Ada Apa Dengan Bank Syariah?

Saat ini marak bank-bank Syariah. Apa yang membedakannya dengan bank-bank lain pada umumnya? Padahal, saat meminjam sama-sama mendapat bunga, begitu pula saat meminjam. Bahkan terkadang, bunga yang dikenakan oleh bank Syariah lebih tinggi dibanding bank lainnya?

Ahmad Mudhoffar – Kendari, Sulawesi Tenggara

Bank syariah (sebelumnya adalah bank Islam, karena kata Islam sangat identik dengan sensitifitas politik dalam negeri, maka dicetuskanlah bank syariah) didirikan pada tahun 1998 yang pertama kali yaitu bank muamalat. Dicetuskannya bank syariah yang paling utama adakah untuk mencegah adanya transaksi “riba” dan juga solusi dari permasalahan keuangan (krisis finansial) atau bank yang ada dalam dunia makro ekonomi.

Disahkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan pelarangan riba, dan terjadinya krisis finansial pada perbankan pada tahun 1997 menunjukkan kelemahan dari sistem riba (bunga). Yang mana krisis moneter yang terjadi diberbagai negara membuat kebijakan bunga tinggi yang diterapkan pemerintah untuk menstabilkan perekonomian berdampak buruk pada bank – bank konvensional. Sehingga dalam satu tahun banyak bank yang gulung tikar, sedangkan yang lainnya bermasalah. Dalam kondisi tersebut, bank harus membayar bunga simpanan nasabah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dari bunga pinjaman (kredit) pada debitur (orang yang kredit ke bank).

Kondisi tersebut tidak berlaku pada bank syariah, karena sistem bank syariah tidak berdasarkan sistem bunga, akan tetapi berdasarkan system bagi hasil sesuai dengan keuntungan yang diperoleh bank. Sehingga krisis yang terjadi tidak berdampak pada bank syariah bahkan sistem bank syariah menjadi solusi terhadap penanganan krisis moneter tersebut. Oleh karenanya, banyak bank konvensional yang berbondong – bondong untuk membuka unit usaha syariah untuk mengurangi kerugian yang dialami oleh bank konvensional dan dampak sistem bunga tersebut.

Di sisi lain, karena Indonesia memiliki penduduk yang mayoritas adalah muslim, dengan adanya pendirian bank syariah, maka bank – bank konvensional pun berbondong – bondong mendirikan sub unit, atau bank umum syariah dengan tujuan mempertahankan nasabah. Serta menarik sebanyak-banyaknya nasabah yang tanpa mempertimbangkan dan belum mempersiapkan “system bank syariah” yang matang untuk dipakai. Begitupula sumber daya manusianya sejauh mungkin (syariah), sehingga yang muncul adalah sistem dan proses beberapa bank syariah hampir sama dengan bank konvensional yang mana unit usaha syariah yang didirikan oleh bank konvensional hanya kedok semata untuk mencari nasabah.

Pendapat tersebut tidak disalahkan karena beberapa bank syariah yang dimaksud masih menggunakan sumber daya manusia (pegawai bank) konvensional sehingga pola pikir, kinerja, dan sistemnya masih menggunakan konvensional serta lemahnya regulasi dan pengawasannya. Terutama lagi beberapa bank syariah yang ada sebagian besar masih menginduk pada induk bank yang konvensional, sehingga mau tidak mau sistem pelaporan yang dilakukan harus berbasis konvensional. Dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada, para manajer bank mengasah otak dan kinerja mereka untuk memberikan pelayanan yang syariah pada nasabah akan tetapi di sisi lain mereka juga harus melawan prinsip syariah dengan membuat laporan berbasis konvensional karena masih berinduk pada induk konvensional.

Namun saat ini, posisi bank syariah sudah jauh lebih baik dibanding awal semaraknya yang masih bercampur sistemnya dengan konvensional dan kurangnya pengawasan akan kesyariahannya. Terutama telah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat membantu banyak akan pengaturan dan pengawasan bank syariah yang mana pada tahun 2014 telah dibentuk pembagian tugas antara Bank Indonesia (BI) dan OJK. Untuk BI fokus pada pengurusan makro prudential yaitu Bank Indonesia rate, inflasi, dan kurs, sedangkan OJK fokus pada mikro prudential yaitu pada pengurusan industri jasa keuangan baik berupa bank, asuransi, dan investasi.

Bank syariah sendiri terbagi menjadi 4 macam yaitu bank umum syariah (BUS), unit usaha syariah (UUS), unit usaha syariah bank pembangunan daerah (UUS BPD), dan bank kustodian syariah. Untuk kesemua macam bank syariah pelaporannya dibedakan dan tidak disamakan dengan bank konvesional walaupun induknya adalah bank konvensional. sehingga proses pencatatannya dan laporannya tidak tercampur dengan konvensional.

