Tanya: sebutkan argumen untuk menetapkan khabar ahad dengan nash khabar, atau dengan petunjuk di dalamnya, atau dengan ijma!
Jawab: Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas‟ud, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang mendengar ucapanku lalu ia menghafalnya, mencernanya, dan menyampaikannya, karena banyak orang yang membawa ilmu tetapi bukan seorang alim, dan banyak orang yang membawa ilmu kepada orang yang lebih berilmu darinya. Ada tiga hal yang tidak dikhianati oleh hati seorang muslim, yaitu mengikhlaskan amal untuk Allah, menasihati para pemimpin muslim, dan komitmen terhadap jamaah mereka, karena doa itu meliputi dari belakang mereka.”
Ketika Rasulullah SAW memerintahkan seorang hamba untuk menyimak ucapannya, menghafalnya, dan menyampaikannya kepada orang lain, maka itu menunjukkan bahwa beliau tidak memerintahkan untuk menyampaikan sesuatu kecuali menjadia argumenbagi orang yang menerimanya, karena yang disampaikan itu merupakan perkara halal, perkara haram yang harus dihindari, hadd yang harus ditegakkan, harta yang harus diambil dan diberikan, serta nasehat dalam masalah agama dan dunia
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa terkadang suatu ilmu dibawa oleh orang yang bukan ulama. Ia memang menghafalnya, tetapi ia tidak memahaminya, padahal perintah Rasulullah SAW untuk komitmen terhadap jamaah umat Islam bisa dijadikan argumen bahwa ijma umat Islam pasti terjadi.
Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Salim Abu Nadhr mengabarkan kepadaku, bahwa ia mendengar Ubaidulah bin Abu Rafi, dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda: “jangan sampai aku mendapati salah seorang dari kalian berbaring di atas dipannya (bermalas-malasan), dan datang kepadanya suatu perkara yang kuperintahkan, atau aku larang, ia berkata „aku tidak tahu, apa yang kami temukan dalam Al Qur’an, maka itulah yang kami ikuti.”
Ibnu Uyainah berkata: Muhammad bin Munkadir mengabarkan kepadaku dari Nabi SAW hadits semisal secara marfu.
Hadits ini menetapkan khabar dari Rasulullah SAW dan memberitahu mereka bahwa khabar ini berlaku pada mereka, meskipun mereka tidak menemukan nash hukumnya di dalam Al Qur’an, karena khabar diposisikan demikian. Malik mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasar, ia berkata: “Ada seorang laki-laki mencium istrinya saat itu sedang puasa, lalu ia merasakan syahwat dari ciuman itu, maka ia mengutus istrinya untuk bertanya tentang hal itu. Istrinya itu lalu menemui Ummu Salamah RA dan memberitahu hal itu kepadanya. Ummu Salamah lalu berkata,
إف رسو الله يُقبٍّلُ َوُىَو َصائٌِم
„Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mencium saat beliau berpuasa.‟
Wanita itu kemudian pulang menemui suaminya dan memberitahu hal itu kepadanya. Namun ia semakin sedih dan berkata, „Kami tidak seperti Rasulullah SAW. Allah SWT telah menghalalkan bagi Rasul-Nya hal-hal yang disukainya‟. Wanita itu lalu kembali menemui Ummu Salamah, dan (kebetulan saat itu) Rasulullah SAW sedang bersamanya. Rasulullah SAW pun bertanya: „Kenapa wanita ini? Ummu Salamah lalu memberitahu beliau. Beliau kemudian bersabda: „tidakkah kamu memberitahunya bahwa aku melakukannya? Ummu Salamah berkata, „Aku sudah memberitahunya, lalu ia pergi menemui suaminya dan memberitahu hal itu kepadanya. Namun ia semakin sedih dan berkata, „kami tidak seperti Rasulullah SAW, Allah SWT telah menghalalkan hal-hal yang disukainya.‟ Mendengar itu Rasulullah SAW marah, lalu bersabda:
„Demi Allah, aku orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan aku yang paling tahu batasan-batasan-Nya di antara kalian.‟
Saya mendengar orang yang menyambung sanad hadits ini, namun saya tidak mengingatnya.
Dalam ucapan Nabi SAW, “tidakkah kamu memberitahunya bahwa aku melakukannya. Mengandung petunjuk bahwa khabar Ummu Salamah dari beliau termasuk khabar yang boleh diterima, karena beliau tidak memerintahkan Ummu Salamah untuk memberitakan dari Nabi SAW kecuali di dalam khabarnya itu terdapat argumen untuk orang yang diberitahunya.
Demikianlah khabar istri Rasulullah SAW karena ia orang yang jujur di mata beliu.
Diriwayatkan dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, ia berkata:
“saat orang-orang berada di Quba‟ untuk shalat shubuh, tiba-tiba seseorang datang kepada mereka dan berkata, „Nabi SAW menerima satu ayat Al Qur’an malam ini, dan beliau diperintahkan untuk menghadap kiblat, maka menghadaplah ke Kiblat itu. Saat itu mereka menghadap ke syam, lalu mereka berputar menghadap Kabah.”
Penduduk quba‟ adalah para sahabat senior dan terdepan dalam masalah pemahaman agama. Mereka mengikuti Kiblat yang ditetapkan Allah SWT untuk mereka.
Mereka tidak berhak meninggalkan ketetapan Allah SWT dalam masalah Kiblat kecuali dengan sesuatu yang bisa menjadi argumen bagi mereka. Padahal mereka belum berjumpa dengan Rasulullah SAW dan belum mendengar wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada beliau mengenai perubahan Kiblat.
Jadi, mereka menerima Al Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya hanya dengan mendengar khabar dari Rasulullah SAW, bukan dengan khabar dari banyak orang. Dengan khabar ahad dari seseorang yang menurut mereka jujur itulah mereka berpindah dari kewajiban yang telah ditetapkan
untuk mereka dan beralih kepada sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, bahwa beliau telah menetapkan perubahan Kiblat.
Insya Allah, mereka tidak melakukan hal itu berdasarkan suatu khabar kecuali karena mereka tahu bahwa argumen diperintahkan ditetapkan dengan khabar semacam itu, jika ia bersumber dari orang yang jujur. Mereka juga tidak mungkin melakukan hal baru yang besar dalam agama mereka seperti itu kecuali mereka tahu bahwa mereka harus melakukannya.
Mereka juga memberitahu Rasulullah SAW tentang perbuatan mereka. Seandainya sikap mereka dalam menerima khabar ahad dari Rasulullah SAW tentang perubahan kiblat hanya sebatas boleh, bukan wajib, maka Rasulullah SAW pasti akan bersabda:
kepada mereka, “kalian telah mengikuti satu kiblat, dan tidak boleh meninggalkannya kecuali setelah memperoleh informasi yang berlandaskan argumen, dengan cara kalian mendengarnya dariku, atau melalui khabar khalayak, atau lebih dari sekedar khabar perorangan.” Malik mengabarkan kepada kami, dari Ishaq bin Abdullah bin Abu thalhah, dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Aku memberi minuman sari buah anggur dan kurma kepada Abu Thalhah, abu Ubaidah Al Jarrah, dan Ubai bin Ka‟b. Lalu seseorang datang menemui mereka dan berkata: „sesungguhnya khamer telah diharamkan.‟ Abu Thalhah lalu berkata: „Ya Anas kemari, hancurkan kendi-kendi itu! Aku pun mengambil palu yang kupunya dan memukul kendi-kendi itu dari bawah hingga pecah.”
Dalam masalah ilmu, kedudukan mereka di hadapan Nabi SAW tidak bisa dipungkiri lagi oleh seorang ulama pun. Pada mulanya minuman khamer halal bagi mereka, dan mereka pun meminumnya.
Lalu seseorang datang dan memberitahu mereka tentang pengharaman khamer, dan Abu Thalhah sebagai pemilik kendi-kendi itu menyuruh Anas untuk memecahkan semua kendikendi tersebut. Abu Thalhah tidak membantah, dan tidak pula mereka atau seorang pun dari mereka berkata: „kami tetap menghalalkannya sampai kami berjumpa dengan Rasulullah SAW, karena beliau berada di dekat kami. Atau sampai kami menerima khabar dari banyak orang.
Mereka tidak mungkin membuang-buang sesuatu yang halal, karena itu adalah pemborosan, dan mereka bukan orang yang suka pemborosan. Mereka juga memberitahu Rasulullah SAW tentang perbuatan mereka. Rasulullah SAW pun tidak melarang mereka untuk menerima khabar dari beliau, meskipun itu khabar ahad.
Rasulullah SAW menyuruh Unais untuk menemui seorang istri yang dituduh berbuat zina oleh suaminya. Beliau bersabda „apabila dia mengaku maka rajamlah ia.‟ Wanita itu mengaku dan Unais pun merajamnya.
Malik dan Sufyan mengabarkan hal ini dari Az-Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah, dari Abu Hurairah RA dan Zaid bin Khalid, keduanya menuturkan dari Nabi SAW. Selain dari Abu Hurairah RA dan Zaid bin Khalid, Sufyan menambahkan dari Syibl.
Abdul Aziz mengabarkan kepada kami, dari Ibnu al had, dari Abdullah bin Abu Salamah, dari Amru bin Sulaim Az-Zuraqi, dari ibunya, ia berkata: „Saat kami berada di Mina, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib RA mengendarai unta sambil berkata: „Rasulullah SAW bersabda:
إِف َى ِذِه أَياـُ طُْعٍم َو َشَرا ٍب فَلً يَ ُصوَمن أَ َح ٌد
„Ini adalah hari-hari untuk makan dan minum, maka jangan ada yang berpuasa.
Lalu ia mengikuti orang-orang sambil mengendarai unta untuk meneriakkan khabar tersebut.
Rasulullah SAW tidak mengutus satu orang yang jujur untuk menyampaikan larangan beliau, kecuali khabarnya itu pasti diterima lantaran kejujuran utusant sebelum di mata orangorang. Bukankah bersama Rasulullah SAW ada banyak orang yang berhaji, dan beliau pun mampu menemui mereka dan berbicara langsung kepada mereka, atau mengutus beberapa orang kepada mereka? Namun, hanya mengutus satu orang yang diketahui kejujurannya. Beliau tidak mengutus seseorang untuk menyampaikannya perintahnya kecuali hujjah bisa dipersuasikan kepada orang-orang yang menerima perintah- agar menerima khabar utusan Rasulullah SAW itu.
Apabila demikian, padahal Nabi SAW mampu mengutus satu kelompok orang, maka sepeninggal beliau prosedur ini lebih layak diberlakukan dalam menetapkan kebenaran khabar orang yang jujur.
Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Amru bin Dinar, dari Amru bin Abdullah bin Shafwan, dari pamannya yang bernama Yazid bin Syaiban, ia berkata: „kami sedang berdiri di suatu tempat di Arafah, sedangkan Amru berada jauh dari tempat imam. Ibnu Mirba‟ Al Anshari lalu mendatangi kami dan berkata, Aku adalah utusan Rasulullah SAW. Beliau menyuruh kalian untuk berhenti (berdiri sebagai penghormatan) kepada tempattempat kebaktian keagamaan, karena tempat-tempat itu adalah sebagian dari warisan bapak kalian Ibrahim As.
Rasulullah SAW mengutus Abu Bakar untuk menjadi amir haji pada tahun 9 H. Ia didatangi oleh orang-orang yang berhaji dari berbagai negeri dan bangsa. Abu Bakar lah yang memimpin ritual haji mereka, dan memberitahu mereka sesuai khabar dari
Rasulullah SAW- tentang hal-hal yang boleh dan wajib bagi mereka.
Rasulullah SAW juga pernah mengutus Ali bin Abu Thalib RA pada tahun yang sama untuk membacakan beberapa ayat dari surah At-Taubah di dalam perkumpulan mereka, serta berlaku adil dalam memutuskan perkara di antara mereka, memberi mereka berbagai bantuan, dan melarang mereka melakukan beberapa
perkara.
Bagi penduduk Mekkah, Abu Bakar dan Ali RA dikenal dengan kemuliaan, kelimuan agama, dan kejujurannya. Di antara peziarah haji ada yang tidak mengenal keduanya, atau salah satunya, namun ia menemukan orang yang memberitahunya tentang kejujuran dan keutamaan Abu Bakar dan Ali. Rasulullah SAW tidak mengutus kecuali satu orang, namun hujjah diperintahkan dipersuasikan sehingga khabar beliau diterima oleh orang yang menerima utusan tersebut.
Nabi SAW menyebar para utusannya ke berbagai penjuru, dan tahu nama-nama mereka serta tempat mereka disebar. Beliau mengutus Qais bin Ashim, Zibriqan bin Badr, dan Ibnu Nuwairah ke kabilah masing-masing, karena mereka mengetahui kejujuran ketiga sahabat tersebut.
Satu delegasi dari Bahrain datang kepada Nabi SAW, lalu mereka mengenal orang-orang yang ada di sekitar beliau, maka beliau mengutus Ibnu Sa‟ad bin Ash bersama mereka untuk menjadi mubaligh Bahrain.
Beliau mengutus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman, serta menyuruhnya untuk memimpin orang-orang yang menaatinya dalam memerangi orang-orang yang menentangnya, serta mengajari hal-hal yang diwajibkan Allah SWT kepada mereka, dan mengambil hal-hal yang wajib dari mereka, karena mereka telah mengenal Mu‟adz, kedudukan dan kejujurannya.
Semua yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur diperintahkan untuk menerapkan hal-hal yang diwajibkan Allah SWT kepada rakyat yang dipimpinnya. Tidak seorang pun yang pantas berkata (ketika seseorang yang jujur datang kepadanya):
“Kamu hanya satu orang, dan kami tidak berhak mengambil sesuatu yang belum kami dengar dari Rasulullah SAW bahwa sesuatu itu wajib bagi kami.”
Menurut hemat saya, Rasulullah SAW tidak mengutus orang-orang yang dikenal jujur di tempat-tempat tugas mereka, melainkan karena argumen dapat dipersuasikan melalui orang-orang seperti mereka sehingga bisa diterima oleh masyarakat setempat. Sama seperti ketika Rasulullah SAW mengutus para panglima ekspidisi militer. Beliau mengutus pasukan ke Mu‟tah dan mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai pemimpinnya.
Beliau bersabda: „Jika Zaid gugur, maka gantinya adalah Ja‟far, Jika Ja‟far gugur maka gantinya adalah Ibnu Rawahah.” Beliau juga mengutus Ibnu Unais sendirian untuk menjalankan ekspidisi militer.
Demikianlah, Rasulullah SAW hanya mengutus satu orang gubernur atau satu orang pemimpin ekspidisi, padahal beliau mampu mengutus dua, tiga dan empat orang gubernur, atau bahkan lebih. Dalam satu waktu, beliau pernah mengutus 12 utusan untuk menemui 12 raja guna mengajak mereka masuk Islam. Beliau mengirim utusan kepada orang-orang yang telah mengenal dakwah Islam. Beliau tidak perlu menulis bukti-bukti untuk orang yang menerima utusan bahwa surat-surat yang mereka bawa adalah surat beliau.
Beliau sangat berhati-hati dalam memilih utusan, sama seperti saat memilih para panglimanya, agar pilihan itu jatuh pada orang-orang yang dikenal kebaikannya. Misalnya beliau mengutus Dihyah ke satu wilayah yang telah ia kenal.
Seandainya sasran utama itu tidak mengetahui jati diri utusan tersebut, maka mereka harus mencari tahu bahwa Nabi SAW yang mengutusnya, agar hilang keraguan mereka terhadap khabar utusan tersebut, dan utusan itu harus berdiam diri sampai sasaran utusan itu terbebas dari keraguan.
Semua surat Rasulullah SAW yang berisi perintah dan larangan, sampai kepada para gubernurnya, dan tidak seorang pun dari para gubernur itu yang berhak mengabaikan pelaksanaan perintah beliau. Beliau juga pasti mengutus seseorang yang telah dikenal kejujurannya oleh masyarakat sasaran utusan itu. Seandainya orang yang menerima utusan itu mencari informasi tentang kejujurannya maka ia akan mendapatkan buktinya.
Seandainya orang yang menerima utusan itu meragukan surat Rasulullah SAW karena ada perubahan pada surat tersebut, atau karena kondisi yang mendorong kepada kecurigaan, seperti kelalaian utusan yang membawa surat tersebut, maka orang yang menerima utusan itu wajib mencari informasi tentang hal yang diragukannya itu, agar ia bisa menjalankan perintah Rasulullah SAW yang benar.
Demikian pula surat-surat para khalfiah sepeninggal beliau dan para staf mereka. Umat Islam sepakat bahwa khalifah harus satu, qadhi satu, panglima satu, dan imam juga satu. Oleh karena itu, mereka mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah.
Setelah itu Abu Bakar mengangkat Umar menjadi khalifah. Setelah itu Umar membentuk dewan musyawarah, lalu dewan ini meminta kepada Abdurrahman bin Auf untuk memilih khalifah, dan akhirnya Abdurrahman memilih Utsman bin Affan.
Para pejabat qadhi 9hakim) dan selainnya bertugas memutuskan perkara, lalu keputusan-keputusan hukum mereka itu dilaksanakan serta menegakkan hadd. Pengganti mereka juga harus mengeksekusi keputusan-keputusan hukum mereka.
Keputusan hukum mereka sama kedudukannya dengan khabar dari mereka. Jadi, Sunnah Rasulullah SAW dan ijma umat Islam mengandung petunjuk terhadap perbedaan antara kesaksian, khabar, dan keputusan hukum.Tidakkah Anda setuju bahwa keputusan seorang qadhi untuk memenangkan seseorang atas orang lain itu sama dengan khabar yang disampaikannya berdasarkan bukti keterangan yang benar
menurutnya, atau berdasarkan pengakuan pihak lawan yang disampaikannya di hadapannya, dan setelah itu ia mengeksekusi keputusan hukuman? Oleh karena itu qadhi berkewajiban menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sesuai kesaksian dan bukti.
Seandainya ada seorang qadhi menyampaikan khabar dari para saksi yang memberi kesaksian yang memberatkan terhadap seseorang, sedangkan orang ini tidak diajukan perkaranyakepada qadhi tersebut, atau qadhi menyampaikan pengakuan
dari pihak lawan, maka qadhi tersebut tidak berkewajiban memutuskan perkaranya, karena orang tersebut tidak diajukan perkaranya kepadanya, melainkan diajukan perkaranya kepada qadhi lain. Qadhi lainlah yang berhak memutuskan perkara
antara dia dengan pihak lawannya. Qadhi tersebut sama kedudukannya dengan seorang saksi di hadapan qadhi lain.
Jadi, kesaksiannya tidak diterima baik ia qadhi maupun bukan kecuali ada saksi lain bersamanya. Sebagaimana jika seorang qadhi bersaksi di hadapan qadhi lain (kedua), maka qadhi lain itu tidak boleh menerimanya kecuali ada saksi lain. Qadhi 9pertama) itu tidak bisa menjalankan kesaksiannya sendiri.
Sufyan dan Abdul Wahhab mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa‟id, dari Sa‟id bin Musayyab, bahwa Umar bin Khaththab menjatuhkan putusan dalam perkara pemotongan ibu jari dengan 15 unta, jari telunjuk dengan 10 unta, jari tengah dengan 10 unta, jari manis dengan 9 unta dan jari kelingking dengan enam unta.
Dikarenakan Umar tahu bahwa Nabi SAW memutuskan denda pemotongan tangan dengan 50 unta, sementara tangan memiliki 5 jari yang beragam keindahan dan mafaatnya, maka Umar menetapkan denda sesuai keragaman tersebut. Ini merupakan
qiyas terhadap khabar.
Kami mendapati surat keluarga Amru bin Hazm yang di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “untuk setiap jari dendanya sepuluh unta.” Oleh karena itu, mereka condong kepadanya. Namun mereka tidak menerima surat keluarga Amru bin Hazm itu sampai mereka membuktikan bahwa itu benarbenar surat Rasulullah SAW.
Dalam hadits tersebut ada 2 petunjuk:
1. khabar dari Rasulullah SAW harus diterima
2. khabar diterima pada waktu ia terbukti kebenarannya, meskipun para imam belum pernah menerapkannya semisal khabar yang mereka terima itu.
Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa seandainya salah seorang imam telah menerapkan satu ketentuan, lalu ia menemukan satu khabar dari Nabi SAW yang berbeda dengan ketentuan yang diterapkannya, maka ia harus meninggalkan ketentuan yang pertama dan menerapkan ketentuan dari Rasulullah SAW. Hadits ini juga menunjukkan bahwa hadits Rasulullah SAW ditetapkan kebenarannya dengan dirinya sendiri bukan dengan praktek orang lain sepeninggal beliau.
Umat Islam tidak mengatakan bahwa Umar telah menerapkan ketentuan yang berbeda di tengah mereka di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Kalian juga tidak menyebut memiliki ketentuan yang berbeda, begitu juga orang lain. Sebaliknya, mereka semua kembali kepada hal yang diwajibkan bagi mereka untuk menerima khabar dari Rasulullah SAW dan meninggalkan setiap praktek yang bertentangan dengannya.
Seandainya khabar ini sampai kepada Umar, maka ia pasti berpegang padanya, sebagaimana orang lain berpegang pada khabar yang sampai kepadanya dari Rasulullah SAW. Itu karena Umar adalah orang yang bertakwa kepada Allah SWT, dan menjalankan kewajiban untuk mengikuti perintah Rasulullah SAW. Juga karena tidak seorang pun yang berhak membuat perintah bersamaan dengan perintah Rasulullah SAW, dan ketaatan kepada Allah SWT adalah dengan mengikuti perintah Rasulullah SAW.
Tanya: tunjukkan kepadaku bahwa Umar mengubah prakteknya segera seletah suatu hadits dari Rasulullah SAW diketahui olehnya.
Jawab: apa keuntungannya jika saya menjelaskannya kepada Anda?
Tanya: jika Anda menemukannya, maka itu menunjukkan dua hal: pertama terkadang Umar menetapkan sesuatu berdasarkan ra‟yu. Kedua, ketika Sunnah ditemukan, Umar wajib meninggalkan opininya, karena semua orang wajib meninggalkan opininya apabila bertentangan dengan Sunnah, dan gugurlah pendapat bahwa Sunnah tidak diterapkan kecuali dengan khabar yang datang sesudahnya. Selain itu, kita tahu bahwa tidak ada sesuatu yang bisa melemahkan Sunnah apabila ia bertentangan dengannya.
Jawab: Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Sa‟id bin Musayyab, bahwa Umar berkata: „Diyat dibayar oleh aqilah (keluarga pelaku) dan istri tidak dapat mewarisi diyat suaminya.” Sampai akhirnya ia diberitahu oleh Adh-Dhahhak bin
sufyan bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepadanya agar iamemberikan warisan kepada istri Asyam Adh-Dhibabi dari diyatnya. Umar pun merujuk kepada khabar tersebut dan merubah opininya. Saya telah menafsirkan hadits ini sebelumnya.
Sufyan meriwayatkan dari Amru bin Dinar dan Ibnu Thawus, dari Thawus, bahwa Umar berkata: “Adakah Allah menyebut seseorang yang mendengar dari Nabi SAW tentang diyat bagi janin?” Hamal bin Malik bin Nabighah lalu berdiri dan berkata,
“Aku berada di antara dua istriku, lalu salah satu istriku memukul istriku yang satunya lagi dengan gilingan adonan, sehingga janinnya mati.
” Rasulullah SAW lalu menetapkan bahwa diyat-nya adalah ghurrah (budak). Umar lalu berkata:„seandainya aku tidak mendengar hadits tentang masalah ini, maka kami pasti memutuskannya berbeda.‟ Dalam riwayat lain Umar berkata: „kami nyaris memutuskan perkara semacam ini dengan pendapat kami.‟ Umar mengoreksi dasar keputusannya karena ada hadits AdhDhahak yang berbeda dengan keputusannya. Ia mengatakan tentang masalah janin bahwa seandainya ia tidak mendengar hadits ini, maka ia pasti memutuskannya berbeda.
Umar memberitahukan bahwa Sunnah menunjukkan diyat penghilangan nyawa adalah 100 unta, sedangkan gugurnya janin tidak terlepas dari dua kondisi, mati atau hidup. Jika janin sempat hidup lalu mati, maka dendanya 100 unta. Tetapi bila janin langsung mati, maka tidak ada denda.
Ketika ia diberitahu keputusan Rasulullah SAW, ia tunduk pada keputusan tersebut dan mengikutinya, meskipun bertentangan dengan keputusannya yang telah lalu dan berdasarkan dan berdasarkan pendapat pribadinya.
Namun, ketika ia menerima khabar yang bertentangan dengan pendapatnya, ia berpegang pada hukum Rasulullah SAW dan meninggalkan keputusannya.
Demikianlah sikap Umar dalam setiap perkaranya, dan seperti inilah sikap kita seharusnya. Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibnu syihab dari Salim bahwa Umar bin Khaththab pernah mengurungkan kunjungan ekspedisinya ke negeri Syam setelah mendengar khabar dari Abdurrahmanbin Auf yang menyatakan bahwa wabah penyakite tengah melanda negeri itu.
Diriwayatkan oleh Malik dari Ja‟far bin Muhammad, dari ayahnya, dia berkata: mengenai orang Majusi, Umar berkata, “Saya tidak tahu apa yang harus kita perbuat terhadap mereka.” Abdurrahman bin auf lalu berkata: “aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
ُسنُّوا بِِه ْم ُسنةَ أَْى ِل الْ ِكتَا ِب
“sikapilah mereka sebagaimana menyikapi ahli Kitab.146 Sufyan bin Uyainah memberitahu kami, dari Amru bin Dinar, bahwa ia mendengar Bajalah berkata, “Umar tidak mengumpulkan pajak dari orang Majusi sampai Abdurrahman bin
Auf memberitahukan bahwa Nabi SAW menyuruh supaya pajak juga ditarik dari orang Majusi Hajar.147
Semua hadits yang telah saya kutipkan tadi dengan sanad yang terputus (munqathi) yang semula telah saya dengar dan bersambung (mutashil) atau ia merupakan hadits-hadits yang terkenal yang diriwayatkan oleh beberapa orang yang meriwayatkannya dari para ulama yang mengetahuinya dari orang banyak, tetapi saya tidak mau mengutip hadits-hadits yang tidak sepenuhnya saya hafal, dan beberapa catatan yang sudah hilang untuk pengecekan.
Tetapi saya telah meneliti kebenaran dari hafalan saya dengan pengecekan melalui pengetahuan para ulama, dan saya telah meringkasnya karena khawatir catatan ini menjadi sangat panjang. Oleh karena itu, saya hanya mengutip secukupnya tanpa melewatkan setiap aspeknya secara lengkap. Umar juga menerima hadits Abdurrahman bin Auf mengenai Majusi dan mengumpulkan upeti (jizyah) berdasarkan ayat Al Qur’an:
(Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (QS. At-Taubah [9]: 29)
Berdasarkan Al Qur’an yang menyatakan bahwa orang kafir yang bersikap memusuhi harus diperangi sampai menerima Islam, dan karena Umar tidak pernah mendengar sesuatu pun dari Nabi SAW mengenai orang Majusi, sedangkan pendapatnya mengatakan bahwa mereka adalah orang kafir dan bukan ahli kitab, maka Umar pun menerima hadits Abdurrahman bin Auf dan mengikutinya.
Sedangkan hadits Bajalah ini maushul (tersambung sanadnya), karena ia berjumpa dengan Umar bin Khaththab saat ia dewasa, dan ia sendiri menjadi sekretaris beberapa gubernurnya.
Tanya: bukankah Umar mencari khabar lain meskipun ada seseorang yang menyampaikan khabar kepadanya?
Jawab: Umar tidak mencari khabar lain meskipun ada seseorang yang telah menyampaikan khabar kepadanya, kecuali karena salah satu dari tiga alasan:
Pertama, untuk kehati-hatian. Apabila sebuah argumen bisa ditetapkan dengan khabar ahad, maka khabar dari dua orang atau lebih akan semakin menguatkannya.
Saya pernah melihat seseorang yang menetapkan berlakunya khabar ahad itu juga mencari khabar kedua, padahal di tangannya telah ada Sunnah Rasulullah SAW dari lima jalur. Jadi ia meriwayatkan sesuai riwayat keenam, lalu menulisnya. Itu karena ketika beberapa khabar itu mutawatir dan saling menguatkan, maka ia lebih meneguhkan argumen dan menenangkan jiwa pendengarnya.
Saya juga pernah melihat seorang hakim yang baginya dua atau tiga saksi yang adil telah cukup. Namun, ia berkata kepada orang yang diberi kesaksian, „Datangkan lagi beberapa saksi.‟ Dalam hal ini, ia hanya ingin lebih yakin. Kalaupun ia tidak bisa
mendatangkan selain dua saksi, maka hakim juga tetap memutuskan perkaranya.
kedua, bisa jdai Umar tidak mengenal orang yang membawa khabar sehingga ia menahan keputusan sampai datang seorang pembawa khabar yang dikenalnya.
Demikianlah, di antara orang yang membawa khabar itu ada yang tidak dikenal, sehingga khabar-nya tidak bisa diterima, karena suatu khabar tidak diterima kecuali dari orang yang diketahui kelayakannya untuk diterima khabar-nya.
Ketiga, bisa jadi orang yang membawa khabar kepada Umar tidak bisa diterima diterima khabar-nya oleh Umar, sehingga ia menolak khabar-nya, sampai ia mendapati orang lain yang ucapannya bisa diterima.
‘Tanya: menurut Anda, alasan mana yang menjadi motivasi Umar?
Jawab: dalam khabar Abu Musa, Umar beralasan untuk kehatihatian, karena Abu Musa orang yang terpercaya dan amanah.
Tanya: apa dalilnya?
Jawab: Malik bin anas meriwayatkan dari Rabi‟ah, dari banyak Ulama, hadits Abu Musa dan Umar berkata kepada Abu Musa,“Saya tidak menuduhmu, tetapi saya khawatir orang-orangberkata dusta atas nama Rasulullah SAW.”
Tanya:bukankahhadits tersebut terputus sanadnya?
Jawab: argumen di dalam hadits tersebut tetap berlakukarena seorang imam agama, baik Umar maupun orang lain,tidak boleh pada suatu waktu menerima khabar ahad karena bisadijadikan argumen, sementara di waktu yang lain ia menolak
khabar ahad tersebut. Ini tidak mungkin dilakukan oleh seorang alim selama-lamanya. Seorang hakim juga tidak mungkinmemutuskan perkara berdasarkan dua kesaksian pada satuwaktu, lalu menolak memberikan keputusan pada waktu yanglain, kecuali kedua saksi tersebut cacat, atau hakim tidak mengetahui keadilan mereka. Dalam hal ini, Umar adalah orang yang sangat berilmu, berakal, amanah dan terhormat.
Di dalam Al Qur’an terdapat dalil tentang perkara yang saya
jelaskan, yaitu:
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. (QS. Nuh [71]: 1)
dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. (QS. Hud [11]: 25)
dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il. (QS. An-Nisa’ [4]: 163)
dan (kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. (QS. Al A’raf [7]: 65)
dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. (QS. Al A’raf [7]: 73)
dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syu’aib. (QS. Hud [11]: 84)
kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, Maka bertakwalah kepada Allah dan kepadaku. (QS. Asy-Syuara [26]: 160-163)
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh. (QS. An-Nisa’ [4]: 163)
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (QS. Ali Imran [3]: 144)
Allah SWT menegakkan argumen-Nya kepada manusia berkaitandengan nabi-nabi-Nya, dengan berbagai tanda yang membuatmereka berbeda dari yang lain. Argumen dengan tanda-tanda tersebut tetap ditegakkan di hadapan orang yang menyaksikan
berbagai perkara dan petunjuk para nabi yang membedakan mereka dari selain mereka, juga di hadapan orang-orang sesudah mereka. Satu atau lebih argumen itu sama. Argumen yang ditetapkan oleh salah seorang nabi itu sama seperti argumen
yang ditetapkan oleh nabi-nabi lainnya. Allah SWT berfirman:
dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, Yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan,lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan
dengan (utusan) yang ketiga, Maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya Kami adalah orang-orang di utus kepadamu”. mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami dan Allah yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka“. (QS. Yasin [36]: 13-15)
Allah SWT meneguhkan argumen terhadap mereka dengan dua nabi, kmd nabi ketiga. Allah SWT juga menegakkan argumen terhadap umat-umat dengan satu nabi. Menambah keteguhan argumen bukanlah berarti bahwa argumen tidak bisa ditetapkan
dengan satu nabi, karena Allah telah memberinya sesuatu yang membedakannya dari orang-orang yang bukan nabi. Malik mengabarkan kepada kami, dari Sa‟dari bin Ishaq bin Ka‟bukan, dari Ujrah, dari bibinya yang bernama Zainab binti
Ka‟ab, bahwa Furai‟ah bin Malik bin sinan mengabarinya: ia
datang kepada Nabi SAW minta diizinkan untuk pulang ke
keluarganya di bani Khudrah, setelah suaminya dibunuh oleh
budak-budaknya yang melarikan diri, dan ia mengejar mereka
dekat Qaddum.
Dia berkata, „Aku minta agar Rasulullah SAW membiarkanku pulang ke keluargaku, karena suamiku tidak meninggalkanku ruma yang dapat kutinggali.‟ Rasulullah SAW lalu bersabda: ”Ya, kamu boleh pulang.” Aku pun berangkat. Hingga ketika aku
berada di kamar atau di masjid, beliau memanggilku. Beliau bertanya, ”Apa yang kau katakan tadi?” aku pun mengulangi kisay yang telah kusampaikan kepada beliau tentang suamiku.
Beliau lalu berkata kepadaku, ”diamlah di rumahmu sampai
batas masa idah-mu.” Aku kemudian menjalani iddah di rumahku selama 40 bulan 10 hari. Ketika Utsman mengirim surat kepadaku untuk bertanya tentang hal itu, aku memberitahunya dan ia pun mengikutinya dan memutuskan perkara sesuai khabarku itu.
Meskipun Utsman seorang imam yang memiliki ilmu yang luas, ia memutuskan perkara di antara Muhajirin dan Anshar dengan berdasarkan khabar dari seorang wanita.
Muslim mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Juraij, ia berkata: Hasan bin Muslim mengabarkan kepadaku dari Thawus, ia berkata: „aku bersama Ibnu Abbas, lalu tiba-tiba Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, „Apakah engkau memberi fatwa bahwa wanita yang haid boleh pulang (ke keluarganya) sebelum ia singgah terakhir di Baitullah? „Ibnu Abbas mjwb, „kalau kamu tidak menerima, maka tanyakan kepada fulanah wanita anshar, „apakah Nabi SAW memerintahkan demikian?. Zaid bin Tsabit lalu
kembali dan tertawa, Engkau benar.
Zaid mendengar larangan seseorang pulang dari haji sebelumnya ia singgah untuk terakhir kalinya di Baitullah, dan menurutnya wanita haid termasuk peziarah haji yang terkena larangan tersebut. Ketika Ibnu Abbas memfatwakan bahwa wanita haid hendaknya pulang sebelum singgah terakhir di Baitullah, selama ia mengunjunginya setelah Idul Adha, maka Zaid menentangnya. Ibnu Abbas lalu memberitahunya dari seorang wanita bahwa Rasulullah SAW memerintahkan demikian, lalu ia bertanya kepada wanita yang dimaksud dan wanita itu pun mengabarinya, lalu ia membenarkan wanita itu. Oleh karena itu, ia berpikir
harus mengoreksi perselisihannya dengan Ibnu Abbas. Apa yang dikatakan Ibnu Abbas itu merupakan argumen tersendiri di luar khabar wanita tersebut. Sufyan mengabarkan dari Amru, dari Sa‟id bin Jubair, ia berkata: „aku berkata kepada Ibnu Abbas, „Nauf Al Bikali mengklaimbahwa Musa temannya Khidir itu bukan Musa bani Israil. Bagaimana pendapatmu?‟ Ibnu Abbas menjawab: „Musuh Allah itu
berbohong! Ubai bin Ka‟ab mengabarkan kepada kami, ia berkata
…‟ lalu menyebutkan hadits tentang Musa dan Khidir, yang menunjukkan bahwa Musa adalah temannya Khidir.
Meskipun Ibnu Abbas adalah ulama besar dan wara‟, namun ia menetapkan kebenaran khabar Ubai bin Ka‟ab dari Rasulullah SAW, hingga dengan khabar ini ia mendustakan seorang muslim, karena Ubai bin Ka‟ab menyampaikan kepadanya dari Rasulullah SAW sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa Musa bani Israil
adalah temannya Khidhir Muslim dan Abdul majid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Juraij, bahwa Thawus memberitahunya, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Abbas tentang dua rakaat setelah Ashar, Ibnu Abbas ternyata melarangnya. Aku lalu berkata kepadanya, “Aku tidak mau meninggalkan dua rakaat tersebut! Ibnu Abbas kemudian
membaca ayat:
dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab [33]: 36)153
Ibnu Abbas melihat bahwa argumen telah ditegakkan terhadap Thawus dengan khabarnya dari Nabi SAW, serta memberi petunjuk kepada Thawus dengan membacakan firman Allah SWT, bahwa ia tidak memiliki pilihan lain ketika Allah SWT dan RasulNya telah menetapkan suatu perkara. Pada saat itu Thawus mengetahui ketetapan Rasulullah SAW hanya melalui khabar Ibnu Abbas, dan itu tidak mendorong Thawus untuk berkata: „ini khabar riwayatmu sendiri, maka aku tidak menilainya benar bersumber dari Nabi SAW, karena ada kemungkinan kamu lupa.‟
Tanya: bukankah dimungkinkan Thawus enggan berkata demikian kepada Ibnu Abbas?
Jawab: Ibnu Abbas orang yang sangat mulia, sehingga tidak mungkin seseorang merasa risih untuk berkata benar kepadanya. Ibnu Abbas melarang Thawus shalat dua rakaat sesudah Ashar, dan Thawus memberitahunya bahwa ia tidak pernah meninggal
shalat tersebut sebelum diberitahu ilehnya bahwa Nabi SAWmelarangnya.
Sufyan meriwayatkan dari Amru, dari Ibnu Umar, ia berkata: „kami melakukan mukhabarah (pertanian bagi hasil) dan kami tidak melihat adanya larangan terhadapnya, sampai Rafi mendakwakan bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Oleh karena itu kami meninggalkan mukhabarah karena khabarnya itu.
Ibnu Umar memanfaatkan mukhabarah dan menganggapnya halal. Setelah itu ia diberitahu oleh seseorang yang tidak diragukan kejujurannya dari Rasulullah SAW, bahwa beliau melarang mubakharah, maka Ibnu Umar segera meninggalkan
mubakharah. Ia tidak menggunakan pendapatnya di hadapan khabar dari Rasulullah SAW. Ibnu Umar tidak berkata: „tidak seorang pun yang menegur perbuatan kami ini, dan kami tetap mengerjakannya hingga hari ini.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesuatu yangdipraktekkan sepeninggal nabi, yang tidak didasari oleh khabar dari Nabi SAW tidak bisa melemahkan khabar dari Nabi SAW.
Malik mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasar, bahwa Muawiyah bin Abu sufyan menjual tempat air dari emas atau perak dengan harga melebihi timbangannya. Abu Darda lalu berkata kepadanya, „Aku mendengar Rasulullah SAWmelarang jual beli semacam ini.
Muawiyah menjawab, „menurutku itu tidak dilarang.‟ Abu Darda kemudian berkata:
Siapa yang menerima alasanku terhadap Muawiyah? Aku memberitahunya hadits dari Rasulullah SAW, tetapi ia justru memberitahuku pendapatnya. Semoga aku tidak pernah bertemudengannya dimanapun.
Darda melihat bahwa khabarnya itu bisa menjadi argumen bagi Muawiyah. Namun ketika Muawiyah tidak berpendapat demikian, abu Darda meninggalkan negeri tempat tinggal Muawiyah, karena Abu Darda berpikir bahwa mengabaikan khabar seorang yang tsiqah dari Nabi SAW merupakan perkara yang besar.
Kami diberitahu bahwa Abu Sa’id Al Khudri bertemu dengan seorang laki-laki, lalu Abu Sa‟id mengabarinya tentang sesuatu dari Nabi SAW, namun orang itu justru menyebutkan sebuahk khabar yang bertentangan dengan khabar Abu Sa‟id, maka Abu sa‟id berkata, “Demi Allah, semoga Allah tidak menaungiku dalam satu atap denganmu untuk selamanya.”
Abu Sa’id Al Khudri merasa kesal, karena orang yang diberinya
khabar dari Rasulullah SAW itu tidak mau menerimanya, dan
justru menyebutkan khabar yang bertentangan dengan khabar
Abu Sa‟id dari Nabi SAW. Tetapi khabar orang tersebut memiliki
dua kemungkinan. Pertama bertentangan dengan khabar Abu
Sa‟id. Kedua tidak bertentangan dengannya.
Kami diberitahu oleh orang yang tidak kami ragukan, dari Ibnu
abi Dzib, dari Makhlad bin Khufaf, ia berkata, „aku membeli seorang budak dan aku mempekerjakannya.
Lalu aku melihat satu aib padanya, sehingga aku mengadukan perkara ini kepada Umar bin Abdul Aziz. Umar mengabulkan gugatanku untuk
mengembalikan budak tersebut, namun aku harus mengembalikan hasil pekerjaannya.
Aku lalu mendatangi Urwah dan memberitahu hal itu kepadanya. Ia berkata: „Sore ini aku akan pergi menemui khalifah dan memberitahunya bahwa Aisyah
RA mengabarkan kepadaku:
Bahwa Rasulullah SAW pernah membuat keputusan tentang
masalah semacam ini: bahwa keuntungan itu akibat adanya
tanggung jawab.‟
Aku segera menemui Umar dan memberitahukan kepadanya
khabar yang telah diberitahukan kepadaku oleh Urwah dari
Aisyah RA, dari Nabi SAW. Umar pun berkata, „betapa mudah
bagiku untuk memutuskan perkara. Allah tahu bahwa yang
kuinginkan dalam masalah ini adalah kebenaran. Setelah mendengar sebuah Sunnah dari Rasulullah SAW tentang masalah ini, maka saya menolak keputusan Umar (dirinya sendiri) dan
melaksanakan Sunnah Rasulullah SAW.‟ Urwah kemudian menemuinya, dan Umar memutuskan agar aku mengambil kembali hasil pekerjaan budak itu dari penjualnya.
Aku diberitahu oleh perawi yang tidak aku ragukan, dari para perawi Madinah, dari Ibnu Abi Dzib, ia berkata: “Sa‟d bin Ibrahim
memutuskan perkara yang mengalahkan seseorang berdasarkan
pendapat Rabi‟ah bin Abu Abdurrahman. Lalu aku meriwayatkan
kepadanya khabar dari Nabi SAW yang bertentangan dengan
keputusannya. Sa‟d lalu berkata kepada Rabi‟ah, „Dia adalah Ibni
Abi Dzib. Bagiku ia orang yang terpercaya.
Ia mengabarkan kepadaku dari Nabi SAW secara bertentangan dengan
keputusanku! Rabi‟ah berkata, „Kamu telah berijtihad, dan keputusanmu telah jatuh. Sa‟d berkata, „Aneh! Aku melaksanakan keputusan Sa‟d bin Ummu Sa‟d dan menolak keputusan Rasulullah SAW? Tidak, aku akan menolak keputusan Sa‟d bin Ummu Sa‟d dan melaksanakan keputusan Rasulullah SAW.‟ Sa‟d lalu minta diambilkan catatan perkara itu, lalu
merobeknya dan memenangkan khabar dari orang yang pada
mulanya dikalahkan tersebut.‟
Abu Hanifah bin Simak bin Fadhl Asy-syahabi mengabarkan
kepadaku, ia berkata: Ibnu Abi Dzi‟b menuturkan kepadaku dari
Al-Maqburi, dari Ibnu Syuraih Al Ka‟bi, bahwa Nabi SAW bersabda
pada hari Fathu Makkah:
“Barangsiapa keluarganya terbunuh, maka memperoleh salah
satu dari dua perkara. Bila mau, ia bisa mengambil diyat, dan
bila mau ia berhak atas qishash.”
Abu Hanifah berkata, lalu aku bertanya kepada Ibnu abi Dzi‟b,„apakah kamu berpegang pada hadits ini, ya Abu Harits? Ibnu Abi
Dzi‟b lalu memukul dadaku dan membentakku beberapa kali, ia
berkata: „aku meriwayatkan satu hadits kepadamu dari
Rasulullah SAW, lalu kamu bertanya berkata apakah kamu berpegang pada hadits ini? Ya, aku berpegang pada hadits ini. Itu kewajibanku dan oleh yang mendengarnya.
Sesungguhnya Allah SWT memilih Muhammad di antara manusia, memberi petunjuk mereka dengannya dan melalui tangannya, memilihkan untuk mereka apa yang dipilih-Nya untuknya dan melalui lisannya. Oleh
karena itu, manusia wajib mengikutinya dengan patuh dan
tunduk. Tidak ada jalan bagi seorang muslim untuk keluar
darinya.
Abu Hanifah berkata, „Ia tidak diam, sampai-sampai aku berharap ia diam.‟
Ada banyak hadits tentang penetapan khabar ahad, namun aku
cukupkan di sini.
Demikianlah cara pandang generasi salaf dan generasi-generasi
sesudah mereka hingga saat ini. Demikian juga yang dituturkan
kepada kami dari para ulama berbagai negeri.
Kami mendapati Sa‟id berkata di Madinah, “Abu Sa’id Al Khudri
mengabarkan kepadaku dari Nabi SAW tentang Sharf, lalu ia
menetapkan hadits itu sebagai Sunnah yang autenti. Ia berkata,
„Abu Hurairah RA menuturkan kepada dari Nabi SAW, lalu ia
menetapkan haditsnya itu sebagai Sunnah yang autentik.
Sa‟d juga meriwayatkan secara perorangan dari selain ke duanya, lalu menetapkan haditsnya itu sebelum Sunnah yang autentik.
kami mendapati urwah berkata” Aisyah RA menuturkan kepadaku< bahwa Rasulullah SAW menetapkan haslik itu berdasarkan adanya tanggung jawab Urwah lalu menetapkannya sebelum Sunnah yang autentik.
Urwah juga meriwayatkan banyak hal dari Aisyah RA dan menjadikannya sebagai Sunnah yang autentik untuk menghalalkan dan mengharamkan.
Kami juga mendapai Urwah berkata: „usamah bin Zaid menuturkan kepadaku dari Nabi SAW.”
Ia (Urwah) juga berkata: “Ibnu Umar dan sahabat lain bertutur
kepadaku dari Nabi SAW.”
Ia pun menetapkan khabar masing-masing sebagai Sunnah yang
autentik Kami juga mendapati Urwah berkata: „Abdurrahman bin
AbdulQari, dari Umar. Ia juga berkata: “Yahya bin Abdurrahman bin Hathim bertutur
kepadaku, dari ayahnya, dari Umar.
Ia pun menetapkan khabar masing-masing dari Umar.
Kami mendapati Qasim bin Muhammad berkata: „Aisyah RA
bertutur kepadaku dari Nabi SAW.
Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi SAW. Ia pun menetapkan khabar ahad masing-masing sebagai Sunnah yang autentik.
Qasim juga berkata, “Abdurrahman dan Mujammi bin Yazid bin
Jariyah bertutur kepadaku dari Khntsa binti Khidam, dari Nabi
SAW.
Qasim menetapkan khabar dari khants, padahal ia adalah khabar
satu perempuan.
Kami mendapati Ali bin Husain berkata, “Amru bin Utsman mengabarkan kepada kami dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi SAW bersabda: „seorang muslim tidak memperoleh warisan dari seorang kafir.‟ Ali bin Husain serta semua ulama menetapkan khabar Amru bin Utsman sebagai Sunnah yang autentik.
Kami juga mendapati Muhammad bin Ali bin Husain meriwayatkan dari Jabir, dari Nabi SAW dan dari Ubaidullah bin Abu Rafi‟, dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, serta menetapkan khabar masing-masing sebagai Sunnah yang autentik. Kami mendapati Muhammad bin Jubair bin Muth‟im, Nafi bin jubair bin Muth‟Ibnu Majah, Yazid bin Thalhah bin Rukanah,
Muhammad bin Thalhah bin Rukanah, Nafi bin Ujair bin Abdul
Yazid, Abu Salamah bin Abdurrahman, Humaid bin Abdurrahman,
Thalhah bin Abdullah bin Auf, Mush‟ab bin Sa‟d bin Abi Waqqash,
Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, Kharijah bin Zaid bin Tsabit,
Abdurrahman bin Ka‟b bin Malik, Abdullah bin Abu Qatadah,
Sulaiman bin Yasar, Atha bin Yasar, serta para perawi Madinah
selain mereka, seluruhnya meriwayatkan dari seorang sahabat
Nabi SAW, dari Nabi SAW, atau dari seorang tabi‟in dari seorang
sahabat Nabi SAW, dari Nabi SAW, dan mereka semuamenetapkannya sebagai Sunnah yang autentik.
Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa umat
Islam pada masa lalu dan masa sekarang menyepakati berlakunya
khabar ahad, dan tidak dijumpai seorang ulama pun yang tidak
memberlakukannya.
Namun saya katakan, saya tidak mencatat dari para ulama bahwa mereka berbeda pendapat dalam menetapkan khabar ahad, karena seperti yang telah saya
jelaskan bahwa hal itu ditemukan pada mereka semua.
Apabila harus diandaikan bahwa seseorang mengatakan telah
meriwayat darikan hadits ini dan itu, kemudian orang lain mengklaim
telah meriwayatkan hadits yang bertentangan, maka menurut
hemat saya, tidak bisa dibiarkan orang bebas menetapkan tentang halal dan haram, sementara orang lain menetapkan sebaliknya, masing-masing dengan dalil hadits ahad.
Oleh karena itu, harus diteliti mana –di antara kedua hadits yang saling
bertentangan – yang paling kuat sanadnya, baik dari sudut
keterpecayaan, perawi-perawinya, kekuatan hafalannya,
maupun kesinambungan yang lebih unggul. Itulah yang harus
dipilih. Jika sama-sama kuat, maka harus ditakwil, dicarikan
jalan keluar untuk dikompromikan, atau dibiarkan orang memilih
mana yang mantap tanpa harus mendiskreditkan yang lain.
Seseorang tidak boleh menduga bahwa seorang ahli fiqih yang berakal sehat menetapkan satu hukum dengan khabar ahad sekali dan berulang kali, lalu ia menggunakannya karena ada
khabar semisalnya atau yang lebih terpercaya, tanpa alasan alasan yang mendorong kepada takwil sebagaimana alasan yang mendorong para ulama menakwili Al Qur’an. Juga tanpa adanya
keraguan terhadap pembawa khabar, atau diketahui ada khabar
yang bertentangan dengannya.
Tanya: sementara orang mengatakan bahwa jarang ditemukan
ahli fiqih di sebuah negeri, kecuali mereka pasti berpegang pada
sebagian besar hadits yang diriwayatkannya, dan meninggalkan
kecil haditsnya. Bagaimana pendapat Anda?
Jawab: hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan alasan yang
telah saya kemukakan. Atau ia meriwayatkan dari seseorang
tabi‟in atau perawi di bawah mereka sebuah pendapat yang
tidak wajib dipegangnya. Jadi, ia meriwayatkan hanya untuk
mengetahui pendapat tabi‟in tersebut bukan karena pendapat
itu menjadi argumen baginya, baik ia setuju maupun ia
menentangnya.
Apabila seseorang tidak menempuh salah satu cara ini, maka ia
telah melakukan kekeliruan yang tidak bisa ditolelir.
Tanya: apakah kata argumen yang Anda ucapkan itu berbedabeda maknanya?
Jawab: benar, insya allah.
Tanya: maukah Anda menjelaskannya?
Jawab: Jika ia berasal dari nash Al Qur’an yang jelas atau Sunnah
yang disepakati, maka toleransi di dalamnya tidak ada sama
sekali. Tidak ada tempat bagi keraguan terhadap salah satunya.
Barangsiapa tidak mau menerimanya, maka ia diminta bertobat.
Apabila berupa Sunnah yang bersumber dari khabar perorangan
yang terkadang berbeda dengan khabar lain, sehingga khabar
tersebut dimungkinkan untuk ditakwili, maka menurut saya
argumennya wajib diterima oleh semua orang, sehingga mereka
tidak berhak menolak apa yang diredaksikan olehnya,
sebagaimana mereka wajib menerima kesaksian orang-orang
yang adil, bukan karena khabar tersebut diterima dari semua
seginya, sebagaimana nash Al Qur’an dan khabar umum dari
Rasulullah SAW.
Seandainya seseorang meragukan khabar ini, maka kami tidak
memintanya bertobat. Kami katakan, “Anda –jika Anda tahu –
tidak berhak meragukan, sebagaimana Anda tidak berhak apa
pun selain memutuskan perkara berdasarkan kesaksian para saksi
yang adil, meskipun ada kemungkinan mereka keliru.
Tetapi,Anda memutuskan perkara cukup dengan kejujuran yang tampak
dari mereka, sementara Allah SWT juga yang mengetahui
perkara-perkara batin yang tersembunyi dari Anda.
Tanya: kalau begitu, apakah argumen dengan hadits munqathi
wajib diterima oleh orang yang mengetahuinya? Apakah hadits
munqathi itu berbeda-beda?
Jawab: hadits munqathi berbeda-beda menurut kondisinya.
Barangsiapa di antara tabi‟in yang mengalami masa hidup
sahabat-sahabat Rasulullah SAW meriwayatkan hadits yang
terputus sanadnya dari Nabi SAW, maka haditsnya itu
diberlakukan dengan beberapa syarat, diantaranya, hadits yang
diriwayatkannya (secara mursal itu) diteliti.
Apabila ada beberapa hafizh terpercaya yang turut meriwayatkannya lalu
mereka menyandarkannya kepada Rasulullah SAW dengan makna
yang sama dengan riwayatnya, maka hal itu menunjukkan
kebenaran sahabat perawi yang menjadi sumbernya serta
hafalan tabi‟in tersebut. Namun apabila ia sendiri yang
meriwayatkan hadits secara mursal tanpa ada perawi lain yang
menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, maka riwayat ini
tetap diterima dengan pertimbangan ada atau tidak ada perawi
mursal lain yang sejalan dengannya dan yang informasinya bisa
diterima? Jika ada, maka riwayat lain yang juga mursal tersebut
dapat menguatkan riwayat mursalnya, namun ia lebih lemah
daripada kategori pertama.
Bila tidak ada, maka perlu diteliti riwayat dari sebagian sahabat Rasulullah SAW dalam bentuk pendapat.
Apabila ditemukan riwayat yang sejalan dengan riwayat ini dari
Rasulullah SAW, maka hal itu menunjukkan bahwa perawi tidak
mengambil hadits mursalnya kecuali dari sumber yang shahih,
insya allah. Demikian pula apabila ditemukan mayoritas ulama
memberi fatwa yang semakna dengan hadits yang diriwayatkan
dari Nabi SAW.
Selanjutnya ada pertimbangan lain, yaitu bahwa ketika ia
menyebut nama perawi yang menjadi sumbernya, maka perawi
ini tidak disebut majhul (tidak dikenal) dan tidak pula ditolak
riwayatnya, sehingga bisa dijadikan bukti tentang kebenaran
riwayatnya.
Juga perlu dipertimbangkan ketika ia bersama-sama dengan
seorang hafizh dalam meriwayatkan sebuah hadits yang tidak
bertentangan dengan haditsnya, hal itu menunjukkan kebenaran
sumber haditsnya. Tetapi jika bertentangan, maka hal itu
menunjukkan bahwa haditsnya kurang sempurna.
Ketika riwayatnya tidak seperti yang saya jelaskan, maka ia
telah meriwayatkan hadits yang tidak lepas kritikan, sehingga
tidak seorang ulama pun yang boleh menerima hadits mursalnya.
Apabila ditemukan bukti-bukti tentang kebenaran haditsnya –
sesuai yang saya kemukakan – maka kami condong untuk
menerima hadits mursalnya.
Kami tidak bisa mengklaim bahwa argumen yang ditetapkan
dengan hadits mursal sama kuatnya dengan argumen yang
ditetapkan dengan hadits muttashil (bersambung sanadnya),
karena hadits munqathi tidak diketahui statusnya. Bisa jadi ia
bersumber dari orang yang bila namanya disebutkan maka
riwayatnya tidak disukai. Juga karena sebagai hadits munqathi
meskipun sejalan dengan hadits mursal sejenisnya – terkadang
berasal dari satu sumber, yang bila disebutkan namanya maka
hadits ini tidak diterima.
Juga karena perkataan sebagian sahabat Nabi SAW – jika ia berkata menurut pendapatnya namun sejalan dengan hadits – menunjukkan kebenaran sumber hadits,
dan petunjuk ini sangat kuat untuk dipertimbangkan. Ada
kemungkinan ia keliru ketika mendengar ucapan sebagian
sahabat Nabi SAW yang sejalan dengan riwayatnya. Hal seperti
ini juga bisa terjadi pada sebagian ahli fiqih.
Demikianlah Asy-Syafi’i menerima sebagian hadits mursal dari para tokoh
tabi‟in sesuai argumen-argumen yang disebutkannya, namun secara hati-hati
dan teliti. Gambaran Asy-Syafi’i tentang kemungkinan terjadinya kekeliruan di
dalamnya sangat kuat.
Kami tidak sependapat dengannya untuk menerima hadits mursal, karena
hadits mursal tidak diketahui sumbernya, dan perawi yang menjadi sumber
tabi‟in tidak diketahui keadilannya. Jadi, ia tidak melahirkan argumen sampai
kita mengetahui keadilan perawinya. Demikian pula yang berlaku pada semua
hadits munqathi.
Adapun para perawi selain tokoh-tokoh tabi‟in yang banyak
berinteraksi dengan sebagian sahabat Rasulullah SAW itu, saya
tidak menemukan seorang pun dari mereka yang bisa diterima
hadits mursal-nya, dengan berdasarkan beberapa alasan.
1. Mereka terlalu permisif terhadap perawi yang menjadi
sumber riwayat mereka.
2. Ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan kelemahan
sumber riwayat mursal-nya.
3. Mereka sering mengubah kalimat.
Ketiga kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya
kekeliruan dan kelemahan pada perawi sumber.
Sejauh pengalaman saya dengan sebagian ulama, saya melihat
satu sifat, sekaligus kontradiksinya, pada diri mereka. Saya
pernah melihat seseorang yang puas dengan pengetahuan yang
sedikit, namun ia bersikeras untuk mengambil hadits dari suatu
sumber, padahal terkadang ia meninggalkan hadits lain dari
sumber yang setingkat atau lebih kuat. Jadi ia termasuk orang
yang teledor dalam masalah ilmu.
Saya juga pernah melihat orang yang mengkritik pandangan ini
dan hendak memperluas ilmu. Sifat ini mendorongnya untuk
menerima hadits dari sebuah sumber, padahal seandainya ia
tidak menerima darinya maka itu lebih baik. Saya juga melihat
kebanyakan dari mereka terjangkit penyakit lalai, sehingga
Ibnu Shalah berkata, „tidak berlakunya argumen dengan riwayat mursal dan
penilaian kelemahannya menjadi pendapat kokoh sekelompok penghafal
hadits dan kritikus hadits. Mereka menyebutkan penjelasan ini dalam bukubuku mereka.
mereka menerima hadits dari satu sumber, padahal ia
menolaknya dari sumber yang setingkat dan yang lebih baik
darinya.
Ada sebagian orang yang rancu, ia menerima hadits dari orang
yang telah ia ketahui kelemahannya, karena sejalan dengan
pendapatnya. Namun di sisi lain, ia menolak hadits perawi yang
tsiqah karena bertentangan dengan pendapatnya! Sebagian
lainnya melakukan kerancuan dari beberapa segi.
Barangsiapa meneliti ilmu dengan kesadaran, pasti enggan
menerima hadits mursal dari setiap perawi yang bukan para
tokoh tabi‟in karena ada bukti-bukti yang jelas di dalamnya.
Tanya:mengapa Anda membedakan antara tabi‟in senior yang
pernah menyaksikan para sahabat Rasulullah SAW dengan para
tabi‟in yang hanya menyaksikan sebagian sahabat?
Jawab: lantaran jauhnya perubahan kalimat oleh orang yang
tidak pernah menyaksikan sebagian besar sahabat.
Tanya: mengapa Anda tidak menerima hadits mursal dari mereka
dan dari setiap ahli fiqih selain mereka?
Jawab: alasan-alasannya telah saya kemukakan.
Tanya: apakah Anda menemukan sebuah hadits mursal dari
perawi tsiqah yang bisa Anda sambungkan sanadnya kepada
Rasulullah SAW, yang tidak seorang ahli fiqih pun berpegang
pada hadits tersebut?
Jawab: Ya. Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Muhammad
bin Munkadir, ia berkata: „seorang laki-laki datang kepada Nabi
SAW dan bertanya, „Ya Rasulullah! Aku punya harta dan
keluarga, dan ayahku juga punya harta dan keluarga. Namun ia
ingin mengambil hartaku untuk memberi makan keluarganya.
Rasulullah SAW bersabda:
hartamu dan hartamu milik ayahmu.‟159
Tanya: kami tidak berpegang pada hadits ini. Tetapi mengapa
sebagian sahabatmu berpegang padanya?
Jawab: tidak, karena barangsiapa berpegang pada hadits ini,
berarti telah memberi hak kepada ayah yang kaya untuk
mengambil harta anaknya, karena hadits ini tidak terbukti benar
dari Nabi SAW. Ketika Allah SWT memberikan hak waris kepada
ayah dari anaknya, sama seperti ahli waris lainnya, maka bisa
jadi ia lebih kecil bagiannya dari ahli waris lainnya, dengan
demikian hal itu menunjukkan bahwa anak memiliki hartanya
sendiri, tanpa orang lain turut memilikinya
Tanya: apakah menurutmu Muhammad bin Munkadir orang yang
terpercaya?
Jawab: benar, bahkan ia orang yang sangat agamis dan wara‟,
tetapi kami tidak tahu darimana ia menerima hadits ini. Saya
telah menjelaskan kepada Anda tentang dua orang saksi adil
yang memberi kesaksian yang memberatkan seseorang, namun
kesaksian keduanya tidak bisa diterima sampai ada orang lain
yang menilai keadilan kedua saksi tersebut.
Tanya: maukah Anda menyebutkan hadits semacam ini?
Jawab: Ya. Seorang perawi terpercaya mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi‟b, dari Ibnu Syihab, ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan orang yang
tertawa dalam shalat untuk mengulangi wudhu dan
shalatnya.”160
Kami tidak menerima hadits ini karena mursal. Selain itu,
seorang perawi terpercaya mengabarkan kepada kami, dari
Ma‟mar, dari Ibnu Syihab, dari Sulaiman bin Arqam, dari Hasan
dari Nabi SAW hadits yang serupa.sendiri perawi yang tsiqah. Namun, yang disebut namanya hanyalah sebagian sahabat Nabi SAW dan para tabi‟in terbaik.
Kami tidak menjumpai muhaddits yang disebut namanya dan
yang lebih utama serta lebih populer dibanding muhaddits yang
menjadi sumber riwayat Ibnu syihab.
Tanya: dengan alasan apa Anda melihatnya keliru dalam hal ini
sehingga ia menerima riwayat dari Sulaiman bin Arqam?
Jawab: Ibnu Syihab melihatnya sebagai orang yang terhormat
dan cerdas, sehingga ia menerima riwayatnya, berbaik sangka
terhadapnya, dan tidak menyebut namanya. Bisa jadi karena
Sulaiman bin Arqam lebih muda darinya. Ma‟mar bertanya
kepada Ibnu Syihab tentang haditsnya itu, lalu ia
menyandarkannya kepada Sulaiman bin Arqam.161
Dikarenakan mungkin Ibnu Syihab meriwayatkan dari Sulaiman,
padahal demikian kondisi Ibnu Syihab. Hal semacam ini bisa saja
terjadi pada orang lain.
Tanya: apakah Anda menemukan sebuah Sunnah dari Nabi SAW
yang valid dari segi sanad, namun semua ulama bertentangan
dengannya?
Jawab: tidak. Tetapi terkadang saya menemukan para ulama
berbeda pendapat di dalamnya. Di antara mereka ada yang
berpegang pada Sunnah tersebut, sedangkan sebagai lain
berpegang pada Sunnah yang bertentangan dengannya. Mengenai
adanya satu Sunnah yang telah disepakati oleh para ulama
sepakat untuk berpegang pada kebalikannya, saya tidak menemukannya sama sekali, sebagaimana saya mendapati hadits mursal dari Rasulullah SAW.
Anda bertanya tentang argumen untuk menolak hadits mursal,
dan Anda pun menolaknya, namun Anda meleewati batas dengan
menolak hadits musnad (bersambung sanadnya) yang menurut
kami harus Anda terima!.