Seseorang bertanya: kami menemukan beberapa penjelasan Rasulullah SAW yang ada padanannya dengan penjelasan Al Qur’an dari segi nash; penjelasan lain beliau yang terdapat padanannya secara garis besar dengan penjelasan Al Qur’an; penjelasan lain dari beliau yang lebih luas daripada penjelasan Al Qur’an; penjelasan lain beliau yang tidak ada padanannya dalam Al Qur’an; penjelasan lain yang sejalan dan yang berbeda dengan sesamanya dalam arti sebagai nasikh dan manshuk; penjelasan lain yang berbeda namun tidak ada indikasi nasikh dan mansukh di dalamnya; penjelasan lain yang berisi larangan Rasulullah SAW, kemudian Anda pahami sebagai haram; penjelasan lain Rasulullah SAW yang kemudian Anda pahami bahwa larangan dan perintah beliau mengindikasikan pilihan atau anjuran, bukan pengharaman. Setelah itu, kami mendapati Anda berpegang pada sebagian penjelasan yang berbeda, tidak pada sebagian yang lain. Kami juga mendapati Anda melakukan qiyas terhadap sebagian hadits, namun ternyata qiyas Anda itu tidak sinkron dengannya, dan Anda pun meninggalkan sebagian hadits lain tanpa melakukan qiyas terhadapnya. Apakah argumen Anda dalam melakukan qiyas dan meninggalkannya? Setelah itu kalian berbeda pendapat, sehingga di antara kalian ada yang meninggalkan sebagian haditsnya dan mengambil hadits yang sederajat dengan hadits yang ditinggalkannya, bahkan lebih lemah sanadnya?
Saya menjawab: setiap Sunnah yang ditetapkan Rasulullah SAW berkaitan dengan Al Qur’an, ada kalanya sama persis dengan Al Qur’an dari segi nash, namun ada kalanya sebagai penjelasan dari Allah SWT dan biasanya penjelasan itu lebih luas penafsirannya daripada yang dijelaskan.
Terhadap Sunnah Rasulullah SAW tentang sesuatu yang tidak diredaksikan di dalam Al Qur’an, kami juga mengikutinya lantaran Allah SWT mewajibkan umat-Nya untuk menaati perintah beliau secara umum. Adapun nasikh dan mansukh dari hadits beliau sama seperti Allah SWT me- nasakh suatu hukum di dalam Kitab-Nya dengan hukum lain dalam Kitab-Nya secara umum di Kitab-Nya. Seperti itulah Sunnah Rasulullah SAW di- nasakh dengan Sunnah beliau yang lain. Apa yang saya jelaskan dalam Kitabku ini telah saya sampaikan sebelumnya.
Mengenai hadits-hadits yang berbeda tanpa ada indikasi tentang mana yang nasikh dan mana yang mansukh, maka pada dasarnya seluruhnya sejalan dan benar, tidak ada perselisihan di dalamnya.
Rasulullah SAW adalah orang Arab, baik dari segi domisili maupun bahasa. Terkadang beliau berbicara sesuatu secara umum, dan maksudnya memang umu, dan terkadang beliau berbicara sesuatu secara umum, namun maksudnya khusus, sebagaimana yang saya jelaskan kepada Anda tentang Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Terkadang beliau ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab sebatas pertanyaan tersebut. Namun, orang yang meriwayatkannya menyampaikan berita tersebut secara tidak lengkap dan ringkas, sehingga ia hanya menghasilkan sebagian makna, tidak sebagian yang lain. Terkadang seorang perawi meriwayatkan hadits dari beliau hanya berisi jawaban dari Nabi SAW, tanpa memahami pertanyaan yang memberinya petunjuk tentang esensi jawaban. Padahal dengan mengetahui latar belakang jawaban, ia akan mengetahui esensi jawaban.
Terkadang Rasulullah SAW menetapkan satu Sunnah tentang satu hal, dan Sunnah lain yang berbeda dengannya. Tetapi banyak orang tidak mencermati perbedaan dua kondisi yang melatarinya.
Terkadang beliau juga menetapkan satu Sunnah yang secara nash sejalan dengan Al Qur’an, lalu seorang perawi menghafalnya, dan pada saat yang lain beliau menetapkan Sunnah lain yang dari segi makna berbeda dengan makna Al Qur’an karena memang ada perbedaan kondisi. Lalu perawi lain menghafal Sunnah tersebut. Ketika masing-masing mengemukakan hafalannya, sebagian pendengar akan menganggapnya Sebagai perbedaan, padahal bukan.
Terkadang beliau juga menetapkan satu Sunnah secara garis besar dengan sebuah lafazh yang bersifat umum untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Namun beliau juga menetapkan dengan lafazh lain satu Sunnah yang berlawanan dengan ketentuan garis besar tersebut. Hal itu merupakan dalil bahwa beliau bermaksud membatasi sifat umum dari Sunnah yang pertama. Setiap bentuk ini memiliki padanannya dalam hukum-hukum Allah SWT yang bersifat global.
Terkadang Rasulullah SAW menetapkan satu Sunnah lalu beliau me–nasakh–nya dengan Sunnah yang lain. Beliau tidak lupa menjelaskannya setiap kali me–nasakh suatu Sunnah dengan Sunnah yang lain. Tetapi bisa jadi seorang perawi itu melupakan sgn informasi tentang nasikh dan mansukh, sehingga seorang perawi menghafalnya, sementara perawi lain lupa tentangnya. Namun informasi ini tidak mungkin dilupakan oleh seluruh perawi sehingga ia tidak ditemukan saat dicari.
Semua persoalan tersebut telah dijalankan sesuai ketetapan Rasulullah SAW, dan telah dipilah-pilah sebagaimana beliau telah memilah-milah. Menaati beliau dalam memilah-milah persoalan sesuai Sunnah beliau merupakan suatu kewajiban. Tidak bisa diterima bahwa beliau tidak memilah antara satu perkara dengan perkara lain. Perkataan bahwa Nabi SAW tidak memilah antara satu perkara dengan perkara yang lain, padahal sebenarnya Rasulullah SAW memilah diantaranya, akan lebih baik karena ketidak-tahuan tentang ucapan beliau, atau lebih buruk dari itu, karena keraguan. Memilah perkara itu tidak lain didasari oleh ketaatan kepada Allah SWT dengan cara mengikuti Rasul- Nya.
Kalau terjadi pertentangan di dalam hadits, maka salah jika dikarenakan ia tidak diriwayatkan secara sempurna, sehingga Sunnah tersebut dianggap bertentangan. Akibat penjelasan tersebut, sebagian aspeknya luput dari pengamatan kita. Namun kita bisa mengetahuinya dalam hadits lain.
Kami tidak menemukan apa pun dari Rasulullah SAW yang bertentangan. Kalau kami menelitinya, maka kami menemukan satu faktor yang membuat Sunnah tersebut tidak bertentangan, atau ia tercakup ke dalam faktor-faktor yang telah saya jelaskan tadi.
Atau, tidak kami menemukan indikasi tentang riwayat yang shahih dan yang tidak shahih menurut keabsahan riwayat, sehingga kedua hadits yang dianggap bertentangan itu memang tidak sepadan. Dengan demikian, kami condong kepada yang paling shahih di antara kedua hadits tersebut.
Atau, bisa jadi hadits yang paling shahih itu ditunjukkan ke- shahih-annya oleh Al Qur’an atau Sunnah Nabi-Nya, atau riwayat- riwayat semakna yang telah saya jelaskan sebelum ini, sehingga kami condong kepada yang lebih kuat dan paling layak untuk ditetapkan keshahihannya dengan dalil-dalil.
Kami juga tidak menemukan dua hadits beliau yang bertentangan kecuali keduanya memiliki implikasi masing- masing, atau salah satunya terbukti ke-shahih-annya oleh salah satu dari sarana-sarana pembuktian yang saya jelaskan, yang sesuai dengan Kitab, Sunnah dan dalil-dalil lain.
Apa yang dilarang Rasulullah SAW berarti diharamkan, sampai ada indikasi dari beliau bahwa yang beliau maksud bukanlah pengharaman.
Mengenai qiyas terhadap Sunnah-Sunnah Rasulullah SAW, pada awalnya terdiri dari dua aspek, lalu aspek yang pertama mencabangkan banyak aspek. Apa itu?
Allah SWT di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya. Tidak ada satu pun yang boleh membantah hukum-Nya terkait perintah-Nya kepada mereka agar patuh kepada-Nya. Rasulullah SAW telah menunjukkan kepada mereka arti kepatuhan mereka kepada Allah SWT, atau mereka menemukan arti tersebut dalam khabar dari beliau, yang belum pernah diturunkan sebelumnya wahyu yang menjelaskan arti serupa tentang kepatuhan manusia kepada Allah SWT. Ulama wajib membingkai kepatuhan itu dengan Sunnah. Inilah yang terbagi menjadi banyak cabang.
Aspek kedua adalah Allah SWT menghalalkan sesuatu untuk mereka secara garis besar, lalu Allah SWTmhr sesuatu tertentu darinya, maka mereka menghalalkan sesuatu secara umum dan mengharamkan sesuatu tertentu (secara khusus) atau membatasi. Mereka pun tidak membuat qiyas terhadap bagian minoritas yang haram itu, karena sebagian besarnya adalah halal, sementara qiyas terhadap mayoritas itu lebih baik daripada qiyas terhadap minoritas. Begitu juga jika Allah SWT mengharamkan sesuatu secara garis besar dan menghalalkan sebagiannya. Begitu juga jika Allah SWT mewajibkan sesuatu, lalu Rasulullah SAW mengkhususkan keringanan pada sebagiannya. Kami menerapkan qiyas karena sesuai dengan dalil Kitab, Sunnah dan atsar.
Kami berharap tidak berselisih dengan sebuah hadits yang valid dari Rasulullah SAW. Tidak seorang pun yang berhak berbuat demikian. Tetapi, ada kalanya seseorang tidak mengetahui Sunnah sehingga ia mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengannya, bukan karena ia sengaja berselisih dengannya. Ada kalanya pula seseorang lupa dan keliru dalam menakwil.
Seseorang bertanya kepadaku: beri aku contoh untuk setiap kategori yang Anda jelaskan. Sebaiknya Anda merangkum penjelasan mengenai pertanyaanku tanpa panjang lebar, sehingga saya tidak melupakannya. Mulailah dari nasikh dan mansukh dari Sunnah-Sunnah Nabi SAW, sebtukan yang didukung dengan penjelasan Al Qur’an, meskipun Anda harus mengulangi penjelasan Anda.
Saya katakan: yang pertama kali diwajibkan Allah SWT kepada Rasul-Nya dalam masalah Kiblat adalah menghadap ke Baitul Maqdis saat shalat. Jadi, Baitul Maqdis merupakan Kiblat yang tidak seorang pun boleh shalat kecuali dengan menghadapnya, pada waktu Rasulullah SAW menghadap ke arahnya. Ketika Allah SWT me-nasakh Kiblat Baitul Maqdis dan menghadapkan Rasul- Nya serta umat Islam ke Ka‟bah, maka Ka‟bah menjadi kiblat yang tidak seorang pun boleh menghadap ke selainnya dalam shalat fardhu kecuali dalam kondisi takut. Ia tidak boleh menghadap ke Baitul Maqdis lagi selama-lamanya.
Semua adalah benar pada masanya. Baitul Maqdis merupakan kiblat yang benar sejak Nabi SAW menghadapnya sampai beliau dipalingkan darinya. Setelah itu, Baitul haram menjadi kiblat yang benar hingga hari Kiamat.
Seperti inilah setiap mansukh di dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya.
Hal ini adalah dalil bagi Anda, bahwa apabila Nabi SAW menetapkan satu Sunnah yang kemudian Allah SWT mengalihakan beliau dari Sunnah tersebut kepada Sunnah yang lain, maka beliau menetapkan Sunnah yang lain sehingga umat beralih kepadanya setelah beliau dialihkan darinya, agar mereka menerima informasi tentang adanya nasikh, karena kalau tidak demikian maka mereka akan tetap mengerjakan perkara yang mansukh. Juga agar tidak seorang pun yang berpikir rancu, bahwa Kitab telah menghapus Sunnah, saat ia menemukan Rasulullah SAW menetapkan satu Sunnah, namun di dalam Kitab terdapat sesuatu yang menjelaskan makna-maknanya.
Tanya: Mungkinkah Sunnah bertentangan dengan Kitab?
Jawab: tidak mungkin, karena Allah SWT telah menegakkan dua argumen kepada manusia dari dua sisi, yang keduanya bersumber
dari Kitab. Kedua argumen tersebut adalah Kitab-Nya, disusul Sunnah Nabi-Nya, karena Allah SWT telah mewajibkan – di dalam Kitab-Nya – untuk mengikuti Sunnah Nabi-Nya. Tidak mungkin Rasulullah SAW menetapkan satu Sunnah yang kemudian di- nasakh, namun beliau tidak menetapkan Sunnah yang me- nasakh-nya. Sunnah yang me-nasakh itu diketahui dari yang paling terkahir, sedangkan sebagian besar nasikh yang terdapat dalam Al Qur’an diketahui melalui petunjuk Sunnah-Sunnah Nabi SAW.
Apabila ada Sunnah yang menunjukkan nasikh dalam Al Qur’an dan memilah antara nasikh dan mansukh , maka Sunnah tidak mungkin di-nasakh dengan Al Qur’an, kecuali Rasulullah SAW menyampaikan satu Sunnah yang me-nasakh Sunnah beliau yang pertama bersamaan dengan menyampaikan Al Qur’an yang me- nasakh tersebut. Hal itu agar hilang kerancuan dalam pikiran orang yang diberi argumen oleh Allah SWT agar patuh kepada Nabi SAW.
Tanya: bagaimana pendapat Anda jika ada yang berkata: „Jika saya menemukan ayat Al Qur’an bermakna tekstual dan umum, lalu saya menemukan satu Sunnah yang kemungkinan menjelaskan ayat Al Qur’an tersebut, dan kemungkinan pula bertentangan dengan makna tekstualnya, maka saya meyakini bahwa Sunnah tersebut telah di-nasakh oleh Al Qur’an.‟
Jawab: seorang ulama tidak mungkin berkata demikian!
Tanya: kenapa?
Jawab: Allah SWT telah mewajibkan Nabi-Nya untuk mengikuti apa yang diturunkan kepada-Nya, mengabari kesaksian mengenai
hidayah yang diperolehnya, dan mewajibkan manusia untuk taat kepadanya. Selain itu, bahasa mengandung banyak makna. Ada kalanya Allah SWT menurunkan ayat yang bersifat umum, namun maksudnya khusus, dan ada kalanya Allah SWT menurunkan ayat yang bersifat khusus, namun maksudnya umum. Ada kalanya pula Allah SWT menurunkan kewajiban yang bersifat global, lalu Rasulullah SAW menjelaskannya, sehingga Sunnah menempati posisi demikian di hadapan Al Qur’an. Apabila demikian halnya, maka Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan Al Qur’an, dan Sunnah pasti mengikuti Al Qur’an, baik untuk mengukuhkannya maupun untuk menjelaskan makna yang dikehendaki Allah SWT. Jadi bagaimana pun kondisinya, Sunnah tetap mengikuti Al Qur’an.
Tanya: Apakah Anda bisa menunjukkan argumen Anda dalam Al Qur’an?
Jawab: saya kutipkan sebagian yang telah saya jelaskan dalam kitab As-Sunnah Ma‟ al Qur’an, bahwa Allah SWT mewajibkan shalat, zakat, dan haji, lalu Rasulullah SAW menjelaskan tata cara shalat, zakat dan haji.
Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah [5]: 38)
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. (QS. An-Nur [24]: 2)
ketika Rasulullah SAW menetapkan hukuman potong tangan pada orang yang hasil curiannya telah sampai empat dinar atau lebih, serta menetapkan hukuman dera pada dua pelaku zina yang merdeka dan belum pernah menikah, bukan dua orang yang pernah menikah, merdeka dan budak, maka Sunnah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa maksud Allah SWT dari ayat tersebut adalah pelaku zina dan pencuri khusus, meskipun kalimat tersebut secara tekstual menunjukkan arti umum pencuri dan pelaku zina.
Tanya: saya telah memahami hal ini, seperti yang Anda jelaskan. Apakah Anda menemukan argumen untuk membantah orang yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“apa saja yang datang dariku kepada kalian, maka hadapkan ia kepada Al Qur’an. Kalau ia sejalan dengan Al Qur’an, maka memang benar aku mengatakannya, sedangkan kalau bertentangan dengannya, maka aku tidak mengatakannya.”
Jawab: hal ini tidak mungkin diriwayatkan oleh seseorang yang haditsnya bisa diterima, sedikit atau banyak. Kalau kami menerima maka kami akan dikecam, „kalian telah menetapkan ke-shahih-an hadits oleh yang meriwayatkan ini secara mentah- mentah.
Selain itu, riwayat ini juga terputus dari perawi yang tidak dikenal, dan kami sama sekali tidak menerima riwayat semacam ini.
Tanya: adakah riwayat dari Nabi SAW yang menguatkan pendapat Anda?
Jawab: Ada. Sufyan bin Uyainah mengabari kami, ia berkata: Salim Abu Nadhar mengabariku bahwa ia mendengar Ubaidullah bin Abu Rafi‟ dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda:
“jangan sampai aku mendapati salah seorang dari kalian berbaring di atas dipannya (bermalas-malasan), lalu (saat) datang kepadanya suatu perkara yang kuperintahkan atau kularang ia berkata: „aku tidak tahu. Apa yang kami temukan dalam Al Qur’an, maka itulah yang kami ikuti.”
Rasulullah SAW telah menutup jalan bagi manusia untuk menolak perintahnya, karena Allah SWT mewajibkan mereka untuk mengikuti perintahnya.
Tanya: berikan kepadaku penjelasan tentang hal yang disepakati oleh ulama, atau sebagian besar dari mereka, bahwa Sunnah bersama dengan Al Qur’an menunjukkan maksud dari makna khususnya, meskipun secara tekstual ia bersifat umum.
Jawab: Ya. Mungkin Anda tidak mendengar penjelasan saya dalam kitabku ini.
Tanya: kalau begitu ulangi sebagiannya.
Jawab:
Allah SWT berfirman:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ اُمَّهٰتُكُمۡ وَبَنٰتُكُمۡ وَاَخَوٰتُكُمۡ وَعَمّٰتُكُمۡ وَخٰلٰتُكُمۡ وَبَنٰتُ الۡاٰخِ وَبَنٰتُ الۡاُخۡتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِىۡۤ اَرۡضَعۡنَكُمۡ وَاَخَوٰتُكُمۡ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَ اُمَّهٰتُ نِسَآٮِٕكُمۡ وَرَبَآٮِٕبُكُمُ الّٰتِىۡ فِىۡ حُجُوۡرِكُمۡ مِّنۡ نِّسَآٮِٕكُمُ الّٰتِىۡ دَخَلۡتُمۡ بِهِنَّ فَاِنۡ لَّمۡ تَكُوۡنُوۡا دَخَلۡتُمۡ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَاۤٮِٕلُ اَبۡنَآٮِٕكُمُ الَّذِيۡنَ مِنۡ اَصۡلَابِكُمۡۙ وَاَنۡ تَجۡمَعُوۡا بَيۡنَ الۡاُخۡتَيۡنِ اِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara- saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. (QS. An- Nisa’ [4]: 23-24)
Allah SWT telah menyebutkan siapa saja yang haram dinikahi, kemudian Allah SWT berfirman:
dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh memadu seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan tidak pula seorang wanita dengan bibinya dari jalur ibu.” Saya tidak menemukan seorang pun yang menolak untuk mengikutinya.
Hal ini mengandung dua indikasi, yaitu:
- Indikasi bahwa Sunnah Rasulullah SAW sama sekali tidak bertentangan dengan Al Qur’an, tetapi menjelaskan hal yang umum dan hal yang
- Indikasi bahwa para ulama menerima berita perorangan. Dalam hal ini kami tidak menemukan seorang pun yang meriwayatkan hadits ini dari jalur yang shahih dari Nabi SAW kecuali Abu
Tanya: Apakah menurutmu hadits ini memiliki kemungkinan bertentangan dengan sebagian makna tekstual ayat?
Jawab: tidak, dan tidak pula hadits lain.
Tanya: Apa makna firman Allah SWT: “Diharamkan atas kami (mengawini) ibu-ibumu.” Di sini Allah SWT menjelaskan pengharaman, setelah itu Allah SWT berfirman: “dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Jawab: Allah SWT menyebutkan keharaman wanita-wanita untuk dinikahi dalam kondisi apa pun, seperti ibu, anak perempuan, saudari, bibi dari jalur ayah dan ibu, serta anak-anak perempuan saudara dan saudari. Setelah itu Allah SWT menyebutkan siapa yang diharamkan-Nya dalam kondisi apa pun karena faktor nasab dan persusuan. Setelah itu Allah SWT menyebutkan siapa yang diharamkan-Nya memadu diantaranya, padahal pada mulanya masing-masing boleh dinikahi secara terpisah waktunya. Allah SWT berfirman: : “dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” Menunjukkan siapa yang dihalalkan menikahinya. Ia tidak menunjukkan adanya seorang wanita yang halal tanpa pernikahan yang sah, dan tidak pula menunjukkan kebolehan menikah dengan istri yang kelima, memadu dua wanita kakak- beradik dalam satu pernikahan, dan hal-hal lain yang dilarang.
Saya beri contoh tentang kewajiban dalam wudhu yang ditetapkan Allah SWT, dan teladan Nabi SAW dalam mengusap sepatu kulit. Mayoritas ulama sepakat dalam menerima pengusapan sepatu kulit.
Tanya: apakah mengusap sepatu kulit bertentangan dengan suatu ayat Al Qur’an?
Jawab: tidak ada satu Sunnah pun yang bertentangan dengan Al Qur’an.
Tanya: apa alasannya?
Jawab:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah [5]:6).
Oleh karena itu, Sunnah menunjukkan bahwa jika orang yang dalam keadaan suci dan belum berhadats, hendak mengerjakan shalat, maka tidak ada kewajiban ini baginya. Sunnah juga menunjukkan bahwa kewajiban membasuh kedua kaki hanya berlaku bagi orang yang berwudhu dan tidak memakai sepatu kulit yang dipakainya dalam keadaan suci secara sempurna.
Saya beri contoh lain tentang pengharaman Nabi SAW terhadap binatang buas yang bertaring.
Allah SWT berfirman:
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. (QS. Al-An’am [6]: 145)
Setelah itu Allah SWT menyebutkan apa saja yang diharamkannya.
Tanya: apa maksudnya?
Jawab: maksudnya adalah: katakanlah, aku tidak menemukan di dalam wahyu yang diberikan kepadaku sesuatu yang diharamkan di antara makanan yang biasa kalian makan, selain bangkai dan yang disebutkan sesudahnya. Makanan yang tidak kalian konsumsi itu karena kalian tidak menganggapnya termasuk makanan yang baik. Jadi, Allah SWT tidak mengharamkan makanan yang kalian anggap halal itu selain yang disebutkan Allah SWT dan yang ditunjukkan Sunnah, bahwa Allah SWT mengharamkannya bagi kalian. Di antara yang diharamkan-Nya itu ada pula yang kalian haramkan, sesuai dengan firman Allah SWT:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ
dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al A’raf [7]: 157)
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’ [4]: 29)
setelah itu Rasulullah SAW mengharamkan beberapa jenis jual beli, seperti jual beli dinar dengan dirham secara tempo, dan lain-lain. Lalu umat Islam pun mengharamkannya karena pengharaman Rasulullah SAW. Jadi hal ini dan yang lain tidak bertentangan dengan Al Qur’an.
Tanya: jelaskan maksud kepadaku dengan penjelasan yang lebih singkat dan padat daripada penjelasan tersebut.
Jawab: di dalam Al Qur’an terdapat indikasi bahwa Allah SWT telah memposisikan Rasul-Nya sebagai penjelasan maksud Allah SWT, dan mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengikuti perintahnya. Dalam hal ini, jika Allah SWT berfirman: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Maka maksudnya adalah Allah SWT menghalalkan jual beli apabila tidak dalam bentuk yang dilarang Allah SWT dalam Kitab- Nya atau melalui lisan Nabi-Nya. Demikian pula firman Allah SWT: „ dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” Maksudnya adalah dihalalkan dengan cara yang benar sesuaiKitab, yaitu dengan pernikahan dan kepemilikan hamba sahaya. Bukan Allah SWT menghalalkannya dalam kondisi apa pun. Inilah gaya bahasa Arab.
Seandainya suatu Sunnah yang dipegang oleh orang yang tidak memahami kedudukan Sunnah bagi Kitab itu boleh ditinggalkan, maka mengusap sepatu kulit dalam wudhu boleh ditinggalkan; setiap transaksi yang bisa disbut jual beli dibolehkan; halal memadu antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ibu dan ayah; boleh memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan lain-lain.
Tentu saja boleh mengatakan bahwa pada mulanya Nabi SAW menetapkan seorang pencuri yang hasil curiannya belum mencapai senilai seperempat dinar, tidak dipotong tangannya. Lalu setelah beliau menerima surah al Ma‟idah ayat 38, “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” Orang yang dikatakan mencuri dikenai hukum potong tangan.
Tentu saja boleh mengatakan bahwa pada mulanya Nabi SAW menetapkan rajam hanya pada pelaku zina yang telah menikah, dan setelah menerima surah an-nur ayat 2, perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…” pelaku zina yang belum menikah dan yang sudah menikah sama-sama didera, dan tidak berlaku rajam bagi yang kedua.
Tentu saja boleh mengatakan bahwa pada mulanya Rasulullah SAW mengharamkan jual beli, lalu setelah turun ayat, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Semua jual beli hukumnya halal. Riba adalah seseorang yang memiliki piutang kepada orang lain, lalu ia mengabari pilihan antara membayar segera atau menunda dengan penambahan nilai piutang.
Masih banyak lagi hal yang serupa.
Barangsiapa berpendapat demikian, maka ia telah mendisfungsikan sebagian besar Sunnah Rasulullah SAW. Pendapat ini timbul dari kebodohan orang yang mengatakannya.
Tanya: benar
Jawab: Sunnah Rasulullah SAW itu seperti yang saya jelaskan. Barangsiapa menentang penjelasanku mengenainya, maka ia telah merangkap antara ketidaktahuan tentang Sunnah dan kekeliruan bicara tentang hal yang tidak diketahuinya.
Tanya: sebutkan Sunnah yang di-nasakh dengan Sunnah selain yang ini!
Jawab: Sunnah-Sunnah yang nasikh (menghapus) dan mansukh (dihapus) banyak jumlahnya dan terpilah-pilah di setiap temanya. Kalau saya mengulangnya maka terlalu panjang lebar.
Tanya: kalau begitu, cukup sebagian saja. Jelaskan secara ringkas dan jelas.
Jawab: Malik mengabari kami dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, dari Abdullah bin Waqid dari Abdullah bin umar, ia berkata:
sisanya.” Aisyah berkata, „setelah itu ada yang bertanya, Ya Rasulullah, orang-orang memanfaatkan daging kurban mereka. Mereka mengambil lemaknya dan menggunakan kulitnya untuk kantong air. Rasulullah SAW bersabda: „mengapa tidak?, atau kalimat senanda. Mereka menjawab, „Ya Rasulullah, bukankah engkau melarang menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari? Rasulullah SAW bersabda: “aku melarang kalian hanya demi kepentingan orang-orang yang datang ke kota selama Hari Kurban, tentu saja kalian boleh memakannya, menyedekahkannya, dan menyimpannya.”
Ibnu Uyainah mengabari kami dari az-Zuhri, dari Abu Ubaid (maula Ibnu Azhar), ia berkata: “Aku menyaksikan Idul Adha bersama Ali bin abu thalib, lalu aku mendengarnya berkata: ”janganlah salah seorang dari kalian memakan daging kurbannya setelah tiga hari.”
Seorang yang tsiqah mengabari kami dari Ma‟mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Ubaid dari Ali ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
„janganlah selalu seorang dari kalian memakan daging kurbannya setelah tiga hari.”
Ibnu Uyainah mengabari kami dari Ibrahim bin Maisarah, ia berkata: „aku mendengar Anas bin Malik berkata: „Kami menyembelih hewan kurman sedemikian banyaknya. Masya Allah kmd kami menjadikan sisanya untuk bekal ke Bashrah.”
Hadits-hadits tersebut menyatukan beberapa makna. Hadits Ali dan hadits Abdullah bin Waqid sama-sama dari Nabi SAW. Kedua hadits tersebut mengindikasikan bahwa Ali mendengar larangan dari Nabi SAW, dan larangan itu sampai ke telingan Abdullah bin Waqid. Juga mengindikasikan bahwa keringanan dari Nabi SAW belum sampai kepada Ali dan Abdullah bin Waqid. Seandainya keringanan tersebut sampai kepada keduanya, maka keduanya pasti tidak meriwayatkan larangan tersebut, karena ia telah di- nasakh. Keduanya justru meninggalkan keringanan tersebut, padahal keringanan tersebut telah me-nasakh larangan. Jadi nasikh dan mansukh harus diketahui secara bersama-sama. Oleh karena itu, masing-masing yang berbeda pendapat menyampaikan hal yang diketahuinya.
Demikianlah, orang yang mendengar suatu berita dari Rasulullah SAW, atau membuktikan kebenarannya dari beliau, harus mengucapkan apa yang didengarnya dari beliau, agar ia mengetahui yang lain.
Aisyah menuturkan dari Nabi SAW tentang larangan menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Lalu Aisyah menuturkan keringanan terhadap larangan tersebut, bahwa Rasulullah SAW melarang menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari hanya demi orang-orang yang datang ke kota Makkah. Jadi, hadits yang sempurna, yang tercatat awal dan akhirnya serta sebab pengharaman dan penghalalannya, adalah hadits Aisyah RA dari Nabi SAW, dan setiap orang yang mengetahuinya wajib condong kepadanya. Hadits ini termasuk hadits yang paling terang dalam menjelaskan nasikh dan mansukh dalam Sunnah.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian hadits tersebut bersifat khusus, sehingga sebagiannya saja yang tercatat, bagian awalnya saja, atau bagian akhirnya saja, lalu masing-masing menyampaikan hal yang dicatatnya.
Jadi, keringanan sesudahnya dalam hal menyimpan daging kurba, memakannya dan menyedekahkannya, hanya untuk salah satu dari dua pengertian lantara perbedaan dua kondisi. Ketika ada banyak orang yang datang ke Makkah, berlakulah larangan menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Lalu saat tidak banyak orang yang datang ke Makkah, berlakulah keringanan memakannya, menjadikannya bekal, menyimpannya dan menyedekahkannya. Bahkan dimungkinkan larangan menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari di-nasakh untuk kondisi apa pun. Jadi, seseorang boleh menyimpan sebagian daging kurbannya sekehendak hatinya dan menyedekahkannya sekehendak hatinya.