Al Musaqah

Imam Syafi’i berkata: Arti perkataan pemilik kebun “Jika kalian mau, itu menjadi milik kalian; dan jika mau juga, ia menjadi milikku”, yaitu seseorang mengira-ngira sebuah pohon kurma seperti ia mengira 110 wasaq,3 lalu ia mengatakan “Jika telah menjadi tamar, ia akan berkurang 10 wasaq dan yang baik hanya 100 wasaq”. Setelah itu, yang punya kebun berkata, “Jika kalian mau, saya akan serahkan kepada kalian setengahnya yang bukan dari milik kalian. Saya hargakan dengan hak orang yang punya, supaya kalian menanggung untuk saya 50 wasaq kurma. Kurma yang menjadi milik kalian dapat kalian makan atau jual sebagai ruthab, itu terserah kalian. Jika kalian berkehendak juga, maka bagi saya adalah sekian dari bagian kalian.
Sava akan menyerahkan, dan kalian serahkan juga kepada saya bagian- bagian kalian. Saya menjamin kalian atas kepemilikan ini.”

Imam Syafi’i berkata: Jika ada tanah kosong di antara pohon kurma yang berlipat banyaknya, maka dibolehkan musaqah padanya. Tetapi jika  Tanah itu terpisah dari pohon kurma, tidak boleh untuk dilakukan musaqah  padanya, kecuali ia menyewanya; dan bagi musaqi (orang yang menyiram  pohon kurma) tidak boleh menanami tanah kosong tersebut selain dengan  izin pemilik pohon kurma. Jika ia menanaminya, maka ia telah melanggar.  Hal itu dianggap seperti menanam pada tanah orang lain.

Imam Syafi’i berkata: Musaqah boleh dalam pohon kurma dan pohon anggur, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengambil pada keduanya dengan mengira-ngira. Beliau melakukan musaqah pada pohon kurma dan buahnya yang berkumpul (lebat) tanpa ada penghalang. Tidak boleh melakukan musaqah pada pohon yang lain selain pohon kurma dan anggur, dan musaqah pada tanam-tanaman adalah lebih diperbolehkan. Boleh dilakukan musaqah jika telah tampak bagus buahnya, dan telah halal menjualnya. Jika telah tampak, itu lebih dibolehkan lagi.

Imam Syafi’i berkata: Rasulullah membolehkan musaqah dan mengharamkan menyewa tanah kosong dengan sebagian yang dihasilkan darinya. Kaum muslimin telah memperbolehkan mudharabah (bagi hasil) pada harta yang diserahkan pemilik harta, dan yang melakukan mudharabah mendapatkan kelebihannya (untungnya). Namun kaum muslimin tidak membolehkan menyewa, kecuali dengan sesuatu yang nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *