Imam Syafi’i berkata: Jika seorang imam mengadakan perjanjian dengan suatu kaum, lalu mereka memerangi kaum yang telah mengadakan perjanjian itu atau dengan ahli dzimmah dan kaum muslimin, mereka memerangi dan mengambil harta benda sebelum memperlihatkan pembatalan perjanjian damai, maka imam harus memerangi, membunuh dan menawan mereka. Apabila imam telah menang atas mereka, maka ia harus menghukum mereka atas apa yang telah dilakukan berupa membunuh dan mengambil harta, sebagaimana imam mengharuskan kepada ahli dzimmah dengan diyat, mengambil dan menanggungnya.
Apabila mereka membatalkan perjanjian dengan memberitahukan imam melalui peperangan atau mereka memperlihatkan pembatalan janji itu bukan dengan peperangan, yaitu dengan tidak mau membayar jizyah, dan apabila mereka menyerang atau diserang dan membunuh atau melukai dan mengambil harta, maka mereka harus diperangi, ditawan dan dibunuh. Jika imam telah menang atas mereka, maka ada dua pendapat dalam hal ini:
Pertama, tidak ada tuntutan qishash pada darah dan luka mereka. Diambil dari mereka apa yang ada pada mereka dari harta tertentu dan tidak menanggung kerusakan harta.
Imam Syafi’i berkata: Jika seorang muslim itu membunuh, kemudian ia murtad dan memerangi kaum muslimin, lalu ia menang dan bertaubat, maka ia harus dituntut qishash. Demikian juga apa yang diperbuatnya dengan harta orang Islam atau orang yang mengadakan perjanjian. Begitu juga mengenai orang yang membuat perjanjian dan orang yang mengadakan perdamaian, milik orang muslim atau lainnya, dari orang yang harus diambil darinya.
Kedua, bahwa apabila seseorang telah masuk Islam, atau jika suatu golongan telah masuk Islam kemudian mereka murtad dan berperang, atau mereka tidak mau membayar jizyah dan berperang, kemudian ia menang terhadap kaum muslimin, maka diambil qishash dari mereka akan darah dan luka. Mereka menanggung harta benda, baik mereka itu bertaubat atau tidak.