Apa yang Harus Dilakukan Setelah Mati

Ada  beberapa  adab  syar’iyah  yang  harus  dilakukan  secara langsung  setelah  mati dan sebelum dimandikan yang perlu saya kemukakan  disini,  karena  berkaitan  dengan  saat   ihtidhar (menghadapi  kematian). Selain itu, banyak hal yang memerlukan penanganan dokter  yang  merawatnya,  sebab  kadang-kadang  si sakit   meninggal  dunia  di  hadapannya.  Apakah  yang  harus dilakukan saat itu?

Pertama:  dipejamkan  kedua  matanya,  mengingat  hadits  yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. pernah masuk ke tempat Abu Salamah setelah dia  meninggal  dunia  dan  matanya dalam   keadaan  terbuka,  lalu  beliau  memejamkannya  seraya bersabda:

“Sesungguhnya ruh apabila dicabut, ia diikuti oleh pandangan.”105

Disamping itu, apabila kedua  matanya  tidak  dipejamkan  maka akan terbuka dan melotot, sehingga timbul anggapan yang buruk.

Kedua:  diikat  janggutnya  (dagunya)  dengan bebat yang lebar yang dapat mengenai  seluruh  dagunya,  dan  diikatkan  dengan bagian atas kepalanya, supaya mulutnya tidak terbuka.

Ketiga: dilemaskan persendian atau pergelangan-pergelangannya, yaitu  dilipat  lengannya  ke  pangkal   lengannya,   kemudian dijulurkan  lagi;  dilipat  (ditekuk) betisnya ke pahanya, dan pahanya ke perutnya, kemudian dikembalikan lagi; demikian juga jari-jemarinya  dilemaskan  supaya  lebih mudah memandikannya. Sebab beberapa saat setelah menghembuskan napas terakhir badan seseorang   masih   hangat,   sehingga   jika   sendi-sendinya dilemaskan pada saat itu ia akan menjadi  lemas.  Tetapi  jika tidak  segera  dilemaskan,  tidak  mungkin dapat melemaskannya sesudah itu.

Keempat: dilepas pakaiannya, agar badannya tidak  cepat  rusak dan  berubah karena panas, selain kadang-kadang keluar kotoran (najis) yang akan mengotorinya.

Kelima:  diselimuti  dengan  kain  yang   dapat   menutupinya, berdasarkan  riwayat  Aisyah  bahwa  Nabi  saw.  ketika  wafat diselimuti dengan selimut yang bergaris-garis.106

Keenam: di atas perutnya ditaruh suatu beban yang sesuai  agar tidak mengembung.

Para  ulama  mengatakan, “Yang melakukan hal-hal ini hendaklah orang yang lebih lemah lembut di antara keluarga dan mahramnya dengan cara yang paling mudah.”107

Adapun   hal-hal   lain  setelah  itu  yang  berkenaan  dengan pengurusan mayit, seperti memandikan,  mengafani,  menshalati, dan  lainnya  tidaklah  termasuk  dalam  kerangka  hukum orang sakit, bahkan termasuk dalam kandungan hukum orang  mati  atau ahkamul-jana’iz. Dengan demikian, perlu pembahasan tersendiri.

Wa  billahit taufiq, dan akhir seruan saya adalah bahwa segala puji kepunyaan Allah, Tuhan bagi alam semesta.

90 Muslim dalam “Kitab al-Jannah wa Shifatu Na’imiha,” nomor 2877.^

91 Bukhari dalam “at-Tauhid” dan Muslim dalam “adz-Dzikr,” nomor 2675.^

92 Syarah as-Sunnah, karya al-Baghawi, juz 5, hlm. 275.^

93 Al-Majmu’, karya an-Nawawi, juz 5, hlm. 108-109.^

94 Lihat, al-Mughni maa asy-Syarhil-Kabir, juz 2, hlm. 304; dan al-Mubdi’, karya Ibnu Muflih, juz 2, hlm. 216.^

95 Muslim dalam “al-Jana’iz,” hadits nomor 916; Abu Daud, hadits nomor 3117; Nasa’i, juz 4, hlm. 5; dan IbnuMajah, nomor 1445.^

96 Dikemukakan oleh al-Qari dalam Syarah al-Misykat 2: 329. Imam Syaukani mengutip perkataan Imam Nawawi mengenai sunnahnya menalkin, kemudian beliau berkata, “Perlu diperhatikan, alasan apa yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib7” Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50.^

97 Abu Daud (3117); dan Hakhim (1: 351), beliau berkata, “Sahih isnadnya.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.^

98 Lihat, al-Mughni ma’a asy-Syarhil-Kabir, juz 2, hlm.304; al-Mubdi’, karya Ibnu Muflih, juz 2, hlm. 216; danal-Majmu’, juz 5, hlm. 114-115.^

99 HR Ahmad, juz 5, hlm. 26; Abu Daud (nomor 312); Ibnu Majah (nomor 1448); Ibnu Hibban (nomor 720); dan Hakim, juz 1, hlm. 565, dari Ma’qil bin Yasar. Hadits ini dinilai cacat oleh Ibnul Qaththan dan dilemahkan oleh Daruquthni, sebagaimana diterangkan dalam Talkhishul-Habir karya al-Hafizh Ibnu Hajar, juz 2, hlm. 104.^

100 HR Hakim dan disahkannya. Pengesahan Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi (1: 353-354), sedangkan al-Hafizh tidak berkomentar dalam at-Talkhish.^

101 Sebagian ulama berdalil dengan hadits Ubaid bin Umair dari ayahnya dari Abu Daud dan Nasa’i mengenai al-Baitul-Haram bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Al-Bairul-Haram itu kiblatmu pada waktu hidup dan pada waktu mati.” Tetapi Imam Syaukani mengomentari bahwa yang dimaksud dengan kepada waktu hidup” ialah ketika shalat, dan “pada waktu mati” ialah dalam lahad, sedangkan orang yang hampir mati di sini tidak sedang melakukan shalat, karena itu ia tidak tercakup oleh hadits ini. Maka yang lebih sesuai ialah berdalil dengan hadits Abi Qatadah di atas. (Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50).^

102 Al-Majmu’, juz 5, hlm. 116- 117.^

103 Muttafaq ‘alaih dalam Al-Lu’lu’ wal-Marjan, hadits nomor 1734.^

104 Lihat, Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50-51, terbitan Darul Jail, Beirut.^

105 HR Muslim dalam “al-Jana’iz,” hadits nomor 920.^

106 Ibid., nomor 942.^

107 Fathul-Aziz fi Syarhil-Wajiz, karya ar-Rafi’i yang diterbitkan bersama dengan al-Majmu’ (Imam Nawawi), juz 5, hlm. 112-114. ^

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *