Imam Syafi’i berkata: Semua harta yang diberikan manusia itu ada tiga macam; dua di antaranya pada masa hidupnya, dan yang satunya sesudah meninggal dunia. Dua macam pemberian pada masa hidup itu terpisah-pisah. Salah satunya menjadi sempurna dengan perkataan orang yang memberi, dan yang satu lagi sempurna dengan perkataan orang yang memberi atau diterima oleh orang yang menerima.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pemberian menjadi sempurna dengan perkataan pemberi tanpa diterima oleh orang yang diberi. Hal ini merupakan sesuatu yang boleh dimiliki oleh penerima, namun tidak boleh dimiliki kembali oleh pemberi dengan cara apapun. Pemberian ini merupakan sedekah yang diharamkan untuk orang lain, yangterhenti pada suatu kaumtertentu, atau suatu kaum yang diterangkan sifat mereka. Apa yang ada pada makna pemberian ini adalah yang diberikan dijalan kebaikan sebagai mahbus (harta yang diwakafkan dijalan Allah/harta yang ditahan) pada suatu kaum yang diterangkan sifat mereka. Walaupun tidak diterangkan demikian, halitu diharamkan pada orang lain atas nama al habs (yang diwakafkan).
Imam Syafi’i berkata:Jika seseorang menjadikan orang lain sebagai saksi atas dirinya dalam pemberian ini, maka hal itu boleh bagi orang yang diberikan, baik pemberian itu diterima atau belum diterima.Jika orang itu berdiri dan mengambil pemberiannya dari tangan pemberi, maka tidak boleh bagi pemberi untuk menahannya dalam keadaan apapun, bahkan pemberi dipaksa untuk memberikannya.
Apabila ternyata barang itu dirusak oleh pemberi setelah memberikannya, maka ia menanggung apa yang telah dirusakkannya itu, sebagaimana orang lain menanggung jika ia merusaknya, karena barang tersebut bukan miliknya lagi. Posisi pemberi dan orang lain terhadap barangyang dirusakkannya itu sama. Jika orang yang akan diberi sedekah itu meninggal dunia sebelum ia menerimanya dan sedekah itu telah menghasilkan sesuatu, maka ahli waris orang itu yang mengambil bagiannya dari hasil sedekah tersebut, karena orang yang meninggal dunia telah memiliki apa yang diberikan kepadanya walaupun ia belum menerimanya. Yang kedua (dari pemberian dalam hidup) adalah apa yang dikeluarkan dari tangan pemilik yang menjadi milik penuh orang lain dengan penghibahannya atau dengan penjualannya, dan ini dapat diwariskan.
Pemberian seperti ini adalah pemberian yang dihalalkan bagi orang yang mengeluarkan sesuatu dari tangannya sendiri untuk dimiliki orang lain, dapat diwariskan oleh orang yang diberi, dan pemberi dapat meminta kembali apa yang diberikan (dihibahkan)nya atau yang dijual kembali kepadanya. Pemberian ini dapat sempurna dengan dua hal; pengakuan orang yang memberi dan diterimanya (barang tersebut) dengan perintah orang yang memberi.
Dokumen dalam penahanan harta Ini adalah surat yang ditulis fulan bin fulan al fulani dalam keadaan sehat badan dan akalnya, juga dapat melaksanakan pekerjaannya. Yaitu, pada bulan sekian dan tahun sekian, bahwa: Saya menyedekahkan rumah saya di Fusthath, Mesir, di suatu tempat yang merupakan salah satu batas sekumpulan rumah, yang berakhir pada suatu tempat, kedua, ketiga dan keempat.
Saya sedekahkan semua tanah rumah ini; bangunannya dari kayu, bangunan tembok, pintu-pintu dan lain sebagainya dari bangunan itu. Demikian juga jalan-jalannya, saluran air, tempat istirahat dan tempat-tempat yang tinggi. Hal itu mencakup setiap yang sedikit dan banyak, yang ada di rumah itu. Juga, termasuk setiap hak yang masuk dan keluar darinya. Saya mewakafkannya (menjadikannya habs) semata-mata sebagai sedekah karena Allah danmengharap pahala-Nya, bukan mencari pujian. Tidak akan menarik kembali sebagai sedekah yang diharamkan, yang tidak dijual, diwariskan atau dihibahkan hingga Allah mewariskan bumi ini dan siapa yang ada di atasnya. Dia-lah sebaik-baik yang mewarisi.
Saya keluarkan dari kepemilikan saya dan saya bayarkankepada fiilan bin fiilan, yang selanjutnya diurusnya sendiri dan diurus olehorang lain dari orang yang telah saya sedekahkan kepadanya, menurut yang saya syaratkan dan saya sebutkan di dalam surat ini. Saya mensyaratkan bahwa saya menyedekahkan kepada anak kandung saya, laki-laki dan perempuan, dari mereka yang hidup hari ini atau yang akan lahir sesudah hari ini.
Saya tetapkan untuk mereka kesamaan dalam sedekah ini, baik laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, mereka berhak untuk menempati dan mengambil manfaatnya. Salah seorang dari mereka tidak didahulukan atas yang lainnya, selama anak perempuan saya tidak kawin. Jika salah seorang dari mereka (anak perempuannya) menikah dan tinggal bersama suaminya, maka haknya terputus selama ia berada bersama suaminya. Hak itu tetap ada bagi yang masih berhak atas sedekah saya, sebagaimana yang tersisa dari sedekah saya. Dalam hal ini mereka diizinkan, selama anak perempuan itumasih bersama suaminya. Jika anak perempuan itu kembali, karena suaminya meninggal dunia atau bercerai, maka hak anak perempuan itu kembali kepadanya seperti keadaannya sebelum menikah.
Setiap salah seorang anak perempuan saya menikah, maka dia seperti pada syarat ini; keluar dari sedekah saya karena menikah, dan kembali haknya jika ia diceraikan atau suaminya meninggal dunia. Tidak keluar seorang pun dari anak-anak perempuan saya darisedekah saya,selain dengan sebab menikah. Setiap yang meninggal dunia dari anak kandung saya, laki-laki atau perempuan, maka haknya kembali kepada yang tersisa dari anak kandung saya.
Jika anak kandung saya telah habis dan tidak tersisa satupun, maka sedekah ini diwakafkan untuk anak dari anak kandung saya yang laki-laki (cucu dari anak laki-laki), bukan bagi anak laki-laki dari anak perempuan saya (cucu dari anak perempuan) yang bukan anak saya. Kemudian cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, dalam sedekah saya ini adalah sama seperti apa yang ada pada anak kandung saya, baik yang laki-laki atau perempuan. Perempuan dari mereka dianggap keluar dari sedekah saya karena menikah, dan haknya kembali jika suaminya meninggal dunia atau bercerai. Setiap yang lahir dari anak saya yang laki-laki, baik perempuan atau laki, maka dia itu masuk kedalam daftar penerima sedekah saya bersama anak dari anak saya (cucu). Setiap yang meninggal dunia dari mereka, maka haknya kembali kepada ahli waris yang masih ada, sehingga tidak ada seorang pun dari anak saya (cucu).
Apabila tidak ada lagi anak dari anak kandung saya (cucu),maka sedekah ini berlaku seperti syarat ini kepada anak dari cucu anak laki-laki saya (cicit dari cucu lelaki), dimana garis keturunan mereka kembali kepada saya. Sedekah saya tidak untuk anak perempuan yang menikah, dan sedekah akan dikembalikan apabila suaminya meninggal dunia atau bercerai. Anak yang lahir akan dimasukkan ke dalam daftar penerima sedekah untuk selama-lamanya, yaitu cucu dari anak saya (cicit saya).
Orang-orang yang garis keturunannya sudah jauh dari saya (dari kalangan cucu saya) tidak termasuk dalam daftar penerimaan sedekah selama masih ada generasi yang lebih dahulu dari mereka walaupun hanya seorang. Tidak masuk kepada mereka seorang pun dari cucu dan cicit anak perempuan saya, yang garis keturunan mereka kembaii kepada saya. Namun cucu anak perempuan saya yang berasal dari cucu anak lelaki saya, yang garis keturunannya kembaii kepada saya,maka ia masuk bersama generasi yang mendapat sedekah saya, karena dia itu terlahir (berasal) dari saya dari pihak ayahnya, tidakdari pihak ibunya.
Begitulah sedekah saya untuk selama-lamanya kepada mereka yang masih termasuk cucu anak-anak saya, yang garis keturunan mereka kembali kepada saya, walaupun mereka dan yang ke bawah lagi menjadi generasi demi generasi(sudah jelas), sehingga ada di antara saya dan mereka seratus ayah atau lebih selama masih ada seseorang yang garis keturunannya kembali kepada saya.
Apabila mereka sudah habis semua, atau tidak ada lagi dari mereka yang garis keturunannya kembali kepada saya, maka rumah ini dapat ditahan (diwakafkan), tidak dijual dan tidak dihibahkan karena Allah Ta ‘ala. Semua itu menjadi waqaf untuk kerabat saya yang memerlukan, dari pihak ayah dan ibu saya,dengan pendapatan yang sama; baik laki-laki atau perempuan, yang terdekat atau yang terjauh dari saya.
Apabila generasi mereka sudah habis dan tidak ada lagi seorang pun dari mereka, maka rumah ini menjadi waqaf untuk bekas budak-budak saya yang sayaberikan nikmat kepada mereka, dan mereka yang diberikan nikmat oleh nenek moyang saya dengan kemerdekakan. Ini semua untuk mereka, anak-anaknya dan anak dari anak-anaknya yang menjadi keturunan mereka, baik laki-laki atau perempuan, kecil atau besar. Yang lebih jauh lagi dari saya dan nenek moyang saya, yang ada kaitan kewaliannya atau dengan orang yang menjadi bekas budak saya dengan kewalian itu, adalah sama.
Apabila mereka sudah habis, lalu tidak ada seorang pun dari mereka yang tinggal dari mereka, maka rumah ini menjadi hubsun (tahanan atau waqaf) karena Allah Ta ’ala kepada siapa saja yang dulu tinggal di rumah ini; baik para tentara kaum muslimin, ibnu sabil, fakir dan miskin dari tetangga rumah ini dan orang lain dari penduduk Fusthath, sehingga Allah mewariskan bumi ini dan siapa saja yang ada di atasnya. Rumah ini diurus oleh anak saya fulan bin fulan yang saya serahkan untuk mengurusinya sewaktu hidup dan sesudah saya meninggal dunia, selama ia sanggup mengurusnya, memiliki rasa amanah dalam urusannya dan terhadap apa yang diwajibkan Allah Ta ’ala kepadanya untuk menyempurnakan hasil jika rumah itu mempunyai hasil, adil dalam membaginya, dan menempatkan orang yang menghendaki tempat dari orang-orang yang berhakmendapatkan sedekah saya, menurut kadar haknya.
Jika keadaan anak saya fulan bin fulan berubah karena lemah dalam mengurusnya atau kurang amanah, maka rumah ini diurus oleh anakku, yang lebih utama agamanya dan paling amanah di antara mereka, menurut persyaratan-persyaratan yang saya tetapkan atas anak saya sebelumnya. Rumah itu diurus oleh orang yang kuat dalam menunaikan amanah.
Apabila ia lemah atau berubah amanahnya, maka ia tidak boleh mengurus rumah itu lagi, dan pengurusannya berpindah kepada anak saya yang lain yang mempunyai kesanggupan mengemban amanah saya. Kemudian sedekah ini kembali kepada setiap generasi agar mengurusnya. Dari generasi itu diambil yang terbaik kekuatan dan amanahnya.
Barangsiapa keadaannya berubah dalam mengurusnya, karena kelemahan atau berkurang amanahnya, maka pengurusannya dipindahkan kepada yang lebih sanggup dan amanah, yang termasuk orang-orang yang saya sedekahkan kepadanya. Begitulah yang berlaku pada setiap generasi, sedekah saya diurus oleh yang lebih utama agama dan amanahnya di antara mereka, seperti yang saya syaratkan kepada anak saya, selama masih ada seseorang di antara mereka. Kemudian yang mengurus rumah ini adalah dari kaum kerabat saya atau bekas budak-budak saya, diurus oleh yang lebih utama agama dan amanahnya.
Jika suatu generasi lahir dan di antara mereka tidak ada yang mempunyai kesanggupan dan amanah, maka sedekah saya diurus oleh qadhi (hakim) kaum muslimin untuk diberikan kepada orang yang dapat mengurusinya dengan kesanggupan dan amanah, (namun harus) dari orang yang paling dekat hubungannya dengan saya. Jika tidak ada, maka dari bekas budak-budak saya dan bekas budak nenek moyang saya yang telah kami beri kesenangan kepada mereka. Jika di antara mereka tidak ada yang seperti itu, maka hakim kaum muslimin dapat memilih seseorang untuk mengurusnya.
Jika lahir dari anak atau cucu saya atau dari bekas budak-budak saya, seseorang yang mempunyai kesanggupan dan amanah, maka hakim dapat mengambil dari orangyang ditunjuk untuk mengurusinya, kemudian diserahkan kepada salah seorang yang mempunyai kesanggupan dan amanah tadi dari apa yang saya sebutkan. Setiap wali (pengurus) yang mengurus rumah ini dapat memperbaiki apa yang rusak dari rumah ini dan memperbaiki yang ditakuti akan rusak, dibuka pintu-pintunya dan diperbaiki agar menjadi baik yang dapat menambah hasilnya.
Kemudian dibagikan kepada orang yang masih ada dari orang yang saya syaratkan. Tidak boleh bagi seorang wali (penguasa) dari para wali kaum muslimin mengeluarkan rumah ini dari tangan orang yang saya serahkan guna mengurusinya, sebab ia mempunyai kesanggupan dan bersikap amanah, dan tidak juga dari tangan seseorang dari generasi yang mendapat rumah itu selama di antara mereka ada yang sanggup mengurusnya dengan kesanggupan dan amanah. Tidak diserahkan kepengurusannya kepada orang lain dimana terdapat di antara mereka orang yang sanggup untuk mengurus. Pengakuan ini disaksikan oleh fiilan bin fiilan dan fiilan bin fiilan, serta siapa saja yang menyaksikannya.