Dengan dicetusnya undang – undang nomor 21 tahun 2008, setiap bank syariah harus memiliki 3 orang dewan pengawas syariah (DPS) yang mana DPS dibawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mempunyai kewajiban melaporkan semua aktivitas kegiatan di bank syariah yang diawasi kepada Bank Indonesia tentang kesyariahan kegiatannya serta DPS memberikan peran yang sangat banyak akan perkembangan bank syariah terkait dengan semua pelayanan jasanya baik produk, sistem dan kinerja yang ada di dalamnya.

Disisi lain pemahaman nasabah yang sekarang masih mengakar dan kental dengan konsep konvensional dan sangat kurang pemahaman akan sistem transaksi serta produk layanan di bank syariah. Sehingga setiap jasa produk bank syariah dibandingkan dengan jasa produk konvensional yang berujung pada perhitungan bunga dan biaya. Sehingga muncul pendapat yang salah bahwa produk bank syariah masih menggunakan perhitungan bunga (prosentase) dan pembiayaannya (biaya) nya sangat mahal. Pemahaman seperti ini tidaklah benar tentang memahami layanan bank syariah dibandingkan pada bank konvensional. Hal tersebut seperti membandingkan apel dengan jeruk yang mana perbandingannya tidak sama dan tidak sebanding.

Proses akad (kontrak) atau produk layanan jasa yang ada di bank syariah sangatlah berbeda jauh dengan produk layanan jasa di bank konvensional. Produk layanan jasa di bank syariah sudah diawasi, sahkan, atur, serta berkembang. Akan tetapi perkembangan bank syariah masih sangat jauh umurnya dibandingkan dengan konvensional. Umur dari bank syariah masih dibilang sangat muda. Jika dihitung dari tahun sekarang 2017 masih berumur 19 tahun dibandingkan dengan bank konvensional sudah 1 abad (100 tahun) bahkan lebih dari pada itu. Sehingga jika dilihat dari perkembangan dan cabang serta pembiayaan dari bank konvensional sudah lama dan bisa memberikan pembiayaan biaya yang rendah dikarenakan infrastruktur serta pembukaan cabang dan sistem yang di bentuk sudah kuat.

Dibandingkan dengan sistem yang baru dibentuk oleh bank syariah, membutuhkan biaya yang tidak murah dikarenakan posisi dan cabangnya masih sedikit dan baru. Seperti hanya membuka toko baru, jika pembukaan toko barunya sendiri maka biaya yang ditanggung hanya sendiri dan yang pastinya biaya tersebut sangat mahal. Berbeda halnya jika yang membuka toko baru sudah ada toko yang lain yang menyokong sehingga biaya yang ditanggung lebih murah karena disokong oleh toko lain yang sudah dibangun dan berjalan.

Sebenarnya yang menjadi permasalahan utama adalah bukannya generalisir biaya yang tinggi, akan tetapi niat dan kemampuan dari nasabah masing-masing. Karena dari akad (kontrak) dari produk bank syariah adalah memberikan kesepakatan dan kemampuan dari nasabah dari awal transaksi produk. Jika nasabah tidak mampu, dan tidak sesuai dengan produk bank syariah tersebut, bisa mencari produk bank syariah yang pembiayaannya di bank syariah lain yang lebih sesuai dengan kemampuan nasabah. Dan menjadi peran yang sangat penting bagi nasabah bank syariah untuk membantu perkembangan bank syariah lebih pesat lagi dari infrastruktur dan sistem bank syariah yang lebih kuat dari bantuan sisi bawah sebagai nasabah, sehingga jika perkembangan bank syariah sudah pesat dan kuat, maka permasalahan biaya yang tinggi bukanlah menjadi permasalahan lagi.

Dan perlunya bantuan dari sisi atas yaitu dari segi kekuatan undang – undang, fatwa dari MUI, serta pengawasan dan kontrol ketat dari dewan pengawas syariah (DPS) serta memperbanyak cendekiawan, pakar, serta tenaga manusia dari sisi pengawasan bank syariah agar lebih kuat, terkontrol baik sistem syariahnya, dan kegiatan aktivitasnya, sehingga mengeluarkan hasil yang sangat diperlukan, dan menjadi tujuan syariah adalah pemberantasan kegiatan dosa dan membentuk kemaslahatan (kesejahteraan) dan kebaikan dan menjadi solusi utama bagi sistem perbankan yang sudah mengakar baik di dalam negeri maupun luar negeri sehingga memberikan permasalahan yang komplikasi pada krisis finansial dari sisi perbankan.

Sehingga kita sebagai umat muslim khususnya mempunyai tugas yang sangat penting untuk menghindari satu dari tujuh dosa besar yaitu dosa riba yang tersurat di Al-Baqarah : 275 dan hadits shahih bukhori No. 3845-3849 serta tugas kita untuk menghapus sistem riba di perbankan yang sudah mengakar berabad-abad lamanya dengan cara meramaikan serta mendorong dan membantu bank syariah dengan cara menjadi nasabah dan melakukan transaksi serta menggunakan produk bank syariah yang sudah diuji dan sesuai kesyariahannya. Dan juga menjadi pakar dan cendekiawan muslim yang kuat untuk membantu perkembangan bank syariah dari sisi fatwa, solusi, kontrol dan pengawasannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *