْ قَتَلَهٗ مِنْكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَۤاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهٖ ذَوَا عَدْلٍ مِّنْكُمْ هَدْيًاۢ بٰلِغَ الْكَعْبَةِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Kabah. (QS. Al-Maidah [5]: 95)

Menurut pendapat yang kuat, ukuran yang sepadan adalah yang paling serupa ukuran tubuhnya. Berbagai pendapat dari kalangan sahabat Rasulullah SAW menyepakati denda bagi orang yang berburu (pada waktu ihram), yaitu hewan yang paling mendekati ukuran tubuh hewan yang dibunuhnya. Oleh karena itu, dalam hal binatang buruan kami berpendapat bahwa dendanya adalah binatang yang paling mendekati ukuran tubuhnya.

Jadi, kesepadanan yang dimaksud di sini bukan berdasarkan nilai (harga), melainkan kesepadanan dari segi ukuran tubuhnya sepadan. Apabila ada dua pemahaman yang berdekatan secara ekplisit dan implisit, maka pendapat yang eksplisit lebih kuat. Inilah ijtihad yang dituntut oleh penetap hukum dengan cara mengajukan bukti mengenai binatang yang sepadan.

Sekilas penjelasan ini menjadi bukti mengenai gambaran saya tadi, bahwa seseorang tidak boleh menetapkan halal haramnya sesuatu kecuali dengan didasari ilmu, sedangkan ilmu bersumber dari berita di dalam kitab atau Sunnah, atau ijma atau qiyas. Inti dari penjelasan masalah ini adalah qiyas, karena yang dituntut di dalam qiyas adalah dalil tentang kebenaran kiblat, keadilan dan kespadanan.

Qiyas adalah pencarian dengan dalil-dalil tentang kesesuaianinformasi yang telah ada dari kitab atau Sunnah, karena keduanya menjadi sumber kebenaran yang wajib dicari, seperti mengkaji masalah kiblat, adil dan ukuran sepadan yang telah saya jelaskan.

Kesesuaian ini bisa dilihat dari dua segi:
1. Allah dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara tekstual, atau menghalalkannya karena suatu alasan. Apabila kita menjumpai sesuatu yang memiliki alasan serupa, dan tidak ada teks Kitab atau Sunnah yang menetapkan hukumnya secara eksplisit, maka kami menetapkan kehalalan atau keharamannya sesuai alasan halal atau haram yang dijelaskan dalam Kitab dan Sunnah.

2. Bila kita mendapati dua hal yang salah satunya lebih menyerupai hal yang dimaksud, sementara kita tidak mendapatkan sesuatu yang sama dengannya, maka kami menganggap sesuatu yang serupa itu termasuk kategori sesuatu yang sama, sebagaimana pendapat kami dalam masalah berburu.

Di dalam masalah ilmu ada dua aspek, yaitu ijma (konsensus) dan ikhtilaf (perbedaan pendapat). Keduanya telah dijelaskan di selain kitab ini.

Ada beberapa informasi esensial yang terkandung di dalam Kitab Allah:
1. Seluruh isi Al Q ur’an turun dalam bahasa Arab.

2. Informasi tentang adanya nasikh dan mansukh, sesuatu yang diwajibkan oleh wahyu, serta berbagai penjelasan tentang etika, nasehat dan kebolehan.

3. Informasi tentang posisi Allah menempatkan Nabi-Nya, yaitu untuk menyampaikan pesan dari Allah tentang ketetapannya di dalam kitab-Nya dan dijelaskan-Nya melalui lisan Nabi-Nya, serta apa yang dikehendaki-Nya dari semua kewajiban-Nya, dan untuk siapa Allah menghendaki kewajiban itu. Juga menjelaskan kewajiban manusia untuk taat kepada-Nya dan patu kepada perintah-Nya.
4. Informasi tentang berbagai perumpamaan yang dibuat Allah untuk memotivasi umatnya agar taat kepada-Nya, penjelasan agar manusia meninggalkan makasiat kepada-Nya, tidak melupakan kebahagiaan yang hakiki, serta meningkatkan ibadah sunnah yang mendatangkan keutamaan.

Yang harus dilakukan seluruh manusia adalah tidak berkata apapun kecuali menurut apa yang mereka ketahui secara pasti. Banyak orang bicara yang seandainya ia menahan diri dari pembicaraan itu maka akan lebih mendekatkannya kepada
keselamatan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *